Minggu, 16 September 2012

Dialog, Kuncinya!

Tulisan ini didasarkan pada pengalaman penulis semenjak bergabung di salah satu LSM Dialog Antar Iman di Yogyakarta. Di lembaga ini, penulis belajar bagaimana efektivitas dialog dalam membangun relasi baik antar kelompok berbeda agama dan keyakinan. Perbedaan seringkali menimbulkan konflik, apalagi kalau sudah bicara persoalan keyakinan. Bahkan perbedaan juga seringkali menutup ruang interaksi antar yang berbeda. Dan dialog adalah salah satu strategi yang baik untuk mengatasi hal ini.

Lambat laun, penulis menyadari konsep dialog ternyata tidak hanya berlaku dalam relasi yang lebih besar (kelompok antar iman), tapi dialog juga sangat baik diterapkan dalam membangun relasi sehari-hari. Dengan keluarga, sahabat, tetangga dan siapa saja yang kita temui sehari-hari.

Apa maksudnya?

Baiklah, penulis akan coba uraikan ini satu persatu. Pertama kita mulai dulu dengan melihat bagaimana komunikasi yang kita terapkan selama ini.

Komunikasi, sebagaimana yang sudah penulis tulis dalam artikel sebelumnya berjudul “Menata Relasi dengan Komunikasi” adalah bagian penting dalam interaksi sosial. Setiap kita melakukan kontak dengan orang lain, dengan cara dan media apapun, maka kita sedang melakukan komunikasi dengan orang lain. Komunikasi bisa merekatkan hubungan dan di saat yang sama komunikasi juga bisa meretakkan hubungan. Komunikasi bisa menjadi sumber konflik dan di sisi lain komunikasi bisa menyejukkan. Dan satu hal yang penting di sini adalah, komunikasi menjadi cerminan siapa diri kita sebenarnya.

Ada beberapa sikap komunikasi yang sering kali kita temukan: pertama, pembicaraan didominasi oleh satu orang. Lawan bicara dipaksa tidak berkutik sama sekali, hanya diam dan mendengar. Tak ada komentar dan respon. Di sini, ada relasi yang timpang dan bersifat sepihak. Dan kalau mau jujur melihat, ini menjadi ajang unjuk gigi dan unjuk diri si pembicara.

Kedua, ketika mengeluarkan pendapat, si pembicara menginginkan pendapatnya diterima dan dibenarkan oleh lawan bicara. Penulis masih ingat pengalaman penulis sendiri, ketika sedang berbicara dan teman lawan bicara mengangguk-angguk, penulis senang sekali. Dan begitu ada yang menyalahkan atau malahan mengejek, tidak menerima dan sakit hati. Semakin ditolak, kita semakin gigih meyakinkan pendapat kita. Akhirnya klaim salah dan benar bermain di sini. Sebenarnya tidak masalah bahwa kita merasa bahwa apa yang kita sampaikan benar, dan penulis yakin di sini, bahwa siapapun pasti akan menyampaikan sesuatu yang benar menurut dia (kecuali jika dia sengaja berbohong). Tetapi di sisi lain, dia juga menyalahkan. Nah, menyalahkan ini lah masalah. Lebih lanjut nanti penulis akan menguraikan hal ini.

Ketiga, komunikasi tidak setara. Ketidaksetaraan ini tidak hanya terkait dengan susunan kata dan kalimat  yang digunakan tapi juga terkait dengan sikap dan kosntruk social yang sudah lama terbangun. Item ini menjadi salah satu masalah penulis jika berhadap dengan keluarga dan teman-teman yang lebih senior. Dalam budaya timur, seorang anak harus hormat dengan orang tua, tidak boleh membantah, mendebat orang tua, berkata kasar dan harus patuh dengan orang tua. Begitu pula jika berhadapan dengan orang yang usianya lebih tua. Dalam tradisi penulis di Minangkabau, ada istilah bahasa mandata, bahasa mandaki dan bahasa malereng. Bahasan mandata adalah struktur bahasa yang digunakan dengan teman sebaya, bahasa mandaki, dengan orang yang lebih tua, dan bahasa malereang adalah dengan orang yang lebih muda.

Ketika berhadapan dengan yang lebih tua, bahasa harus diatur sedemikian mungkin. Tidak menyinggung, tidak mendebat dan lain sebagainya. Bahasa yang digunakan oleh yang lebih tua pun sangat menekan. “Kamu itu harus gini dan gitu…,”, “Ini tidak baik…”, “Jangan lakukan ini…”, “Mengapa tidak ambil yang itu aja…”. Bahasa perintah dan larangan sering muncul di sini. Menurut hemat penulis, ini satu bentuk penindasan dan komunikasi yang sepihak. Komunikasi sepihak mengandaikan lawan bicara tidak punya pengetahuan tentang yang dibicarakan.

Pada dasarnya tiga persoalan ini berujung pada satu muara, yaitu komunikasi sepihak, merasa diri paling benar dan yang lain salah atau paling tahu dan yang lain tidak tahu apa-apa. Tapi benarkah demikian?

Inti komunikasi menurut hemat penulis, bukanlah menjadi ajang unjuk diri tapi menjadi ruang pertemuan antara berbagai ide di setiap orang yang terlibat dalam pembicaraan tersebut. Dalam diskusi umpamanya, tidak penting jika ada seseorang punya ide brilian dan menjadi focus dalam diskusi, tapi bagaimana semua orang yang hadir di sana merasa terlibat dengan diskusi tersebut. Menumpahkan semua pemikiran dan pendapat mereka. Dan ketika jalan keluar ditemukan, ini akan menjadi milik bersama. Atau ketika berbicara dengan teman, tidak penting kita bercuap-cuap ria yang tak habisnya, tapi bagaimana teman kita juga terlibat dalam pembicaraan tersebut. Kebahagiaan bukan lagi milik seorang tapi jadi milik bersama.

Setiap orang pasti memiliki pengalaman dan pengetahuannya sendiri yang bisa jadi berbeda dengan pengetahuan dan pengalaman orang lain. Dan masing-masing pengetahuan dan pengalaman ini adalah hal yang benar bagi individu yang mengalami. Artinya, merasa diri paling benar dan orang lain salah adalah sikap yang tidak arif. Semua kita pasti akan bersikap dan berkata dengan sesuatu yang kita anggap benar. Maka komunikasi yang terjadi adalah mempertemukan hal yang benar menurut diri kita dan orang lain. Sehingga bahasanya yang digunakan sebaiknya adalah “Menurut saya begini, bagaimana menurutmu?”

Termasuk dalam hal ini, ketika orang yang lebih tua berbicara dengan yang lebih muda, atau yang lebih tahu berbicara dengan teman yang memiliki sedikit pengetahuan.

Dan ini lah yang kita namakan dialog. Dialog mengandaikan ada dua pihak atau lebih yang berada pada tingkatan setara. Tidak menyalahkan tapi terbuka terhadap kemungkinan pendapat yang benar dari orang lain. Ya, ini item yang penting sekali. Bersikap terbuka dan tidak menutup diri, hati dan pikiran.

Belajar untuk menahan diri tidak bicara terlalu banyak dan mengajak orang lain untuk terlibat dalam pembicaraan, belajar menerima yang berbeda, dan memberi ruang kemungkinan untuk menerima yang berbeda tersebut. Belajar tidak memaksakan pendapat sendiri dan belajar menghargai orang lain, meski dia lebih kecil atau tidak tahu apa-apa.

Pada akhirnya, dialog bukan lagi soal metode tapi merupakan sikap mental yang terbetuk dalam perbuatan kita. Frame awal perlu dibangun dalam kesadaran kita yang kemudian akan terwujud dalam pengalaman sehari-hari.


Kontributor: Ira Sasmita

Sumber gambar dari sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar