Senin, 17 September 2012

Riyo

Sumber Gambar
Riyo datang dalam keluarga ini sebagai seorang pengganggu...
Ibu yang baru meninggal setahun yang lalu, telah tergantikan oleh datangnya Budhe Arin. Bapak bilang, Budhe Rin adalah sahabat Ibu waktu SMA. Anehnya, belum pernah sekalipun selama 20 tahun Aini bernafas, sosok Budhe Rin muncul. Selama ini hanya ada Bapak, Ibu, mas Galang, dan mas Hanung dalam dunia Aini. Riyo dan Budhe Rin-lah yang datang dengan tiba-tiba.
“Kamu butuh Ibu, Ai,” kata Bapak malam itu, ketika beliau mengatakan keinginannya untuk menikah lagi, menikahi orang yang sama sekali tidak pernah singgah dalam kehidupan Ai sebelumnya.
“Tapi tidak dalam waktu sesingkat ini, Pak,” bantah Ai kemudian.
“Baru setahun Ibu meninggal,” tambah Ai cepat menatap mas Galang dan Mas Hanung bergantian, sangat berharap mendapat dukungan dari mereka berdua. Tapi keduanya malah membuang muka, seolah menolak untuk berpendapat. Seolah mereka sudah mengetahui semuanya. Seolah hanya Ai-lah tujuan rapat keluarga malam ini.
Ai pikir, mungkin ada suatu masalah yang membuat mereka begini. Dan mungkin masalahnya terlalu kompleks untuk bisa dipahami Ai, sekalipun Ai sudah 20 tahun. Seharusnya Ai bisa mengerti. Ai sudah bisa mengerti.
“Bapak nggak mungkin bisa melupakan Ibumu. Tapi realitasnya, kamu, Hanung dan Galang butuh Ibu.”
“Tapi kita bisa bertahan setahun ini tanpa Ibu, Pak,” kata Ai. Suaranya tercekat. Membayangkan Ibu sudah meninggal dan tidak bersama dengannya membuat dia sedih. Dia berharap tak ada air mata yang akan jatuh malam ini.
“Ai bisa mengurus diri Ai, mas Hanung dan mas Galang juga. Semuanya baik-baik saja. Kenapa Bapak masih harus mencarikan seorang Ibu?”
“Sudahlah Ai, Bapak juga punya hak yang sama besar dengan kita untuk bisa bahagia. Mungkin bagimu tak apa, tapi kamu ngerti juga posisi Bapak saat ini.”
Kalimat itu membungkam Ai sepersekian detik. Membuat saraf-saraf di otaknya berjalan cepat. Hak Bapak??? Iya, hak untuk dicintai. Hak untuk tidak sendiri. Hak untuk memiliki istri lagi.
Pembicaraan ditutup malam itu.
Dan Budhe Rin dan Riyo datang bulan berikutnya.
 ***
Bagitu Riyo datang, Ai langsung merasakan kebencian menggerogoti seluruh atom-atom dalam dirinya. Sosok malaikat kecil berusia 3,5 tahun itu langsung merebut perhatian seluruh anggota keluarga. Bapak, mas Hanung, mas Galang, semuanya mulai mencoba menarik perhatian si kecil. Dan yang selalu didengar Ai hanyalah suara tawa dan cekikikan Riyo yang bergema di segala penjuru rumah. Kecuali di kamar Ai. Suara itu teredam oleh bunyi radio yang keras atau ear phone yang tersumpal di telinganya.
Apa Ai cemburu???
Iya, dia cemburu.       
Dulu, sewaktu dia masih menjadi putri di sini. Ketika dia masih menjadi little princess, the only one, semuanya menjadi seperti di surga. Semua keinginan Ai dituruti. Ai menjadi kesayangan semua orang. Ai menjadi pusat dari rotasi rumah ini.
Dan sekarang???
Riyo merenggut semuanya.
***
“Kamu kenapa sih?” tanya mas Galang malam itu, kakak tertua Ai, 1 bulan sejak kedatangan Budhe Rin dan Riyo.
“Kenapa apanya, Mas?” balik Ai bertanya, tanpa mengalihkan perhatian dari buku tere-liye yang dipegangnya.
“Tadi kamu buat Riyo nangis. Nggak pernah mau kalau sama Riyo. Masih marah sama dia?”
“Kenapa Ai harus marah?” tanyanya.
“Yah...nggak tahu. Mungkin karena dia udah ngrebut posisimu sebagai anak terakhir di keluarga ini?”
“Alasan yang benar-benar konyol dan sama sekali tidak mendasar pada apapun. Mas Galang ngawur ah,” kata Ai keras, menyembunyikan kenyataanya, meskipun dalam hati deg-degan juga. Jangan-jangan semuanya terlalu gamblang ya??
“Ya udah, kalau gitu biasa aja kalau sama Riyo.”
“Ai juga biasa aja kok.”
“Oke kalau biasa, besok mau kan jemput Riyo di sekolah? Bapak ma Budhe pergi, Hanung di kampus, aku juga ada janji ma Eta.” Eta adalah calon istri mas Galang.
Bagi Ai, kalaupun pilihan satunya adalah mendaki puncak gunung merapi, dengan rela Ai pasti akan melakukannya. Tapi dengan tak ada pilihan lain...apa yang bisa dilakukan Ai coba??
***
Akhirnya, Ai datang menjemput Riyo di Play Group Ar-Rahman sore hari berikutnya. Belum pernah sekalipun Ai memasuki gedung PAUD itu, secara Ai juga tak ada urusan apapun. Sekarang pun dia juga terpaksa. Karena malas, dia dengan sengaja datang terlambat dari jam jemput yang mestinya jam 15.00. Dia datang 30 menit kemudian.
Gedung sudah sepi. Memang tidak bisa disebut gedung juga sebenarnya. Dari luar, bangunan ini lebih mirip rumah penduduk, tapi begitu melewati koridor panjang di tempat parkir, Ai terpesona sejenak. Ada berbagai macam bangunan tersebar acak di mana-mana. Di sebelah kirinya misalnya, ada ruangan terbuka berbentuk segilima dengan atap bulat. Di sebelah kanannya, ada saung kecil berwarna pink. Jauh di depannya ada rumah panggung terbuka dengan versi yang lebih kecil. Dan masih banyak lagi. Semuanya berisi berbagai macam mainan dan di dindingnya ada berbagai gambar. Ai berpikir mungkin ini ruang kelasnya. Lalu tak jauh di dekat rumah panggung itu, mainan jungkat-jungkit, ayunan, prosotan, semuanya hanya berdiri mematung, rindu dimainkan anak-anak lagi. Menanti dimainkan esok paginya lagi.
“Permisi,” sapa seseorang dari arah belakang.
Ai berbalik dan melihat seorang wanita paruh baya tersenyum ramah, “Kakaknya Riyo?”
Ai mengangguk pelan, lalu bersalaman.
“Saya senang akhirnya Riyo punya keluarga yang baik dengannya,” kata Guru yang memperkenalkan diri sebagai Bu Meta itu.
“Maksud anda?”
“Yah...kalau saya lihat sekilas, kedua kakak anda atau anda, semua memperlakukan Riyo layaknya seorang anak yang memang untuk dicintai dan disayangi. Faktor paling penting untuk kematangan perkembangan Riyo.”
Ai mengerutkan dahinya, tak mengerti sama sekali maksud dari guru ini.
“Oh...keadaan Riyo saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Dari seorang anak yang pendiam dan pemurung, menjadi seorang anak yang ceria dan cerdas sekali.”
Ai menelengkan kepalanya bingung. Pendiam dan pemurung?
“Memangnya Riyo dulu seperti itu?”
“Yah...dengan kondisi keluarganya yang dulu, ayahnya yang seperti itu, tentu perkembangan anak itupun juga terganggu. Anda tahu kan maksud saya?? Tapi sekarang dia sudah berubah banyak.”
Ai merasakan kebingungan. Memangnya seperti apa keadaan Riyo dulu? Ada apa dengan ayahnya? Apa yang menjadi penyebab perceraian Budhe Rin? Ai tak tahu. Ai bingung.
“Mari saya tunjukkan sesuatu pada Anda,” kata Bu Meta kemudian.
Mereka berdua berjalan beriringan menuju salah satu ‘rumah kelas’ di sana. Bu Meta langsung masuk ke dalamnya, dan mengambil sesuatu, dua buah kertas gambar. Yang satu bergambar sesuatu yang sepertinya seorang monster dengan mata galak dan seluruh tubuh mengeluarkan api. Sedangkan yang satunya...hati Ai seperti tercelup dalam air es ketika melihatnya. Ada gambar orang disana, 6 orang. Memang masih sangat acak, tapi Ai menyadarinya kalau dua sosok di sebelah kiri adalah Bapak dan Budhe Rin, di tengah adalah Riyo dan Ai kemudian mas Galang dan mas Hanung ada di dekatnya. Semuanya bergandengan tangan. Dan entah darimana Ai tahu, gambar monster itu mungkin adalah ayah Riyo dulu.
“Ketika saya bertanya siapa orang-orang di gambar itu, dengan lugas Riyo menjawab itu adalah ayah, ibu, dan kakaknya. Dan anda tahu apa yang dia jawab ketika saya bertanya kenapa Riyo menggambarnya, bukan menggambar pesawat yang mestinya ditugaskan?”
Ai mendongak dari gambar dan menatap penuh rasa ingin tahu.
“Katanya Riyo tidak ingin pesawat kalau dia bisa bersama dengan keluarganya. Riyo sayang semua. Begitu katanya, dengan wajah polos tapi bercahaya. Kelihatan sangat tulus sekali,” kata Bu Meta sambil tersenyum.
Setitik bening mengalir di hati Ai. Tercelup dalam kebencian yang selama ini menggerogoti hatinya. Lalu mengubahnya menjadi rasa sayang yang dalam. Entah kenapa, dia jadi kangen dengan Riyo.
“Dimana Riyo?”
“Dia ada di belakang, bermain pasir.”
Ai tersenyum berterima kasih lalu berjalan ke arah yang ditunjukkan Bu Meta. Benar, ada Riyo di sana. Si kecil sedang bermain dengan pasir sendirian. Sepatunya sudah dicopot, tasnya tergeletak di pinggir bak pasir sementara dia bertelanjang kaki duduk di atas gundukan pasir, membangun sesuatu yang Ai tebak sebuah istana.
“Riyo sedang buat apa?”
Riyo menoleh namanya dipanggil, lalu tersenyum sangat lebar, dan berlari ke arahnya. Tanpa mengatakan apapun menarik tangan Ai ke arah bak pasir.
“Itu rumah Riyo,” kata Riyo polos sambil menunjuk istana itu.
“Oh ya? Trus mbak A rumahnya di mana?”
Riyo masih tersenyum, “Itu rumah isinya Riyo, Bapak, Ibu, mas Lang, mas Nung, mbak A,” katanya cepat.
Ai tersenyum tulus.
Riyo, si malaikat kecil itu. Anak yang selama beberapa minggu ini dibencinya dengan alasan yang sangat konyol. Anak yang masih kecil dan harus melihat kekejaman ayah kandungnya dulu, yang mungkin sering menyiksa Budhe Rin maupun dirinya. Anak yang mengalami berbagai macam kejadian yang bahkan belum pernah dialami Ai yang selama ini memiliki semua hal termasuk Bapak, Mas Hanung, mas Galang...
Egoisnya kalau dia tidak mau membagi sedikit perasaan sayang itu. Egoisnya dia jika tidak mengijinkannya memiliki figur seorang ayah ketika dia tumbuh. Egoisnya dia ketika dia hanya memikirkan dirinya sendiri.
Riyo...Riyo...seandainya Riyo lebih besar dan lebih mengerti, pasti Riyo tahu perasaan yang sekarang dialami kak Ai. Indahnya bisa belajar tentang cinta tanpa syarat, tentang harga keikhlasan, tentang makna sebuah keluarga yang telah lama terlupakan oleh Ai. Makasih sudah menyadarkan kakak, my little hero...
“Yuk Riyo pulang. Nanti tak beliin es krim dech,” kata Ai riang sambil mengambil tas dan sepatu Riyo.
Riyo tersenyum gembira dan berlari-lari kecil di belakang Ai. Digandengnya tangan Ai yang bebas, sambil tersenyum lebar. Ada dua hati yang tumbuh di sana. Ada cinta yang bermekaran. Ada keluarga yang terjalin.
*) Oleh: Fatiharifah, Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar