Minggu, 30 September 2012


  Susut harum seruni, masih jelas meronda di seluruh ruangan rumah kami, juga halaman masih berserakan dengan susut harum bunga itu pula, seruni. Kemudian, hanyut bersama kumpulan air hujan tahun baru ini.
Bulan yang semalaman telah dinas keliling, berbagi dengan bumi, telah ke peraduannya kembali. Seperti biasa, seperti hari-hari yang lalu, bulan selalu saja berbagi tugas dan waktu dinas dengan matahari. Jika bulan datang pada pekat malam gulita, matahari datang pertanda fajar yang selalu menyapa.
Di luar sana, angin berkelindan, menghembus warna susut harum bunga, campur beludru airmata. Di antara susut bunga dan beludru air mata itu, mengalir segumpal mendung yang menyiratkan rintik kerinduan rumput-rumput di lapangan sepak bola biasa kami bermain.
Sebentar lagi hujan turun,” desisku dalam hati.
Tersadar aku menangkap sesuatu pada pendengaranku, suara riuh kanak-kanak.
Uji, hujan sudah turun. Ayo kita main bola,” ajak salah seorang dari segerombolan kanak-kanak, yang baru dapat mengeja huruf-huruf hijaiyah. Alif, ba’, ta’, tsa’….
Ayo Uji. Cepat ganti,” sambung yang lain.
Main bola kala hujan menderas adalah kebiasaanku, Ujo, kembaranku serta kawan-kawan sebayaku di desa Paya Benua ini. Kami sangat bahagia, bukan sekedar main bola saja, tapi kami juga bermain butir-butir hujan yang mengkristal di punggung-punggung daun pandan di setiap sudut rumah warga.
Bersama derap langkah kanak-kanak, yang saling mencipta pelangi dalam sebaris tawa bahagia itu, aku tetap terlarut berkabung dalam susut harum setangkai seruni, yang terus berdesak-desakan di setiap desau angin, yang mengalir bersama desah nafasku di antara deras hujan tahun baru. Di semerbak tanaman yang juga berserakan harum seruni.
Di sebuah hujan yang lebat, ketika kami seperti biasa, bermain sepak bola, juga bermain kristal-kristal lembut di punggung-punggung daun pandan Ibu-ibu warga desa. Sebuah peristiwa, telah berhasil membuatku diam bagai batu, tetapi tidak ada air setetes pun yang mengalir di atasku. Hujan itu, air berlarian, mengombak di parit-parit depan rumah di pinggir jalan raya.
Agh… Kak…, tolong… to…,” suara Ujo, adik kembarku setengah berteriak.
Ujo…,” ucapku berteriak. Terasa sebongkah kerikil menutup kerongkonganku. Namun, tidak banyak yang dapat aku lakukan. Kakiku gemetar, tampak tulang-tulang serta persendianku tidak lagi mampu menopang tubuhku yang kecil dan kerdil ini. Aku tersedak, nafasku terasa sempit melihat Ujo, Adik kembarku terseret gulungan air keruh hitam kecoklatan masuk ke gorong-gorong parit sepanjang dua meter, tepat di depan rumah kami.
Ujo…,” lirih ucapku, seraya kristal bening sesejuk embun di punggung-punggung daun mengalir dan hanyut di parit pelipisku.
Ada apa, Ji. Kenapa kamu menangis?” tanya seorang dari belakangku dan aku terus menunduk tidak menoleh, tanpa ingin tahu siapa sesosok yang datang di tengah kelabunya keadaanku saat itu.
Ujo. Ujo…, to…, tolong Ujo,” ucapku putus-putus, nafasku terengah-engah.
Kenapa, Ji. Ada apa dengan Ujo dan ke mana dia sekarang?” terasa semakin sempit hatiku mendengar pertanyaan yang hampir tidak bisa aku jawab itu.
Ji. Ini Ayah. Mana Ujo,” kembali sebuah tanya menyempitkan hatiku dari seorang yang mengaku Ayahku. Aku semakin lemas, tidak berdaya. Seluruh tubuhku gemetar.
