Rabu, 12 September 2012

Pentingkah Logika Bahasa dalam Tulisan?

(1)
Dalam salah satu berita radio swasta nasional, terdengar ucapan reporter, “Keluarga korban yang tewas mengenaskan itu minta agar pelaku dihukum seberat-beratnya.” Kalimat itu diulang lagi oleh penyiar. Ada kekeliruan logika dalam kalimat itu. Kekeliruan itu akan berpengaruh terhadap pesan yang disampaikan. Persepsi yang berbeda disebabkan oleh penggunaan kalimat yang taksa. Ketaksaan itu terdapat pada sesuatu yang ingin disampaikan oleh reporter, yakni seorang mahasiswi yang ditemukan tewas mengenaskan dalam mobilnya di Bandung. Namun, kalimat yang diungkapkan menimbulkan dua persepsi, yaitu keluarga yang tewas mengenaskan atau korban yang tewas mengenaskan.

Ketaksaan dapat menimbulkan salah logika (salah nalar). Salah nalar berakibat pada salah informasi. Kesalahan informasi meimbulkan pemahaman yang keliru bagi pendengar. Oleh karena itu, kalimat contoh itu perlu ditata agar jelas. Penataan itu harus dimulai dari sistematika berpikir, lalu dituangkan dalam betuk kalimat. Jadi, kalimat itu diungkapkan menjadi Keluarga dari korban yang tewas mengenaskan itu minta agar pelaku dihukum seberat-beratnya. Dalam hal ini, perlu penambahan kata dari setelah kata keluarga agar tafsirannya hanya satu, yakni korban.


(2)
Ada kesalahan logika yang sering kita temukan dalam kata pegantar atau pidato. Misalnya kalimat pertama untuk menyatakan syukur kepada Tuhan ditulis dalam kalimat Dengan mengucapkan syukur kepada Tuhan, penulis dapat menyelesaikan buku ini. Pernah juga dalam sambutan muncul kalimat Dengan mengucapkan syukur kepada Tuhan, kita dapat merampungkan proyek ini. Salah logika tampak dalam kedua kalimat itu. Ada kesalahan hubungan sebab-akibat. Kedua kalimat itu mengandung pengertian, baik penyelesaian buku maupun perampungan proyek tidak memerlukan waktu, tenaga, dan pikiran. Keduanya terwujud hanya dengan mengucap syukur kepada Tuhan. Hal ini tentu mustahil. Kalimat itu akan logis apabila dinyatakan dengan Penulis bersyukur kepada Tuhan YME karena dapat menyelesaikan penulisan buku ini dan Kita bersyukur kepada Tuhan YME karena dapat merampungkan proyek ini.


(3)
Penghilangan salah satu subjek yng berbeda dalam kalimat yang mengandung unsur induk dan anak  kalimat dapat pula menimbulkan salah logika. Hal itu dapat dilihat dalam contoh kalimat Karena berusaha kabur, polisi terpaksa memuntahkan timah panas ke bagian kaki penjahat itu. Di dalam pikiran penutur, yang berusaha kabur adalah penjahat. Namun, kalimat yang diungkapkan ternyata tidak mengandung subjek. Tampaknya subjek yang hilang adalah subjek anak kalimat. Yang berusaha kabur dalam kalimat itu, berdasakan analisis struktur adalah polisi. Di dalam sebuah kalimat, apabila subjek anak kalimat dilesapkan, berarti subjeknya sama dengan subjek induk kalimat. Inilah alasannya bahwa secara strukturnya yang berusaha kabur adalah polisi. Padahal maksud penutur, yang berusaha kabur adalah penjahat. Di sinilah terjadi salah logika. Oleh karena itu, kalimat yang efektif adalah Karena penjahat itu berusaha kabur, polisi terpaksa memuntahkan timah panas ke bagian kaki penjahat tersebut (dalam hal ini penjahat tersebut tidak bisa diganti dengan kata ganti –nya, karena akan menimbulkan taksa dengan bagian kaki polisi) atau Karena berusaha kabur, penjahat itu ditembak oleh polisi sehingga mengenai kaki penjahat tersebut.


(4)
Salah logika dalam program pemeritah pengentasan kemiskinan barangkali tidak banyak dirasakan. Misalnya Program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan merupakan amanat UUD 1945. Di dalam kamus, mengentaskan berarti ‘mengangkat dari suatu tempat ke tempat lain, mengeluarkan sesuatu dari’. Namun, dalam konteks program mengentaskan digunakan secara salah, tidak sesuai dengan makna lesikalnya. Program itu berarti mengangkat kemiskinan. Hal itu berakibat bahwa kemiskinan kaan meningkat. Padahal, maksudnya adalah mengurangi atau menghilangkannya sama sekali. Sebaliknya, apabila makna kamus yang menjadi dasar/konsep program itu, berarti pemerintah mengangkat masyarakat dari kemiskinan. Dengan demikian perlu penambahan kata dari sebagai keterangan. Kalimat itu diefektifkan menjadi Pemerintah mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.


(5)
Hal yang sama juga terjadi pada mengejar ketertinggalan dalam contoh kalimat Indonesia harus mampu mengejar ketertinggalan dari negara lain. Apabila bangsa Indonesia mengejar ketertinggalan, kapan pun bangsa ini masih tertinggal dari negara lain (negara maju). Dengan kata lain, ketertinggalan mustahil kita kejar apabila kita bercita-cita menjadi bangsa/negara maju. Yang dapat kita kejar adalah kemajuan. Oleh karena itu, kalimat yang logis adalah Indonesia harus mampu mengejar kemajuan seperti negara maju.

(6)
Ada ketidaklogisan yang sangat mengganggu pikiran kita yang lazim diucakan oleh politisi, kebohongan publik. Contoh hal itu dapat kita temukan dalam kalimat Pejabat itu telah melaukan kebohongan publik. Di dalam kamus, kebohongan berarti ‘perilaku bohong, sesuatu  yang bohong’. Apabila makna kamus kita jadikan dasarrnya, ini berarti perihal bohong publik atau sesuatu yang bohong, yakni publik. Bandingkan dengan kejujuran publik. Yang jujur di sini adalah publik. Hal yang sama bermakna bahwa yang menjadi subjek dalam kebohongan publik adalah publik. Padahal, logika kita mengatakan bahwa publik tidak berbohong, tetapi justru yang berbohong adalah pejabat itu karena dipandang membohongi publik. Oleh karena itu, istilah yang tepat adalah pembohongan publik, bukan kebohongan publik.

Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa logika bahasa sangat menentukan keefektifan kalimat. Manakala logika bahasa tidak diperhatikan, pemahaman terhadap informasi yang disampaikan akan keliru. Akibatnya terjadi perbedaan interpretasi pembaca atau pendengar terhadap kalimat atau istilah yang digunakan. Dengan demikian, apa yang diinginkan dalam proses berbahasa tidak berjalan efektif.

Media Indonesia, 28 Agustus 2004

Sumber gambar dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar