Kamis, 06 September 2012

Kenangan Mudik: Bis ‘Anti Pengamen’


Di negeri kita tercinta ini, Indonesia. Boleh jadi – jika ada yang mensurveynya – adalah negeri yang memiliki jumlah pengamen paling banyak di seluruh dunia. Kita saksikan di mana-mana ada pengamen. Pemandangan yang lumrah, seorang pria dengan gitar atau alat musik yang dibawanya kemana-mana. Di tempat wisata, kita jumpai pengamen. Di warung-warung tenda, kita dapati pengamen. Di terminal, kita temui pengamen. Dan, dalam bis atau kereta, kita dihampiri pengamen. Bahkan, ketika kendaraan kita berhenti di lampu merah, kita didekati pengamen.

Mungkin, bagi kalangan penegak disiplin dan ‘penjaga’ keindahan dan ketertiban kota, pengamen dianggap sebagai semacam gangguan. Tapi, harus diakui pula keberadaan mereka adalah sebagai akibat dari minimnya ketersediaan lapangan kerja. Dan, apa yang kemudian mereka lakukan itu (pada situasi demikian) mestinya kita apresiasi sebagai satu kreatifitas dan ‘ijtihad’ menyambung hidup sebagai amanat Ilahi. Dengan catatan bahwa niat mereka ngamen adalah benar-benar tulus: menjemput rizki dengan modal suara, lagu dan keterampilan memainkan alat musik yang selalu setia menemani mereka itu. “Ya, bukankah mending ngamen daripada maling atau nggarong uang rakyat?” seloroh mereka. Dan, jadilah kini mengamen bukan lagi sekadar iseng tapi sebagai mata pencaharian. Sebagai jalan keluar dari perut yang menjerit kelaparan.

Di akhir Ramadhan kemarin, seperti kebanyakan orang-orang yang bekerja di kota dan rela meninggalkan kampung halamannya, saya mudik (muleh nang udik) atau pulang kampung. Dan, seperti yang sudah saya duga, terminal begitu penuh manusia. Bis-bis yang datang silih berganti seolah tak cukup menampung, mengangkut dan mengantarkan mereka ke tempat tujuan. Ada yang pergi (berangkat), tapi jumlah yang datang ke terminal, mengantri bis, ternyata lebih banyak dari yang berangkat. Mau tak mau, saya pun harus rela berjejal-jejalan dengan para penumpang yang lain. Perjalanan mudik sebenarnya melelahkan, tapi tetap saja menjadi saat-saat yang selalu dinantikan. Sampai saat ini belum pernah saya mendengar ada orang yang kapok mudik. Kalau ada yang tak mudik, alasannya bisa dari tiga kemungkinan yang ada. Pertama, lagi tak punya uang, dan kedua adalah kemungkinan yang pertama. Dan, ketiga adalah kemungkinan pertama dan kedua. He he he.

Kalau tahun-tahun lalu, saya biasa mudik lewat jalur selatan (Yogya-Surabaya), lalu kembali ke arah barat menuju Paciran, Lamongan. Tapi, tahun kemarin saya mencoba lewat jalur Pantura (Yogya-Semarang-Kudus-Tuban). Dari Terminal Jombor, bis begitu penuh. Sesak. Mau nggaruk punggung atau paha yang gatal saja susah. Tapi kalau garuk hitung yang gatal atau – maaf—ngupil masih bisa. Alhamdulillah, saya berdiri dan benar-benar berdiri sampai Semarang. Ya, mending berdiri dan nyampe seperempat tujuan, daripada ndak terangkut. Terkatung-katung ndak jelas kayak pengungsi Rohingnya. Apa kata mertua? Lebaran, kok ndak mudik?

Kesesakan atau uyel-uyelan yang luar biasa. Baru kali ini, pada momen mudik ini, tak saya jumpai pengamen yang bisa menembus ketatnya himpitan manusia dalam bis. Ada beberapa pengamen yang mencoba naik dan nyanyi, tapi pada akhirnya mereka menyerah, nggrundel, menggerutu dan kecewa karena tak ada tempat bagi mereka. Pengamen yang nekat, yang memiliki spirit bonek, tetap saja menggelantung sambil nyanyi, tapi tak mendapat apa-apa. Mana bisa menerobos jubelan penumpang dan menengadahkan tangan? Akhirnya, belum sampai satu lagu habis, dia sudah berhenti dan melompat turun. Dan, jadilah bis yang saya tumpangi dari Jombor, Yogya hingga Tuban tak satu pun yang ‘disatroni’ pengamen. Maka bolehlah dikatakan kalau bis-bis tersebut adalah bis ‘anti pengamen’ atau bis yang tak ramah dengan para pengamen.

Sungguh, dalam perjalanan yang panjang dan membosankan itu, baru terasakan olehku betapa berharga dan penting kehadiran mereka. Nyanyian jenaka dan sapaan-sapaan khas mereka. Suara-suara serak, sumbang dan cempreng gitar-gitar mereka menjadi daya tarik tersendiri. Kalau hanya yang bagus dan cantik-cantik saja yang menarik, rasanya hidup kurang lengkap. Kurang seimbang. Makanya jangan heran kalau ada wanita cantik, mulus dan sexy rela dinikahi lelaki yang jelek yang jerawatnya segede biji jagung, barangkali itulah bentuk keseimbangan hidup. Yang jelek disempurnakan yang baik. (Bergembiralah hai orang-orang yang jelek, karena ini adalah kabar baik untukmu…he he he..) Betul? 

Yang membekas dan berharga dari pengamalan mudik saya kali ini bukan soal mudik itu sendiri dan betapa – meski rela berjubel ria – akhirnya saya bisa sampai rumah. Tapi tentang penghayatan hidup dan peristiwa-peristiwa kehidupan itu sendiri yang ada di sekitar kita; yang selalu menawarkan dan memberikan pelajaran bagi kita untuk menjadi manusia arif yang tak hanya punya pikir, asa, tapi juga rasa. Punya keinginan untuk memikirkan dan berbagi dengan sesama.

Dalam konteks dan skala yang saya alami tersebut, ternyata mudik yang bagi hampir semua orang merupakan saat-saat menyenangkan karena akan berjumpa dengan sanak keluarga di rumah. Tapi, bagi – setidaknya – para pengamen tadi, mudik yang jubel-jubelan di bis ternyata bisa menjadi sebab berkurangnya jatah rizki mereka hari itu. Tak ada ruang bagi mereka ‘menawarkan’ jasa suara dan lagu-lagu mereka. Dalam mudik yang sebenarnya masih dalam bulan puasa itu, yang sejatinya kita harus menuntut diri sendiri untuk lebih peka terhadap keadaan sesama. Nyatanya, kita lebih memikirkan diri sendiri. Lebih memikirkan kenikmatan, kesenangan dan kenyamanan diri sendiri. Jangankan memikirkan nasib pengamen yang berkurang jatah rizkinya itu, padahal kebutuhan menjelang lebaran begitu urgen, kita bahkan seringkali tak perduli, mendorong, menyikut dan rela menggencet orang yang tak lebih kuat dan tangkas dari kita demi sebuah kursi yang kosong dalam bis. []



Kontributor: Bilif Abduh
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar