Minggu, 30 September 2012

Hujan dan Seikat Seruni


  Susut harum seruni, masih jelas meronda di seluruh ruangan rumah kami, juga halaman masih berserakan dengan susut harum bunga itu pula, seruni. Kemudian, hanyut bersama kumpulan air hujan tahun baru ini.
Bulan yang semalaman telah dinas keliling, berbagi dengan bumi, telah ke peraduannya kembali. Seperti biasa, seperti hari-hari yang lalu, bulan selalu saja berbagi tugas dan waktu dinas dengan matahari. Jika bulan datang pada pekat malam gulita, matahari datang pertanda fajar yang selalu menyapa.
Di luar sana, angin berkelindan, menghembus warna susut harum bunga, campur beludru airmata. Di antara susut bunga dan beludru air mata itu, mengalir segumpal mendung yang menyiratkan rintik kerinduan rumput-rumput di lapangan sepak bola biasa kami bermain.
Sebentar lagi hujan turun,” desisku dalam hati.
Tersadar aku menangkap sesuatu pada pendengaranku, suara riuh kanak-kanak.
Uji, hujan sudah turun. Ayo kita main bola,” ajak salah seorang dari segerombolan kanak-kanak, yang baru dapat mengeja huruf-huruf hijaiyah. Alif, ba’, ta’, tsa’….
Ayo Uji. Cepat ganti,” sambung yang lain.
Main bola kala hujan menderas adalah kebiasaanku, Ujo, kembaranku serta kawan-kawan sebayaku di desa Paya Benua ini. Kami sangat bahagia, bukan sekedar main bola saja, tapi kami juga bermain butir-butir hujan yang mengkristal di punggung-punggung daun pandan di setiap sudut rumah warga.
Bersama derap langkah kanak-kanak, yang saling mencipta pelangi dalam sebaris tawa bahagia itu, aku tetap terlarut berkabung dalam susut harum setangkai seruni, yang terus berdesak-desakan di setiap desau angin, yang mengalir bersama desah nafasku di antara deras hujan tahun baru. Di semerbak tanaman yang juga berserakan harum seruni.
Di sebuah hujan yang lebat, ketika kami seperti biasa, bermain sepak bola, juga bermain kristal-kristal lembut di punggung-punggung daun pandan Ibu-ibu warga desa. Sebuah peristiwa, telah berhasil membuatku diam bagai batu, tetapi tidak ada air setetes pun yang mengalir di atasku. Hujan itu, air berlarian, mengombak di parit-parit depan rumah di pinggir jalan raya.
Agh… Kak…, tolong… to…,” suara Ujo, adik kembarku setengah berteriak.
Ujo…,” ucapku berteriak. Terasa sebongkah kerikil menutup kerongkonganku. Namun, tidak banyak yang dapat aku lakukan. Kakiku gemetar, tampak tulang-tulang serta persendianku tidak lagi mampu menopang tubuhku yang kecil dan kerdil ini. Aku tersedak, nafasku terasa sempit melihat Ujo, Adik kembarku terseret gulungan air keruh hitam kecoklatan masuk ke gorong-gorong parit sepanjang dua meter, tepat di depan rumah kami.
Ujo…,” lirih ucapku, seraya kristal bening sesejuk embun di punggung-punggung daun mengalir dan hanyut di parit pelipisku.
Ada apa, Ji. Kenapa kamu menangis?” tanya seorang dari belakangku dan aku terus menunduk tidak menoleh, tanpa ingin tahu siapa sesosok yang datang di tengah kelabunya keadaanku saat itu.
Ujo. Ujo…, to…, tolong Ujo,” ucapku putus-putus, nafasku terengah-engah.
Kenapa, Ji. Ada apa dengan Ujo dan ke mana dia sekarang?” terasa semakin sempit hatiku mendengar pertanyaan yang hampir tidak bisa aku jawab itu.
Ji. Ini Ayah. Mana Ujo,” kembali sebuah tanya menyempitkan hatiku dari seorang yang mengaku Ayahku. Aku semakin lemas, tidak berdaya. Seluruh tubuhku gemetar.
Ayah… Ujo…,” jawabku di antara gemetar tubuhku yang begitu lemas. Terasa tidak sebatang tulang pun lagi yang menyangga tubuhku. Air mata meresap, mengalir bersama keringat yang mengucur dari pintu-pintu kulitku, sedikit mengombak seperti air yang mengalir yang menyeret sebatang tubuh adikku, Ujo di gorong-gorong jembatan itu.
Yah. Ujo dimakan air di parit itu,” suaraku tetap gemetar.
Apa… terseret air. Di mana Nak,” cetus Ayah, seraya kristal-kristal bening di matanya pecah kembali, setelah bertahun-tahun lalu membeku di antara desah nafas kehidupan tampak gagap suara Ayah.
Di mana Adikmu, Nak. Di mana…,” tanya Ayah mendesak kaget. Kali ini, Ayah benar-benar telah dikuasai segumpal kecemasan serta rasa takut.
Masih dalam gorong-gorong jembatan itu, Yah.” Seraya aku mengarahkan telunjukku ke arah gorong-gorong itu. Di sana masih tampak antrian ketat serupa antrian warga di awal bulan, ketika mengambil jatah subsidi bahan bakar.
Setelah antrian itu tampak lengang, hingga mencipta ruang di antara gelombang air pekat kecoklatan itu, aku semakin tidak berdaya. Terasa aku telah dikuasai oleh segala asa, sehingga membuat tulangku tidak mampu lagi menopang tubuhku yang kurus, seakan diterbangkan angin yang lewat bersama rintik hujan tahun baru ini.
Ujo… ini Ayah, Nak. Ini Ayah,” histeris Ayahku. Tapi Ujo tidak kuasa berbuat apa-apa lagi. Kulihat wajahnya telah semakin susut, walau mengalir darah segar dari hidungnya. Tangannya serta seluruh tubuhnya lunglai.
Nak… innalillah… wa inna ilaihi roji’un…, ” histeris suara Ayah menambah tubuhku semakin tidak kuasa. Namun, Uji hanya mengisyaratkan kedamaian di wajahnya yang telah begitu susut. Sedang aku tersentak, sempurnalah kini deritaku. Benar-benar aku tidak kuasa, terasa seluruh persendian melepaskan tulang-tulang yang menyangga sebatang tubuhku. Ya, telah terjadi sebuah perceraian yang sakral, perceraian antara tulang serta persendian.
Tidak hanya itu, sayu mataku. Hanya ada ruang lengang yang tidak mengisyaratkan liar angin ataupun tarian daun-daun pandan. Ujo, Adik kembarku yang barang tentu adalah seorang kawanku dalam setiap desah nafas hari. Kami selalu berlari mengeja kehidupan. Hujan kembali terisak lebat serupa dulu. Namun, seberkas cahaya halilintar, serta suara dentum petir-lah yang sedikit berbeda. Hari ini, hari keempat puluh setelah peristiwa itu terjadi. Tepat benar, empat puluh hari di hari hujan mengisyak. Namun susut harum seruni tetap meronda di setiap ruangan rumah kami. Dan terus berdesakan di antara tanaman di halaman depan rumah. Lebih-lebih, jika angin saling berkejaran menghanyutkan warna susut seruni juga beludru airmata.
Satu di antara dua saudara kembar itu, pasti cepat meninggal!” Aku mengulang-ulang sebaris kalimat yang kudapat di teras rumah tetangga kami. Tapi bernarkah? Dan kenapa harus Ujo, bukan aku? Ujo terlalu baik dan terlalu cepat waktu itu untuknya, Tuhan.
Uji…, ayo ke lapangan. Teman-teman sudah menunggu,” suara Ade dari halaman depan rumah. Tapi aku tidak menggubris seruan itu. Aku hanyut dalam desakan susut harum seruni.
Kalau ada Ujo…,” desisku menggantung.
Nak, Ade nunggu kamu di depan. Main sepak bola katanya,” seru Ibu dari balik tembok kamarku. Tetapi, aku tetap hanyut dalam desakan seruni.
Aku tidak suka main bola,” ucapku sekedar menjawab seruan Ibu.
Kulihat di luar jendela kamarku, hujan semakin menderas, susut harum seruni pun tetap saja meronda di antara gemericik isakan itu. Aku mencoba tersenyum di antara rintik hujan tahun baru itu. Aku terus mencoba.
Ujo… Adikku!”


-->
21 Desember 2009
Nurul Hasan dalam kumpulan cerpennya berjudul 'KABAR DARI RANTAU'



*Dimuat di majalah Horison Kakilangit, edisi April 2010.
*Juara I lomba menulis Cerpen Sastra se-Jatim yang diselenggarakan di UNISMA Malang, April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar