Selasa, 25 September 2012

Cerita Kursi Tua


Suamiku, anak-anak yang dulu sering kau mandikan kalau aku sibuk masak makanan kesukaanmu, atau yang sering kau ajarkan mengendarai sepeda yang baru kau beli dari bonus gajimu, atau pula yang sering kau ceritakan dongeng kancil kalau aku sudah tidur duluan, kini mereka sudah besar-besar semua.

Andi, anak pertama kita, seorang insinyur. Banyak bangunan yang dirancangnya. Kau masih ingatkan, saat kau menggambar meja belajarnya, ia juga sibuk menggambar kandang ayam kesayangannya. Ya, walaupun akhirnya kau juga yang didesaknya untuk membuatkan kandang tersebut. Sekarang ia sangat bahagia dengan dua anak yang lucu-lucu dari istrinya yang cantik.

Sedangkan putri kedua kita, Ratna, sekarang dia menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi. Katanya selain mengajar, dia juga sering diundang untuk menjadi pembicara di berbagai acara. Mulai dari yang berhubungan dengan pendidikan, politik bahkan sampai persoalan perempuan. Si Barbie-begitu kau dulu suka memanggilnya-kini telah menjadi gadis mandiri, terlebih sekarang ia sedang mengandung cucu kita yang ketiga. Dia telah menikah setahun yang lalu.

Dan yang terakhir-si bontot-kini ia sering muncul di televisi. Anak yang dulu bicaranya sering berlepotan, kini dengan fasihnya berbicara tentang politik. Ya, dia seorang politikus. Sekarang dia menjabat sebagai anggota DPR. Aku ingat, waktu ia kuliah dulu, ia sering kali ikut demo. Sudah letih mulutku menasehatinya untuk tidak terlibat begitu jauh, tapi katanya, ia mau memperjuangkan kebenaran. Hingga akhirnya aku terpaksa mengalah. Kalau sudah jam sepuluh malam ia belum pulang, aku pasti kuatir.

Oh ya ia baru saja menikah dua bulan yang lalu. Tapi aku tidak bisa menyaksikan pesta pernikahannya, karena tidak dilaksanakan di sini. Dia menikah di Jakarta. Kau kan tahu, aku paling tidak bisa bepergian jauh. Jadi hanya doa saja yang ku kirim. Istrinya juga sama cantiknya dengan istri Andi.
Tiinn, tiiinnn, tiiinnn. Suara klakson kendaraan terdengar dari halaman depan.

Suamiku, itu pasti mereka. Ya, mereka datang. Aku tak salah lagi. Aku harus segera menemuinya. Oh, permata-permataku, akhirnya kalian datang. Sudah letih mata ini menanti keceriaan kalian yang tak tahu kapan terakhir kalinya aku merasakannya. Sudah lemah tangan ini mengharap untuk menyentuh kehangatan tubuh kalian yang tak tahu lagi bagaimana kelembutannya.

Kursi tua bergetar. Sedikit berderit. Dengan bantuan tongkat, dia melangkah sangat pelan, menuju pintu. Selama ini, bertemu dengan anak-anaknya selalu mengusik tidur yang entah kapan tak pernah lagi dilalui dengan nyenyak. Penyakit yang bersarang di badannya tak dirasakan lagi. Ia yakin, ini setimpal dengan pelukan anak-anak dan teriakan cucu-cucunya. Penyembuh segala kerinduan yang telah lama dipupuk dengan air matanya.

“Ada surat dari non Ratna, bu!”. Ternyata tidak seperti dugaannya. Pak pos. Lagi-lagi, pak pos yang datang. Mengapa bukan pak pos saja yang menjadi anaknya, pikirnya suatu hari. Supaya tak perlu ada rindu ini. Lagi-lagi ia menemui kenyataan yang sama.

Suamiku, hanya sepucuk surat yang aku terima. Ah, biarlah. Mungkin isinya mengabarkan kepulangan mereka. Ya, mereka pasti akan pulang. Mereka tidak mungkin membiarkanku menanggung beban-beban seorang ibu. Lihatlah suamiku, ini tulisan tangan Ratna.

Bu, bang Andi sedang sibuk dengan proyek barunya. Riko masih berada di luar negeri dengan istrinya dan aku tak lama lagi akan melahirkan. Kami tak bisa pulang untuk lebaran ini.

Kertas terlepas, jatuh tepat di kakinya. Tidak peduli. Dengan lemah dipaksakan kakinya melangkah menuju kursi coklat tua, tempat di mana suaminya sering duduk dan memperhatikan putra-putri mereka bermain petak umpet. Ya, sejak kepergian suaminya, kursi tua ini yang menjadi temannya, mengenang kembali cerita-cerita yang dulu pernah ada di rumah ini.

Suamiku, tak ada lagi yang bisa kutunggu. Karena yang kutunggu tak pernah mengerti arti sebuah penungguan. Kini aku sudah benar-benar lelah. Suamiku, ingatkah di kursi tua ini, dimana kau mengakhiri segalanya. Sekarang jemputlah aku, karena tak ada lagi yang bisa ku harap kecuali berdampingan denganmu, selamanya.

Padang - Yogyakarta, 2005 - 2012
(teruntuk dua orang yang tak sempat kucium tangannya. Maafkan keterlambatanku)

Cerpenis: Ira Sasmita

1 komentar: