Banyak faktor yang membuat seseorang menjadi guru. Ada yang
menjadikan guru sebagai profesi, namun banyak juga yang menjadikan guru karena
panggilan nurani. Seseorang yang benar-benar ingin memberikan ilmunya kepada
anak didiknya, generasi calon penerus bangsa.
Pernah ada, bahkan sering juga terjadi di sekitar kita
seseorang yang sudah bekerja mapan dalam suatu instansi mengajukan permohonan
alih tugas fungsional menjadi seorang guru. Pada mulanya banyak yang menentang,
namun tidak bisa dipungkiri bahwa menjadi guru karena panggilan nurani jauh
lebih mengena daripada sekadar menjadikan guru sebagai profesi.
Sosok manusia yang mengabdikan diri berdasarkan panggilan
jiwa maupun hati nurani bukan karena tuntutan material belaka, itulah yang
sesungguhnya profil guru ideal. Menjadi guru berdasarkan tuntutan pekerjaan
adalah suatu perbuatan yang mudah, namun menjadi guru berdasarkan panggilan
jiwa tidaklah mudah. Guru lebih banyak dituntut sebagai suatu pengabdian kepada
anak didik daripada karena tuntutan pekerjaan dan materi.
Oleh karena itu wajarlah bila dikatakan bahwa guru adalah
cerminan pribadi yang mulia, karena figur guru dengan segala kemuliaannya yang
mengabdikan diri berdasarkan panggilan jiwa, bukan karena pekerjaan sampingan. Guru
tidak hanya sebagai suatu profesi, tetapi juga sebagai suatu tugas kemanusiaan
dan kemasyarakatan. Kepribadian guru akan tercermin dalam sikap dan
perbuatannya dalam membina dan membimbing anak didik. Dengan keteladanannya,
guru harus memiliki kepribadian yang dapat dijadikan profil dan idola. Seluruh
kehidupannya adalah figur yang tak lapuk dimakan usia. Itulah kesan terhadap
guru sebagai sosok yang ideal.
Guru ideal adalah sosok guru yang menyisihkan waktunya demi
kepentingan anak didik, membimbing, mendengarkan keluhan, menasihati, membantu
kesulitan anak didik dalam segala hal yang bisa menghambat aktivitas
belajarnya. Guru juga berbicara dan bersenda gurau dengan anak-anak di sekolah.
Jadi bukan hanya duduk di kantor dengan
sesama guru, tidak membuat jarak dengan anak didik, dan juga bukan merendahkan
harga diri anak didik.
Kemuliaan guru tercermin pada pengabdiannya kepada anak
didik baik di sekolah maupun di luar sekolah. Selain itu juga tercermin dalam
kehidupan sehari-hari, bukan hanya sekadar simbol atau semboyan yang terpampang
di kantor dewan guru. Pendidikan dilakukan tidak semata-mata dengan perkataan
tetapi diaplikasikan dengan sikap, tingkah laku dan perbuatan.
Guru tidak pernah memusuhi muridnya meskipun suatu ketika
ada anak didiknya yang berbuat kurang sopan. Bahkan dengan sabar dan bijaksana
guru memberikan nasihat bagaimana cara bertingkah laku yang sopan pada orang
lain. Guru seperti itulah yang diharapkan untuk mengabdikan diri di dunia
pendidikan. Bukan guru yang hanya menuangkan ilmu pengetahuan ke dalam otak
anak didik, sementara jiwa dan wataknya tidak dibina.
Di sinilah tugas guru tidak hanya sebagai suatu profesi,
tetapi juga sebagai suatu tugas kemanusiaan dan kemasyarakatan. Meskipun tak
jarang juga yang mengatakan ‘kepepet’ jadi guru karena tak ada lagi profesi
yang mampu ia kerjakan. Profesi guru dianggap pilihan terakhir manakala tidak
ada pekerjaan lain yang bisa didapatkan sesuai harapan dan setelah lelah mencari
lowongan kerja di sana sini akhirnya mereka memutuskan melamar menjadi guru.
Dan seperti biasa, melamar kerja sebagai guru untuk
sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah tertentu yang relatif memang membutuhkan
guru bukanlah sebuah prosesi yang sukar di negara kita ini. Tinggal memasukkan
lamaran, berbincang sebentar dengan kepala sekolah/madrasah atau wakil yang
membidangi bagian kurikulum dan pengajaran, menunggu panggilan bahkan terkadang
tidak perlu ada tes atau wawancara segala macam. Kadang bahkan di beberapa
sekolah/madrasah karena terlalu kurangnya tenaga guru yang ada, tidak lagi
mempertimbangan persoalan kualifikasi dan kemampuan akademis serta kompetensi
ini itu yang dimiliki calon guru bersangkutan. Selama orang tersebut mau
mengajar (sekaligus mau dibayar murah) maka jadi lah ia guru.
Oleh karenanya wajar jika melihat mutu sebuah sekolah atau
madrasah menjadi seadanya bahkan tampak memprihatinkan. Salah satunya
dikarenakan sumber daya pendidik atau tenaga guru-nya yang juga terbatas.
Terbatas jumlah, terbatas kemampuan dan terbatas idealismenya. Dan lagi-lagi
anak didik dan pendidikan di negara ini yang dikorbankan.
Banyak yang menganggap bahwa untuk menjadi seorang guru
hanyalah kompetensi saja yang dibutuhkan. Lebih dari itu, ternyata ada syarat
mutlak dari profesionalisme guru yang dibutuhkan, yaitu panggilan jiwa yang
merupakan suatu bentuk keikhlasan untuk mentransfer pengetahuan kepada anak
didiknya. Panggilan jiwa ini seharusnya tumbuh karena kesadaran diri untuk
memperbaiki kondisi yang kurang maksimal.
Jika menjadi guru adalah panggilan jiwa maka profesi guru akan
dihayati sedemikian rupa, dinikmati dengan segenap semangat pengabdian dan
prestasi serta sanggup mengalahkan godaan-godaan profesi lain yang secara
materi lebih menjanjikan. Seorang guru harus mau berfikir bagaimana seharusnya
sistem pendidikan dibangun dan dikembangkan. Kalau diperlukan, siap mengabdikan
dirinya sebagai guru di daerah terpencil dan mampu berprestasi baik secara
akademis maupun materi.
Pengalaman menjadi guru, seseorang sempat menangis saat anak
didiknya sukar diatur, ramai sendiri, dan tidak bisa memahami materi yang
diberikan. Menangis bukan karena takut terhadap anak didiknya, melainkan tangis
penyesalan belum mampu mendidik dengan baik. Belum bisa mengantarkan anak
didiknya mengerti akan apa yang harusnya mereka mengerti. Bagaimana mungkin mereka
akan melanjutkan perjuangan negara ini jika mereka seperti itu?
Bukankah menjadi guru sama dengan mengabdikan segenap jiwa
raga dan kemampuan terbaik kita untuk menciptakan generasi masa depan yang jauh
lebih bermartabat. Menjadi guru berarti siap menjadi tauladan, tidak harus
selalu dan tidak semata-mata soal kepintaran belaka melainkan yang terpenting
menjalankan tugas sebagai suri tauladan yang baik di mata anak didik dan
masyarakat.
Masalah kesejahteraan adalah nomor kesekian dari daftar
urutan pertimbangan menjadi guru. Jika prestasi sudah ditorehkan, jika program
perbaikan moral dan peningkatan kecerdasan peserta didik telah diraih, maka
dengan sendirinya kesejahteraan atau imbalam materi menjadi sesuatu yang sangat
wajar diberikan. Namun sekali lagi dalam konteks pengabdian kemanusiaan itu
bukanlah target dan tujuan utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar