Recent Post

Selasa, 03 Mei 2016

Secara sederhana, tipe guru dapat dipetakkan ke dalam beberapa bagian berikut.
Tipe Profesional
Profesional merupakan tipe guru terbaik yang diharapkan ada pada tiap sekolah. Guru ideal dituntut memiliki keahlian (kompetensi) mengajar tinggi, mulai dari perencanaan hingga evaluasi. Guru juga harus memiliki sikap mental dan moralitas yang penuh tanggung jawab. Dia memiliki hasrat kuat dan rasa tanggung jawab tinggi untuk membuat anak didik berhasil.
Ciri-ciri guru tipe profesional adalah:
1)   Biasa mempersiapkan model, berbagai instrumen dan bahan pembelajaran tanpa diminta, karena menganggapnya sebagai kebutuhan.
2)   Aktif mencari dan mengembangkan bahan-bahan pembelajaran sendiri.
3)   Aktif mencari cara agar seluruh anak didiknya berhasil.
4)   Sering menjadikan masalah pembelajaran dan siswa sebagai topik pembicaraan.
5)   Aktif mengevaluasi kinerjanya sendiri agar kualitas pembelajarannya meningkat.
6)   Berusaha menjadi contoh dan pembimbing terbaik bagi siswa.
7)   Keberhasilan mengajar tinggi. Guru merasa malu/tidak puas bila anak didiknya belum berhasil, sehingga terus berusaha mencari cara agar siswanya berhasil mencapai kompetensi yang diharapkan.
8)   Lebih suka berkumpul dengan siswa dibanding guru sehingga mempunyai kedekatan dan pengaruh kuat pada siswa.
9)   Sering menjadi idola siswa.
Tipe Potensial/Pembelajar
Tipe guru jenis inilah yang minimal diharapkan setiap sekolah. Mereka guru baru atau lama yang memiliki kemauan dan tanggung jawab tinggi untuk membuat siswanya berhasil, meski kompetensinya belum optimal.
Ciri-ciri guru tipe potensial adalah:
1)       Menyadari fungsi perencanaan, instrumen dan bahan ajar, tetapi masih kesulitan menyusun dan mengembangkannya.
2)       Belum benar-benar percaya diri, tetapi tak segan bertanya/belajar pada sejawat atau atasan bila ada masalah yang belum dia kuasai.
3)       Tidak segan bertanya/belajar agar seluruh anak didiknya berhasil.
4)       Banyak membahas masalah pembelajaran dan siswa sebagai topik pembicaraan.
5)       Suka mengevaluasi kinerja sendiri, dan terbuka pada kritik, saran dan masukan orang lain.
6)       Berusaha menjadi contoh dan pembimbing terbaik bagi siswa.
7)       Keberhasilan mengajar tinggi. Sama seperti guru profesional, guru tipe potensial akan  malu atau takut bila anak didiknya belum berhasil. Namun terus berusaha dan tidak berhenti mencari cara agar siswanya berhasil mencapai kompetensi. Walaupun kadang masih gugup bila menghadapi komplain dari orangtua siswa.
8)       Selama jam sekolah lebih suka berkumpul dengan siswa dibanding guru sehingga juga mempunyai kedekatan dan pengaruh kuat pada siswa sama seperti guru profesional. Guru tipe ini juga berpotensi jadi idola siswa.
Tipe Sinis
Sinis merupakan tipe guru yang buruk, tetapi banyak dijumpai di sekolah. Tipe ini memiliki cukup kepercayaan diri karena cukup lama mengajar. Meski demikian, kualitas pembelajarannya tidak cukup baik, karena tipe ini kurang fokus pada keberhasilan siswa. Guru tipe ini kurang memiliki rasa tanggung jawab, hingga kurang peduli apakah siswanya berhasil atau tidak.
Ciri-ciri guru tipe sinis adalah :
1)     Meski mampu, dia enggan mempersiapkan instrumen dan bahan pembelajaran, karena menganggap itu sebagai beban.
2)     Kompetensinya tidak berkembang, karena enggan mencari dan mengembangkan diri.
3)     Enggan berusaha agar siswa berhasil, tidak berorientasi pada kepuasan kerja, dan perhitungan.
v  Suka beralasan repot bila imbalan tidak memadai.
v  Menyikapi tugas sebagai beban kwajiban dan suka menghindari tugas sekolah.
v  Biasa bilang Dibayar berapa? atau Ada tambahan berapa?
v  Kaya alasan untuk membenarkan diri sendiri.
4)     Jarang membicarakan masalah pembelajaran dan siswa sebagai topik pembicaraan.
v  Fokus perhatiannya bukan pada kualitas kerja.
v  Akrab dengan pembicaraan negatif, kasak-kusuk dan tidak jarang yang berbau sinisme dan permusuhan.
5)     Tidak peduli pada kinerja sendiri.
v  Hanya aktif bila ada maunya, seperti kalau ada promosi atau takut kena sanksi.
v  Malas bekerja bila tidak ada atasan atau tidak dimandori.
6)     Tidak peduli apakah sikap dan perilakunya layak menjadi contoh bagi siswa atau tidak.
7)     Keberhasilan mengajar rendah.
v  Hanya bekerja keras bila ada imbalan materi yang sepadan.
v  Tidak disiplin, tidak sungguh-sungguh dan lebih suka santai dalam mengajar.
v  Keberhasilan siswa dan kepuasan wali murid bukan tujuan.
v  Tidak malu dan tidak peduli meski ada anak didiknya yang belum berhasil.
8)     Lebih suka berkumpul dengan guru dibanding siswa, sehingga:
v  Cenderung menjadi biang gosip di sekolah.
v  Mendekati siswa jika membutuhkan pengakuan
v  Termasuk kriteria guru galak atau santai dan cuek pada siswa.
v  Karakter anak didik tidak konstruktif.
Tipe Drop-Out
Drop-Out adalah tipe guru paling buruk, tetapi kadang ada juga sekolah bernasib apes karena punya guru semacam ini. Guru tipe ini tidak punya kemampuan pembelajaran memadai. Dia juga tidak peduli apakah hasil pembelajarannya baik atau tidak. Lebih tragis lagi, dia juga sulit belajar sehingga sulit kemampuannya sulit berkembang. Boleh dikatakan tipe ini adalah guru bodoh dan bermental buruk.
Ciri-cirinya tipe Drop-Out :
1)     Mengeluh bila diminta menyusun disain dan instrumen pembelajaran, karena dia tidak menyadari itu sebagai kebutuhan guru.
2)     Kompetensi tidak berkembang:
v   Keahlian keguruannya rendah.
v   Sulit memahami dan mudah bingung bila dihadapkan pada konsep baru.
3)     Tidak berusaha keras agar siswa berhasil. Selain tidak berorientasi pada kepuasan kerja, dia tidak menyadari kekurangan.
4)     Jarang membicarakan pembela-jaran dan siswa sebagai topik pembicaraan, karena:
v   Visi pendidikannya lemah.
v   Tidak berpendirian, mudah terpengaruh orang lain.
v   Emosional dan kemampuan berfikir rasionalnya rendah.
v   Kadang mudah tersinggung.
5)     Tidak peduli pada kinerja sendiri.
v   Tidak disiplin.
v   Kurang mampu mengajar.
v   Kadang perhitungan, tanpa menyadari bahwa itu artinya dia minta agar orang lain menghargai kebodohannya.
6)     Tidak tahu sikap dan perilakunya layak jadi contoh siswa atau tidak.
7)     Hasil pembelajaran rendah, tetapi bersikap santai seolah tidak ada masalah, karena:
v   Tidak malu dan tidak peduli meski ada anak didiknya yang belum berhasil.
v   Keberhasilan siswa dan kepuasan wali murid bukan tujuan.
v   Hanya bekerja keras bila ada imbalan materi yang sepadan.
8)     Suka berkumpul baik dengan guru maupun siswa pada jam sekolah.
v   Mudah terpengaruh dan menjadi pengukut setia guru tipe sinis.
v   Lebih mudah akrab dengan guru sinis dari pada guru potensial atau profesional.
v   Perilaku anak didik tidak konstruktif, karena tidak punya pretensi mendidik.


0

Guru Profesional adalah yang menjadikan profesinya tidak hanya sebagai penopang kehidupannya di dunia tapi juga sebagai tabungan untuk kehidupannya di akhirat. Menjadi profesional adalah tuntutan setiap profesi, seperti dokter, insinyur, pilot, ataupun profesi lain yang telah familiar ditengah masyarakat. Semua akan dikupas tuntas dalam bab berikut. Sebenarnya tidak sembarangan  orang bisa menjadi guru. Minimal menjadi guru harus memiliki keahlian tertentu dan distandarkan secara kode keprofesian. Apabila keahlian tersebut tidak dimiliki maka tidak dapat disebut guru.
Perlu disadari bahwa tidak semua guru memiliki kualitas sebagai guru. Faktanya, ada orang yang menjadi guru karena memang memiliki mentalitas guru, tapi ada juga yang hanya karena “nasib” saja yang membuatnya menjadi guru. Padahal sebenarnya guru merupakan operator sebuah kurikulum pendidikan. Ujung tombak pejuang pengentas kebodohan. Bahkan bisa dikatakan guru adalah mata rantai dan pilar peradaban serta benang merah bagi proses perubahan dan kemajuan suatu masyarakat atau bangsa.
Kualitas guru dapat ditelusuri berdasarkan :
1)     Kompetensinya, yakni keahliannya mengelola pembelajaran, mulai dari perencanaan hingga evaluasi.
2)     Orientasinya pada kepuasan kerja, yakni kemauan dan rasa tanggung jawab untuk membuat siswa berhasil.


0

Apapun cita-cita kita dulu, bagaimana pun usaha kita menggapai cita-cita dan
harapan itu, sekaranglah kenyataan yang sebenarnya. Bukan lagi saatnya mengeluhkan, “Aku terpaksa menjadi guru karena mendaftar jadi dokter tidak diterima, atau dari pada tidak bekerja, menganggur, buangan dari tempat lain dan sebagainya.
Sesungguhnya hal itu tidak tepat jika dikeluhkan sekarang. Mengingat tidak ada orang atau siapa pun yang memaksa kita menjadi guru. Siapa pun kita, apa pun profesi kita, harus dijalankan secara profesional. Karena jika tidak dijalankan secara profesional, profesi apa pun termasuk guru  maka akan memberikan beberapa dampak negatif antara lain :
-        Mengajar menjadi beban yang berat.
-        Tidak peduli dengan keadaan anak didik
-        Mengajar dengan terpaksa tanpa keihlasan
-        Anak-anak tidak diperhatikan, entah paham atau belum.
-        Semaunya sendiri tanpa memikirkan bagaimana anak didiknya
Kita semua tahu bahwa guru adalah mitra anak didik dalam kebaikan. Kemuliaan guru tercermin pada pengabdiannya kepada anak didik dalam interaksi edukatif di sekolah dan di luar sekolah. Guru memang harus menyadari bahwa dirinya adalah figur yang diteladani oleh semua pihak, terutama oleh anak didiknya di sekolah. Guru dan anak didik adalah "dwi tunggal" (bersatu dalam jiwa, terpisah dalam raga). Menjadi tugas dan kewajiban guru untuk membuat orang terlebih anak didiknya menjadi lebih baik.
Dengan kepercayaan yang diberikan masyarakat, maka di pundak guru diberikan tugas dan tanggung jawab yang berat. Mengemban tugas memang berat, namun lebih berat lagi mengemban tanggung jawab. Karena tanggung jawab guru tidak hanya sebatas dinding sekolah, tetapi juga di luar sekolah.
Oleh karena itu jalankan profesi secara profesional. Jangan sampai mereka generasi calon penerus bangsa juga ikut menyesal di kemudian hari lantaran kecewa akan perlakuan yang mereka terima sebelumnya. Berikan yang terbaik yang mampu diwariskan kepada anak cucu kita. Dengan demikian hasilnya akan jauh lebih baik dari yang diharapkan.