Ayah… Ujo…,” jawabku di antara gemetar tubuhku yang begitu lemas. Terasa tidak sebatang tulang pun lagi yang menyangga tubuhku. Air mata meresap, mengalir bersama keringat yang mengucur dari pintu-pintu kulitku, sedikit mengombak seperti air yang mengalir yang menyeret sebatang tubuh adikku, Ujo di gorong-gorong jembatan itu.
Yah. Ujo dimakan air di parit itu,” suaraku tetap gemetar.
Apa… terseret air. Di mana Nak,” cetus Ayah, seraya kristal-kristal bening di matanya pecah kembali, setelah bertahun-tahun lalu membeku di antara desah nafas kehidupan tampak gagap suara Ayah.
Di mana Adikmu, Nak. Di mana…,” tanya Ayah mendesak kaget. Kali ini, Ayah benar-benar telah dikuasai segumpal kecemasan serta rasa takut.
Masih dalam gorong-gorong jembatan itu, Yah.” Seraya aku mengarahkan telunjukku ke arah gorong-gorong itu. Di sana masih tampak antrian ketat serupa antrian warga di awal bulan, ketika mengambil jatah subsidi bahan bakar.
Setelah antrian itu tampak lengang, hingga mencipta ruang di antara gelombang air pekat kecoklatan itu, aku semakin tidak berdaya. Terasa aku telah dikuasai oleh segala asa, sehingga membuat tulangku tidak mampu lagi menopang tubuhku yang kurus, seakan diterbangkan angin yang lewat bersama rintik hujan tahun baru ini.
Ujo… ini Ayah, Nak. Ini Ayah,” histeris Ayahku. Tapi Ujo tidak kuasa berbuat apa-apa lagi. Kulihat wajahnya telah semakin susut, walau mengalir darah segar dari hidungnya. Tangannya serta seluruh tubuhnya lunglai.
Nak… innalillah… wa inna ilaihi roji’un…, ” histeris suara Ayah menambah tubuhku semakin tidak kuasa. Namun, Uji hanya mengisyaratkan kedamaian di wajahnya yang telah begitu susut. Sedang aku tersentak, sempurnalah kini deritaku. Benar-benar aku tidak kuasa, terasa seluruh persendian melepaskan tulang-tulang yang menyangga sebatang tubuhku. Ya, telah terjadi sebuah perceraian yang sakral, perceraian antara tulang serta persendian.
Tidak hanya itu, sayu mataku. Hanya ada ruang lengang yang tidak mengisyaratkan liar angin ataupun tarian daun-daun pandan. Ujo, Adik kembarku yang barang tentu adalah seorang kawanku dalam setiap desah nafas hari. Kami selalu berlari mengeja kehidupan. Hujan kembali terisak lebat serupa dulu. Namun, seberkas cahaya halilintar, serta suara dentum petir-lah yang sedikit berbeda. Hari ini, hari keempat puluh setelah peristiwa itu terjadi. Tepat benar, empat puluh hari di hari hujan mengisyak. Namun susut harum seruni tetap meronda di setiap ruangan rumah kami. Dan terus berdesakan di antara tanaman di halaman depan rumah. Lebih-lebih, jika angin saling berkejaran menghanyutkan warna susut seruni juga beludru airmata.
Satu di antara dua saudara kembar itu, pasti cepat meninggal!” Aku mengulang-ulang sebaris kalimat yang kudapat di teras rumah tetangga kami. Tapi bernarkah? Dan kenapa harus Ujo, bukan aku? Ujo terlalu baik dan terlalu cepat waktu itu untuknya, Tuhan.
Uji…, ayo ke lapangan. Teman-teman sudah menunggu,” suara Ade dari halaman depan rumah. Tapi aku tidak menggubris seruan itu. Aku hanyut dalam desakan susut harum seruni.
Kalau ada Ujo…,” desisku menggantung.
Nak, Ade nunggu kamu di depan. Main sepak bola katanya,” seru Ibu dari balik tembok kamarku. Tetapi, aku tetap hanyut dalam desakan seruni.
Aku tidak suka main bola,” ucapku sekedar menjawab seruan Ibu.
Kulihat di luar jendela kamarku, hujan semakin menderas, susut harum seruni pun tetap saja meronda di antara gemericik isakan itu. Aku mencoba tersenyum di antara rintik hujan tahun baru itu. Aku terus mencoba.
Ujo… Adikku!”


-->
21 Desember 2009
Nurul Hasan dalam kumpulan cerpennya berjudul 'KABAR DARI RANTAU'



*Dimuat di majalah Horison Kakilangit, edisi April 2010.
*Juara I lomba menulis Cerpen Sastra se-Jatim yang diselenggarakan di UNISMA Malang, April 2010

0


  Tonpi si ular piton kecil berjalan menelusuri hutan dengan ceria. Ia bertekad berkenalan dengan teman-teman baru sesama penghuni hutan.
Saat melihat Nari si burung kenari di atas pohon sedang merapihkan bulu-bulunya, Tonpi memanjat untuk mendekatinya.

Hai, perkenalkan namaku Tonpi?”sapa Tonpi dengan senyuman manis ketika ia sudah di samping Nari.
Nari yang tadi khusyuk dengan bulu-bulu indahnya tersentak kaget ketika melihat siapa yang menyapanya. Ia lekas terbang terbirit-birit dengan kicauan ketakutan.

Lho, kok dia terbang?” heran Tonpi bertanya-tanya, “Ah, mungkin ia sedang terburu-buru.”
Tonpi kembali turun dari pohon. Ia mencoba mencari teman yang lain di hutan itu.
Kini Tonpi sedang mengamati Rabi si kelinci mengunyah-ngunyah di tengah rerumputan.

Hai, apa kabar? Kenalan yuk, aku Tonpi?” katanya ketika sudah di samping Rabi.

Puih!” Rabi menyemburkan kunyahan rumputnya ke wajah Tonpi lalu loncat terbirit-birit.
Tonpi yang tidak menyangka wajahnya disembur hanya tersenyum tabah. Untung tak jauh dari sana ada sungai kecil sehingga ia bisa membersihkan serpihan rumput di wajahnya.

Ah, mungkin ia kecewa rasa rumput ini tidak enak,” gumam Tonpi usai membersihkan wajah, ”Jadi, tak sengaja ia membuangnya di wajahku.”
Di seberang sungai itu ternyata ada seekor rusa sedang minum. Tonpi yang melihatnya langsung mendekat dengan meniti di atas jembatan.

Barangkali ia mau berkenalan denganku,” antusiasnya.
Tapi, Rosa si rusa sudah berlari pergi karena menyangka Tonpi mendekat hendak bermaksud jahat.
Tanpa lelah dan tetap optimis, Tonpi masih berusaha mencari teman baru dari ujung ke ujung hutan itu. Namun, hingga sore tak ada satu pun yang mau berkenalan dengannya. Akhirnya ia pulang.

Tolong! Tolong!” 
 
Tiba-tiba Tonpi mendengar suara ramai minta tolong. Ia menghentikan langkahnya menoleh ke belakang. Ternyata dua orang pemburu sedang menggotong beberapa binatang. Tonpi diam-diam mendekat.

Lho, itukan si kenari, si kelinci, dan si rusa.” serunya dalam hati. 
 
Memang benar. Kedua pemburu itu sedang memanggul rusa dengan tongkat. Sementara burung kenari dan kelinci terkurung di dalam sangkar bambu.

Aku harus menolong mereka,” geram Tonpi lalu menjulur lehernya dan mematuk betis salah satu pemburu itu.

Aduh!” rintih seorang pemburu melepaskan panggulannya jatuh terduduk. 
 
Melihat yang terjadi pada temannya, pemburu lainnya marah lalu memukul Tonpi dengan sebilah kayu. Tonpi yang tak sempat mengelak terkapar dipukul berkali-kali. Pemburu itu kemudian lekas-lekas menggotong temannya kabur meninggalkan hasil buruannya.
Rosa yang berhasil melepaskan tali ikatan kakinya kemudian membuka pintu sangkar dimana Nari dan Rabi dikurung. Mereka bernapas lega karena selamat. Lalu mereka bergegas menghampiri penolong yang terkapar di tanah.

Lho, ini kan ular yang hendak berkenalan denganku,” sentak Nari si burung kenari.

Iya, ular ini adalah ular yang aku ludahi wajahnya. Aku takut ia memakanku,” kata Rabi si kelinci.

Aku juga sempat melihatnya di sungai. Aku kira ia mendekatiku untuk membunuhku,” Rosa menambahkan.
Ketiga binatang itu terpaku menyesali diri karena telah berprasangka buruk terhadap ular itu.
***

Pesan Moral

Adik-adik, janganlah cepat-cepat mencurigai atau berprasangka buruk terhadap orang lain. Tetapi kita harus terlebih dahulu mencari tahu apa tujuannya mendekati kita.


   
0

Jumat, 28 September 2012


Tok, tok, tok. Bunyi suara pintu diketok dari luar.

“Mbak..” suara cempreng melengking terdengar dari balik pintu.

“Ya, sebentar. Mbak lagi pakai baju.” kataku sambil memakai kaos. “Hmm, itu pasti Asti”, batinku. Aku sangat mengenal suaranya. Bahkan dari suara tapak kakinya saat keluar kamar menuju kamarku, aku sudah tahu kalau itu pasti Asti. Bagaimana aku tidak mengenal dia. Sejak 2 tahun yang lalu, kami sudah sama-sama menghuni kos ini. Dia yang waktu itu baru saja daftar di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta, sedangkan aku baru saja melamar pekerjaan di salah satu LSM di Yogyakarta. Aku masih ingat saat kami pertama kali bertemu di halaman depan, ketika sama-sama mencari kos-kosan. Sambil tersenyum, dia menyapaku dan mengenalkan  namanya, Asti Putri Utami. Sejak itu, kami mulai dekat dan sudah seperti saudara kandung. Sepulang ku kerja dan saat dia juga sedang ada di kos, dia pasti selalu bertandang ke kemarku, seperti saat ini.

“Lho, matamu kok sembab gitu Asti”, kataku kaget saat menemukan wajahnya begitu pintu kamar ku buka. Dia seperti habis nangis. Lalu, tiba-tiba sesegukan, mencoba menahan supaya air matanya tidak keluar. Tapi tidak berhasil. Satu persatu air mata pun menetes dari kedua matanya.

“Mbakkk…” Sambil berlari menubruk tubuhku. Dia lalu memelukku erat. Suara tangisnya pun pecah.

“Ada apa Asti?” Tanyaku sambil melingkarkan kedua tanganku di tubuhnya, mencoba menguatkan dan memberi perlindungan padanya. Badanku sempat terhuyung ke belakang, saking kuatnya ia bersandar di tubuhku.

“Ayo duduk di kasur mbak” kataku kemudian sambil membimbing Asti ke kasur dan mengajaknya duduk. Duh, sudah berapa lama dia menangis. Matanya yang selalu terbelalak indah itu sekarang jadi memerah dan sembab. Tanganku membelalai rambutnya dan mengusap pundaknya. Ku biarkan dia selesaikan tangisnya. Memintanya diam sama saja dengan membuat emosinya semakin membludak dan tangis pun semakin keras. Aku mengambil segelas air dan menyerahkan padanya saat tangisnya mulai berkurang.

“Minumlah air ini, mungkin bisa menenangkanmu”.

Dia meminumnya. Seteguk, dua teguk hingga air di gelas itu habis.

“Apakah kamu mau cerita ke mbak apa yang terjadi, hingga wajahmu jadi semrawut seperti ini.” Kataku sambil bercanda.

Sedikit demi sedikit, dia mulai menegakkan kepalanya. Tangannya kemudian dijulurkan untuk mengambil beberapa lembar tisyu yang ku taruh di pinggir kasur. Dia mulai menghapus tetesan air mata yang membasasi pipinya, dan keringat yang juga mulai keluar di dahinya. Lalu dia mengucek-ngucek matanya, barangkali ada air mata di sana. Perlahan, tangisnya mulai hilang, isak pun tak terdengar.

“Aku sebel sama Dino mbak?”

“Sebel kenapa? Bukannya kemarin kamu lagi seneng-senengnya. Katanya baru habis jalan-jalan ke Parangtritis”, sahutku kaget.

“Itu dia mbak, aku tuh nggak ngerti banget ama dia.”

“Memangnya dia kenapa Asti?” Kataku sambil menyentuh lengannya.

Sesaat dia menarik nafas. Sepertinya cukup berat dia mengatakan masalah yang membebani hatinya.

“Mbak jangan marah ya?” Rajuknya. Aku menggeleng kepala, “Nggak dik. Kamu cerita saja, mbak akan mendengarnya”.

“Tadi pagi dia sms. Dia minta uang sama aku mbak.”

“Apa!? Dia minta uang lagi sama kamu!” Aku lupa janjiku sebelumnya. Suaraku meninggi saat tahu apa yang menjadi masalahnya.

“Katanya mbak nggak akan marah?”

“Eh iya, maaf. Ayo lanjutkan ceritanya,” kataku gugup begitu ingat ucapanku sebelumnya.

“Katanya, dia belum punya uang karena belum ada kiriman. Nanti kalau sudah datang kiriman, dia akan menggantinya mbak.”

“Mm, bukannya dulu dia juga pernah mengatakan demikian juga. Tapi kamu lihat kan, dia sama sekali tidak pernah membayarnya”.

“Iya sih mbak”

“Lha terus gimana? Apa kamu masih percaya begitu saja.”

“Aku bingung harus gimana mbak. Aku itu sayang banget ama dia. Waktu aku bilang uangku hanya cukup buat makan saja, seperti biasa dia bilangnya mau putus. Aku bingung mbak. Dia itu sayang nggak sih sama aku. Atau jangan-jangan dia hanya memorotin aku aja” Asti mulai terisak kembali. Lalu dengan terburu dia ambil lagi beberapa tisyuku.

“Asti, ini bukan pertama kalinya kamu mengeluhkan dia. Sebulan pertama kalian pacaran, kamu sudah mengeluhkan ini ke mbak. Dan sekarang mungkin sudah puluhan atau bahkan ratusan kamu nangis kayak gini. Dino bukan laki-laki baik. Mbak yakin kamu tahu itu. Untuk kamu pertahankan dia. Ada banyak laki-laki baik yang dapat memperlakukanmu dengan baik.”

Aku jadi ingat minggu-minggu pertama sejak mereka jadian. Asti dengan senangnya bercerita kalau harinya begitu sangat bahagia. Kemana-mana selalu berdua. Ke kampus, kantin, acara malam mingguan, acara keliling mingguan dan sebagainya. Tapi aku sendiri melihat keanehan. Biasanya dia tidak pernah meminjam uangku, karena kiriman dari orang tua selalu berlebih setiap bulannya. Maklum dia berasal dari keluarga yang cukup berada juga. Tapi waktu itu, aku biarkan saja. Mungkin dia perlu beli buku atau apalah untuk kebutuhan kuliahnya. Baru sebulan setelah itu, aku baru tahu. Uang yang dikeluarkan untuk makan bareng pacarnya, jalan-jalan dan sebagainya adalah dari Asti.

Aku sempat kaget mendengarnya. Langsung saja aku nasehati dia. Relasi pasangan hendaknya seimbang. Saling mengisi satu sama lain, timbal balik. Tidak hanya soal perhatian dan kasih sayang, tapi juga dalam hal materi. Aku juga tidak sepakat kalau laki-laki yang membiayai semua acara kencan. Begitu juga perempuan. Tapi waktu itu Asti mengatakan “Kalau aku sayang dia, berarti aku harus berkorban mbak”.  Hhh, saat dia mengatakan itu, aku tak bisa berkata-kata lagi. Aku paham, ini cintanya yang pertama. Ini juga kali pertama ia dekat dengan laki-laki. Aku biarkan saja ia mengalami. Aku percaya, meski tak bisa dinasehati oleh kata-kata, suatu saat nanti pengalaman akan memberikan pelajaran buatnya. Biarlah waktu yang akan bicara nanti. Terkadang, orang yang sedang menceritakan masalahnya bukan untuk mencari jalan keluar, tapi ia ingin ada teman yang mendengar keluh kesahnya.

Ku lihat Asti hanya terdiam, entah sedang mencerna kata-kataku, atau justru sedang diaduk oleh kebingungan. Saat ini dia mungkin tidak bisa berpikir jernih, jadi ku anjurkan untuk beristirahat di kamarku.

***

“Mbak, aku ke kampus dulu ya…”

“Mau ku antar?” Aku menawarkan tumpangan. Aku berpikir, Dino mungkin tidak menjemput setelah kejadian kemarin.

“Nggak usah mbak. Dino dah jemput. Dia sekarang di depan,” jawabnya sambil mengambil helm di depan kamarnya.

“Lho?” Meski sudah sering aku mengalami ini, tapi tetap saja aku kaget dengan jawabannya. Kejadian kemarin sepertinya sudah tak berbekas lagi, padahal merah dan sembab belum hilang dari kedua kelopak matanya.

“Semalam dia sms mbak. Dia bilang minta maaf. Dia juga bilang sayang banget sama aku mbak.” Sambil tersenyum simpul di sudut bibirnya dan berlalu meninggalkanku dengan wajah melongo.

Cerita ini diinspirasi oleh pengalaman seorang teman.

Gedongkuning, Februari 2012   

Sumber ilustrasi Google  

0


Kori si kera sangat senang berjalan-jalan di taman dekat lapangan, apalagi pada hari minggu seperti ini, karena pengunjung taman akan lebih banyak dari biasanya dan itu artinya akan ada banyak sisa makanan yang berserakan yang bisa ia makan. Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya ia menemukan sebutir kelapa yang tersisa, dia segera mengambilnya dan membawanya pulang ke hutan.

“Kau dapat dari mana buah kelapa itu”. Tupi si tupai menyapa dari atas pohon

“Aku menemukannya dari taman dekat lapangan, lumayan buat makan siang”.

“Maukah kau berbagi makan siangmu denganku?, aku haus sekali nih…”. Tupi memelas. Rupanya kemarau yang melanda belakangan ini, juga berimbas pada berkurangnya persediaan air di hutan, sehingga tak jarang penghuni hutan harus rela berbagi air minum dengan yang lainnya, maka wajar saja ketika Kori membawa kelapa beberapa kawannya langsung mengerubutinya.

“Ia Kori… dari pagi aku belum minum, bisakah kau memberikan sedikit air kelapa itu untukku???”.  Buli si bunglon menambahkan sambil menjulurkan lidahnya tanda kehausan.

“Maaf ya kawan-kawan, aku juga kehausan setelah berjalan dari taman sampai ke hutan ini, jadi aku akan menghabiskan kelapa ini sendirian, kalau kalian mau, silahkan cari sendiri di taman itu…”. Kori menjawab permintaan temannya sambil berlalu pergi, dia tidak mempedulikan Tupi dan Buli yang memandang iri.

       Sesampainya di rumah Kori langsung meletakan buah kelapa dia atas meja makan, ia membuka mulutnya lebar-lebar “krrk…auuu…”. Kori memegangi mulutnya, giginya yang hanya terbiasa mengunyah pisang terasa sangat ngilu, dia memang pernah mengunyah kulit kacang, tapi kulit kelapa ternyata jauh lebih keras dibanding kulit kacang.

       Kori mencoba kembali membuka kulit kelapa itu, kali ini ia menggunakan kedua tangannya “egghhh…”. Dahi Kori mulai mengeluarkan keringat, ternyata tangan mungilnya tidak terlalu kuat untuk beradu dengan kerasnya kulit kelapa.

      Akhirnya Kori terduduk lemas di pojoh rumah, dia ingin sekali segera bisa membuka kulit kelapa itu dan meminum airnya, ia sudah sangat kehausan. 

         Beberapa saat berlalu. Ada yang mengetuk pintu rumah Kori.

“Kori… apakah kau ada di dalam??”. Itu kan suara Beri si berang-berang, mau apa dia kemari, pikir Kori, sambil membuka pintu.

“Beri ada perlu apa kau disini? Kenapa tidak mengucapkan salam dulu?”. Kori menegur Beri.

“Oh iya,, aku lupa! Assalamu’alaikum Kori… aku hanya ingin meminta sedikit air minum, Buri adikku sangat kehausan, dia menangis terus di rumah, apakah kau punya air minum?”. Beri mengutarakan maksudnya dengan panjang lebar.

“Wa’alaikum salam… sebenarnya aku tidak punya air minum, tapi aku punya buah kelapa yang belum bisa aku buka, apakah kau tahu cara membukanya?”. Kori meminta solusi.

“Oh… itu sih gampang… serahkan saja padaku, aku kan sudah terbiasa mengunyah  kayu yang jauh lebih keras dibanding kulit kelapa”.  Beri tersenyum bangga.

“Baiklah kalau begitu, kau buka dulu kelapanya, sementara aku akan memanggil Tupi dan Buli, karena tadi mereka juga kehausan”. Kori berlari menuju rumah Tupi dan Buli.

Beberapa saat kemudian Kori dan kawan-kawan sudah asik mengerubuti buah kelapa yang lezat, mereka tak lagi kehausan karena sudah meminum air kelapa yang menyegarkan.


***

Pesan Moral

Berbagi dan bekerja sama adalah perbuatan terpuji yang diajarkan Nabi. Pekerjaan sulit akan menjadi mudah saat dikerjakan bersama-sama, dan kebahagiaan akan terasa lebih menyenangkan saat dinikmati dengan yang lainnya.


 *) Sunarti Ummu Hilma: Kuningan, Jawa Barat.

 Sumber gambar: www.rasikafm.co.id
0

Kamis, 27 September 2012


Agar bias menemukan inspirasi bagaimana menulis yang bagus, berbobot, dan memikat, kita perlu menikmati, mengapresiasi, dan menghayati tulisan atau karya (penulis tenar) sebanyak-banyaknya. Sebagai penulis pemula, pada tahap-tahap awal kita tidak apa-apa jika mencontoh style dan gaya penulis mapan yang tergolong “senior”, nanti toh lama kelamaan kita akan menemukan gaya dan cirri khas kita sendiri. Penulis-penulis yang telah tergolong mapan dan senior pun dulu waktu masih dalam tahap pencarian eksistensi diri (kebanyakan) juga mencontoh dan melakukan identifikasi kepada penulis pendahulunya yang tergolong mapan dan senior pula.

Modal utama seorang penulis adalah kelancaran berbahasa. Kelancaran berbahasa ini hanya bias dilatih dan diasah dengan cara membaca sebanyak mungkin dan latihan terus-menerus tanpa kenal lelah. Menulis adalah proses latihan dan mencoba terus-menerus. Semakin sering mencoba, seseorang akan semakin lancer menulis. Kemampuan bisa diibaratkan juga seperti mata pisau, agar tidak berkarat maka mata pisau harus dipakai dan diasah terus-menerus.

Untuk menjadi penulis, kita mungkin perlu membaca berbagai buku tentang teori menulis. Akan tetapi, janganlah kita berhenti hanya sebatas teori. Yang lebih penting lagi adalah praktiknya, yakni bagaimana kita mencoba latihan menulis secara terus-menerus. Mencoba dan mencoba lagi sampai bisa. Mencoba dan mencoba lagi sampai lancar. Semakin sering mencoba akan semakin bagus.

Pada tahap-tahap awal latihan menulis, kita bisa mencoba minta tolong kepada penulis yang lebih senior atau siapa pun yang kita rasa mampu untuk mengevaluasi dan mengoreksi tulisan kita. Misalnya, soal apa kelebihan dan kekurangan tulisan kita. Kita tidak perlu segan dan malu untuk minta tolong kepada orang lain yang kita rasa lebih mampu. Biarlah dia mengkritik dan “membantai” tulisan kita. Yang penting kita mendapat masukan dan kritik yang konstruktif untuk memperbaiki dan membenahi tulisan kita.

Koreksi dan evaluasi terhadap sebuah tulisan, biasanya menyangkut dua hal, yakni bobot isi atau tema serta teknik penyajian (meliputi bahasa, sistematika, dan keruntutan). Problem utama seorang penulis pemula biasanya terletak pada kesulitannya dalam membuat kalimat yang efektif. Penulis pemula biasanya terlalu berbelit-belit dan bertele-tele dalam merangkai kalimat. Kalimat dan bahasa seorang penulis yang ideal seharusnya jernih, lugas, padat, enak dibaca, dan komunikatif. Kalimat yang bagus dan ideal adalah kalimat yang sedang-sedang saja, tidak terlalu pendek dan juga tidak terlalu panjang.

Tingkat kecerdasan seseorang (kadang) bisa diukur dari sejauhmana dia lancer berbahasa, baik bahasa lisan maupun tulisan. Jika seseorang lancer berbahasa dan merangkai kalimat, menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang kritis dan cerdas. Sebaliknya, jika seseorang tergolong kurang cerdas atau bahkan bodoh, dia akan tampak rancu dan kurang lancar dalam berbahasa dan merangkai kalimat. Tingkat kelancaran dan kebaikan berbahasa bahkan bisa untuk mengukur kepribadian seseorang. Seseorang yang cerdas dan kritis akan selalu jernih, lancar, sistematis, dan komunikatif dalam menuangkan ide dan gagasannya.

Proses menulis sebetulnya merupakan pergumulan yang (seharusnya) intens dan total. Seorang penulis yang baik akan berjuang sekuat tenaga untuk mencari ide dan memilih kata-kata terbaik untuk menuangkan idenya. Mencari atau menjemput ide adalah satu hal, sementara menuangkan ide dalam bentuk tulisan adalah hal yang lain lagi. Seorang (penulis) yang mendapatkan ide belum tentu menjamin dirinya bisa menuangkan ide tersebut dalam bentuk tulisan yang jernih dan mengalir lancar.

Begitulah, di tangan seorang penulis, bahasa dan kalimat bisa menjadi indah, puitis, kocak, tajam, dan menusuk. Medan laga seorang penulis adalah bahasa, karena itulah penulis harus terus-menerus “berkelahi” dengan bahasa. Penulis akan berjuang merangkai kata dan kalimat seteliti mungkin. Menurut esais Goenawan Mohamad, preses menulis adalah bagaikan mengukir, menatah, dan membesut, sedikit demi sedikit memilih dan merangkai bkata dan kalimat, berjuang dengan tanda baca, secermat mungkin, dan sebaik mungkin. Goenawan adalah seorang dari sekian banyak penulis yang (mungkin) paling teliti dengan karyanya. Bukan hanya dari aspek ide dan tema, melainkan juga penggarapannya. Ia sangat cermat memilih kata dan merangkai kalimat sehingga sangat jarang kita temukan kerancuan dan kejanggalan dalam tulisan-tulisannya, terutama dari aspek bahasa dan teknik penyajian.

Goenawan selalu menyajikan tulisannya dengan kalimat yang variatif dan tidak monoton. Ini mungkin sesuai dengan tekad dan kredonya bahwa “monotonisasi dan repetisi (pengulangan) rasanya merupakan cacat dalam proses kreatif”.


Sumber: M. Arief Hakim, Kiat Menulis Artikel di Media dari Pemula Sampai Mahir, 2005, Bandung: Nuansa Cendekia.

0


PENGUMUMAN
Andalah yang Beruntung

Event game persaudaraan berupa ISENG NULIS DAPAT HADIAH bertema Kenangan Lebaran Tak Terlupakan telah berakhir. Dalam sebuah game ada yang beruntung dan ada pula yang tidak, itu sangat wajar. Nah, siapa saja yang beruntung? Berikut ini pengumumannya:


Jangan lupa, seusai event ini kami juga menggelar event baru lagi, yaitu Lomba Menulis Dongeng Pengantar Tidur bertajuk “Nina Bobo oh Nina Bobo”. Dalam event ini, aspek yang dinilai meliputi:
-          Bahasa.
-          Isi cerita.
-          Pesan positif di balik cerita.

Informasi lengkap tentang Nina Bobo oh Nina Bobo ini bisa dibaca di sini.


1

Selasa, 25 September 2012


Suamiku, anak-anak yang dulu sering kau mandikan kalau aku sibuk masak makanan kesukaanmu, atau yang sering kau ajarkan mengendarai sepeda yang baru kau beli dari bonus gajimu, atau pula yang sering kau ceritakan dongeng kancil kalau aku sudah tidur duluan, kini mereka sudah besar-besar semua.

Andi, anak pertama kita, seorang insinyur. Banyak bangunan yang dirancangnya. Kau masih ingatkan, saat kau menggambar meja belajarnya, ia juga sibuk menggambar kandang ayam kesayangannya. Ya, walaupun akhirnya kau juga yang didesaknya untuk membuatkan kandang tersebut. Sekarang ia sangat bahagia dengan dua anak yang lucu-lucu dari istrinya yang cantik.

Sedangkan putri kedua kita, Ratna, sekarang dia menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi. Katanya selain mengajar, dia juga sering diundang untuk menjadi pembicara di berbagai acara. Mulai dari yang berhubungan dengan pendidikan, politik bahkan sampai persoalan perempuan. Si Barbie-begitu kau dulu suka memanggilnya-kini telah menjadi gadis mandiri, terlebih sekarang ia sedang mengandung cucu kita yang ketiga. Dia telah menikah setahun yang lalu.

Dan yang terakhir-si bontot-kini ia sering muncul di televisi. Anak yang dulu bicaranya sering berlepotan, kini dengan fasihnya berbicara tentang politik. Ya, dia seorang politikus. Sekarang dia menjabat sebagai anggota DPR. Aku ingat, waktu ia kuliah dulu, ia sering kali ikut demo. Sudah letih mulutku menasehatinya untuk tidak terlibat begitu jauh, tapi katanya, ia mau memperjuangkan kebenaran. Hingga akhirnya aku terpaksa mengalah. Kalau sudah jam sepuluh malam ia belum pulang, aku pasti kuatir.

Oh ya ia baru saja menikah dua bulan yang lalu. Tapi aku tidak bisa menyaksikan pesta pernikahannya, karena tidak dilaksanakan di sini. Dia menikah di Jakarta. Kau kan tahu, aku paling tidak bisa bepergian jauh. Jadi hanya doa saja yang ku kirim. Istrinya juga sama cantiknya dengan istri Andi.
Tiinn, tiiinnn, tiiinnn. Suara klakson kendaraan terdengar dari halaman depan.

Suamiku, itu pasti mereka. Ya, mereka datang. Aku tak salah lagi. Aku harus segera menemuinya. Oh, permata-permataku, akhirnya kalian datang. Sudah letih mata ini menanti keceriaan kalian yang tak tahu kapan terakhir kalinya aku merasakannya. Sudah lemah tangan ini mengharap untuk menyentuh kehangatan tubuh kalian yang tak tahu lagi bagaimana kelembutannya.

Kursi tua bergetar. Sedikit berderit. Dengan bantuan tongkat, dia melangkah sangat pelan, menuju pintu. Selama ini, bertemu dengan anak-anaknya selalu mengusik tidur yang entah kapan tak pernah lagi dilalui dengan nyenyak. Penyakit yang bersarang di badannya tak dirasakan lagi. Ia yakin, ini setimpal dengan pelukan anak-anak dan teriakan cucu-cucunya. Penyembuh segala kerinduan yang telah lama dipupuk dengan air matanya.

“Ada surat dari non Ratna, bu!”. Ternyata tidak seperti dugaannya. Pak pos. Lagi-lagi, pak pos yang datang. Mengapa bukan pak pos saja yang menjadi anaknya, pikirnya suatu hari. Supaya tak perlu ada rindu ini. Lagi-lagi ia menemui kenyataan yang sama.

Suamiku, hanya sepucuk surat yang aku terima. Ah, biarlah. Mungkin isinya mengabarkan kepulangan mereka. Ya, mereka pasti akan pulang. Mereka tidak mungkin membiarkanku menanggung beban-beban seorang ibu. Lihatlah suamiku, ini tulisan tangan Ratna.

Bu, bang Andi sedang sibuk dengan proyek barunya. Riko masih berada di luar negeri dengan istrinya dan aku tak lama lagi akan melahirkan. Kami tak bisa pulang untuk lebaran ini.

Kertas terlepas, jatuh tepat di kakinya. Tidak peduli. Dengan lemah dipaksakan kakinya melangkah menuju kursi coklat tua, tempat di mana suaminya sering duduk dan memperhatikan putra-putri mereka bermain petak umpet. Ya, sejak kepergian suaminya, kursi tua ini yang menjadi temannya, mengenang kembali cerita-cerita yang dulu pernah ada di rumah ini.

Suamiku, tak ada lagi yang bisa kutunggu. Karena yang kutunggu tak pernah mengerti arti sebuah penungguan. Kini aku sudah benar-benar lelah. Suamiku, ingatkah di kursi tua ini, dimana kau mengakhiri segalanya. Sekarang jemputlah aku, karena tak ada lagi yang bisa ku harap kecuali berdampingan denganmu, selamanya.

Padang - Yogyakarta, 2005 - 2012
(teruntuk dua orang yang tak sempat kucium tangannya. Maafkan keterlambatanku)

Cerpenis: Ira Sasmita
1