0

Banyak faktor yang membuat seseorang menjadi guru. Ada yang menjadikan guru sebagai profesi, namun banyak juga yang menjadikan guru karena panggilan nurani. Seseorang yang benar-benar ingin memberikan ilmunya kepada anak didiknya, generasi calon penerus bangsa.
Pernah ada, bahkan sering juga terjadi di sekitar kita seseorang yang sudah bekerja mapan dalam suatu instansi mengajukan permohonan alih tugas fungsional menjadi seorang guru. Pada mulanya banyak yang menentang, namun tidak bisa dipungkiri bahwa menjadi guru karena panggilan nurani jauh lebih mengena daripada sekadar menjadikan guru sebagai profesi.
Sosok manusia yang mengabdikan diri berdasarkan panggilan jiwa maupun hati nurani bukan karena tuntutan material belaka, itulah yang sesungguhnya profil guru ideal. Menjadi guru berdasarkan tuntutan pekerjaan adalah suatu perbuatan yang mudah, namun menjadi guru berdasarkan panggilan jiwa tidaklah mudah. Guru lebih banyak dituntut sebagai suatu pengabdian kepada anak didik daripada karena tuntutan pekerjaan dan materi.
Oleh karena itu wajarlah bila dikatakan bahwa guru adalah cerminan pribadi yang mulia, karena figur guru dengan segala kemuliaannya yang mengabdikan diri berdasarkan panggilan jiwa, bukan karena pekerjaan sampingan. Guru tidak hanya sebagai suatu profesi, tetapi juga sebagai suatu tugas kemanusiaan dan kemasyarakatan. Kepribadian guru akan tercermin dalam sikap dan perbuatannya dalam membina dan membimbing anak didik. Dengan keteladanannya, guru harus memiliki kepribadian yang dapat dijadikan profil dan idola. Seluruh kehidupannya adalah figur yang tak lapuk dimakan usia. Itulah kesan terhadap guru sebagai sosok yang ideal.
Guru ideal adalah sosok guru yang menyisihkan waktunya demi kepentingan anak didik, membimbing, mendengarkan keluhan, menasihati, membantu kesulitan anak didik dalam segala hal yang bisa menghambat aktivitas belajarnya. Guru juga berbicara dan bersenda gurau dengan anak-anak di sekolah. Jadi  bukan hanya duduk di kantor dengan sesama guru, tidak membuat jarak dengan anak didik, dan juga bukan merendahkan harga diri anak didik.
Kemuliaan guru tercermin pada pengabdiannya kepada anak didik baik di sekolah maupun di luar sekolah. Selain itu juga tercermin dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya sekadar simbol atau semboyan yang terpampang di kantor dewan guru. Pendidikan dilakukan tidak semata-mata dengan perkataan tetapi diaplikasikan dengan sikap, tingkah laku dan perbuatan.
Guru tidak pernah memusuhi muridnya meskipun suatu ketika ada anak didiknya yang berbuat kurang sopan. Bahkan dengan sabar dan bijaksana guru memberikan nasihat bagaimana cara bertingkah laku yang sopan pada orang lain. Guru seperti itulah yang diharapkan untuk mengabdikan diri di dunia pendidikan. Bukan guru yang hanya menuangkan ilmu pengetahuan ke dalam otak anak didik, sementara jiwa dan wataknya tidak dibina.
Di sinilah tugas guru tidak hanya sebagai suatu profesi, tetapi juga sebagai suatu tugas kemanusiaan dan kemasyarakatan. Meskipun tak jarang juga yang mengatakan ‘kepepet’ jadi guru karena tak ada lagi profesi yang mampu ia kerjakan. Profesi guru dianggap pilihan terakhir manakala tidak ada pekerjaan lain yang bisa didapatkan sesuai harapan dan setelah lelah mencari lowongan kerja di sana sini akhirnya mereka memutuskan melamar menjadi guru.
Dan seperti biasa, melamar kerja sebagai guru untuk sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah tertentu yang relatif memang membutuhkan guru bukanlah sebuah prosesi yang sukar di negara kita ini. Tinggal memasukkan lamaran, berbincang sebentar dengan kepala sekolah/madrasah atau wakil yang membidangi bagian kurikulum dan pengajaran, menunggu panggilan bahkan terkadang tidak perlu ada tes atau wawancara segala macam. Kadang bahkan di beberapa sekolah/madrasah karena terlalu kurangnya tenaga guru yang ada, tidak lagi mempertimbangan persoalan kualifikasi dan kemampuan akademis serta kompetensi ini itu yang dimiliki calon guru bersangkutan. Selama orang tersebut mau mengajar (sekaligus mau dibayar murah) maka jadi lah ia guru.
Oleh karenanya wajar jika melihat mutu sebuah sekolah atau madrasah menjadi seadanya bahkan tampak memprihatinkan. Salah satunya dikarenakan sumber daya pendidik atau tenaga guru-nya yang juga terbatas. Terbatas jumlah, terbatas kemampuan dan terbatas idealismenya. Dan lagi-lagi anak didik dan pendidikan di negara ini yang dikorbankan.
Banyak yang menganggap bahwa untuk menjadi seorang guru hanyalah kompetensi saja yang dibutuhkan. Lebih dari itu, ternyata ada syarat mutlak dari profesionalisme guru yang dibutuhkan, yaitu panggilan jiwa yang merupakan suatu bentuk keikhlasan untuk mentransfer pengetahuan kepada anak didiknya. Panggilan jiwa ini seharusnya tumbuh karena kesadaran diri untuk memperbaiki kondisi yang kurang maksimal.
Jika menjadi guru adalah panggilan jiwa maka profesi guru akan dihayati sedemikian rupa, dinikmati dengan segenap semangat pengabdian dan prestasi serta sanggup mengalahkan godaan-godaan profesi lain yang secara materi lebih menjanjikan. Seorang guru harus mau berfikir bagaimana seharusnya sistem pendidikan dibangun dan dikembangkan. Kalau diperlukan, siap mengabdikan dirinya sebagai guru di daerah terpencil dan mampu berprestasi baik secara akademis maupun materi.
Pengalaman menjadi guru, seseorang sempat menangis saat anak didiknya sukar diatur, ramai sendiri, dan tidak bisa memahami materi yang diberikan. Menangis bukan karena takut terhadap anak didiknya, melainkan tangis penyesalan belum mampu mendidik dengan baik. Belum bisa mengantarkan anak didiknya mengerti akan apa yang harusnya mereka mengerti. Bagaimana mungkin mereka akan melanjutkan perjuangan negara ini jika mereka seperti itu?
Bukankah menjadi guru sama dengan mengabdikan segenap jiwa raga dan kemampuan terbaik kita untuk menciptakan generasi masa depan yang jauh lebih bermartabat. Menjadi guru berarti siap menjadi tauladan, tidak harus selalu dan tidak semata-mata soal kepintaran belaka melainkan yang terpenting menjalankan tugas sebagai suri tauladan yang baik di mata anak didik dan masyarakat.
Masalah kesejahteraan adalah nomor kesekian dari daftar urutan pertimbangan menjadi guru. Jika prestasi sudah ditorehkan, jika program perbaikan moral dan peningkatan kecerdasan peserta didik telah diraih, maka dengan sendirinya kesejahteraan atau imbalam materi menjadi sesuatu yang sangat wajar diberikan. Namun sekali lagi dalam konteks pengabdian kemanusiaan itu bukanlah target dan tujuan utama.


0

Berikut beberapa hal yang harus dilakukan membangun guru yang bermutu dan mempunyai kualitas tinggi agar tujuan pendidikan bangsa ini tercapai.
Ø  Merekrut guru-guru yang memang memiliki kualifikasi tinggi pada bidangnya.
Dalam hal ini jangan asal melakukan perekrutan guru. Asal ada yang mengajar, asal jam kelas tidak kosong, yang penting kelas aman ada gurunya. Untuk mengajar pelajaran ilmu alam ya usahakan mereka yang kualifikasinya ilmu alam atau minimal serumpun dengan pelajaran itu. Namun kita ketahui sekarang ini banyak yang tidak sejalur dengan tingkat pendidikannya. Tidak sedikit guru yang kualifikasi pendidikannya ilmu sosial mengampu pelajaran lain seperti agama, PKn dan sebagainya.
Ø  Guru harus benar-benar kompeten dengan materi yang akan diberikannya.
Ini juga merupakan syarat mutlak yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Seorang guru harus menguasai secara kompeten materi yang akan disampaikan kepada anak didik. guru tidak bisa asal memberikan materi pada anak. Semua sudah disusun dalam silabus dan tertuang dalam RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran).
Ø  Guru juga harus memiliki komitmen yang benar-benar tinggi dalam usaha untuk mengembangkan kurikulum.
Kurikulum sebagus apapun yang telah dirancang oleh pemerintah tidak aka nada hasilnya tanpa usaha pengembangan dari guru yang secara langsung menjadi pelaksana perangkat pembelajaran. Oleh karena itu perlu direkrut guru-guru yang juga memiliki komitmen tinggi dalam mengembangkan kurikulum yang dicanangkan oleh pemerintah.
Ø  Memberikan pelatihan tentang pembelajaran sebanyak-banyaknya dan membiarkan mereka berkreasi di kelas.
Pelatihan bagi guru sangat besar manfaatnya guna memajukan dunia pendidikan di Indonesia. Setelah mengikuti penlatihan hendaknya guru menerapkannya dalam kelas. Guru harus mengkreasikan apa yang didapat dari hasil diklat saat mengajar dalam kelas.
Ø  Memberikan kesempatan magang guru ke sekolah-sekolah internasional agar melihat langsung bagaimana pendekatan competence-based dilakukan di kelas.
Selain memberikan pelatihan, guru juga perlu magang di sekolah lain (lebih baik jika di dunia internasional). Hal ini dilakukan guna pengamatan langsung kelebihan-kelebihan sekolah lain dibanding sekolah tempatnya bekerja.
Ø  Berikan otonomi seluas-luasnya pada mereka untuk mengembangkan kurikulum.
Guru sebaiknya diberikan kesempatan untuk mengembangkan kurikulum dengan metodenya sendiri. Kebebasan dalam bereksplorasi akan sangat menentukan mutu pendidikan. Tentunya kebebasan yang tetap berada pada koridor silabus yang ada. Biarkan guru mengajar dengan gaya dan model yang menurut mereka lebih bisa menarik bagi anak didik untuk mendapatkan ilmu pelajaran. Meskipun demikian tetap ada pengawasan yang harus dilakukan untuk menghindarkan diri anak dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Ø  Mengadakan pelatihan secara berkala.
Pelatihan secara berkala juga sangat membantu mutu guru di Indonesia. Mengingat perkembangan teknologi dan informasi yang begitu pesat memaksa guru  mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman. Oleh karena itu sekolah dan pemerintah harus memberikan pelatihan secara berkala pada guru.


0