Selasa, 03 Mei 2016

Guru, Antara Profesi dan Panggilan Nurani

Banyak faktor yang membuat seseorang menjadi guru. Ada yang menjadikan guru sebagai profesi, namun banyak juga yang menjadikan guru karena panggilan nurani. Seseorang yang benar-benar ingin memberikan ilmunya kepada anak didiknya, generasi calon penerus bangsa.
Pernah ada, bahkan sering juga terjadi di sekitar kita seseorang yang sudah bekerja mapan dalam suatu instansi mengajukan permohonan alih tugas fungsional menjadi seorang guru. Pada mulanya banyak yang menentang, namun tidak bisa dipungkiri bahwa menjadi guru karena panggilan nurani jauh lebih mengena daripada sekadar menjadikan guru sebagai profesi.
Sosok manusia yang mengabdikan diri berdasarkan panggilan jiwa maupun hati nurani bukan karena tuntutan material belaka, itulah yang sesungguhnya profil guru ideal. Menjadi guru berdasarkan tuntutan pekerjaan adalah suatu perbuatan yang mudah, namun menjadi guru berdasarkan panggilan jiwa tidaklah mudah. Guru lebih banyak dituntut sebagai suatu pengabdian kepada anak didik daripada karena tuntutan pekerjaan dan materi.
Oleh karena itu wajarlah bila dikatakan bahwa guru adalah cerminan pribadi yang mulia, karena figur guru dengan segala kemuliaannya yang mengabdikan diri berdasarkan panggilan jiwa, bukan karena pekerjaan sampingan. Guru tidak hanya sebagai suatu profesi, tetapi juga sebagai suatu tugas kemanusiaan dan kemasyarakatan. Kepribadian guru akan tercermin dalam sikap dan perbuatannya dalam membina dan membimbing anak didik. Dengan keteladanannya, guru harus memiliki kepribadian yang dapat dijadikan profil dan idola. Seluruh kehidupannya adalah figur yang tak lapuk dimakan usia. Itulah kesan terhadap guru sebagai sosok yang ideal.
Guru ideal adalah sosok guru yang menyisihkan waktunya demi kepentingan anak didik, membimbing, mendengarkan keluhan, menasihati, membantu kesulitan anak didik dalam segala hal yang bisa menghambat aktivitas belajarnya. Guru juga berbicara dan bersenda gurau dengan anak-anak di sekolah. Jadi  bukan hanya duduk di kantor dengan sesama guru, tidak membuat jarak dengan anak didik, dan juga bukan merendahkan harga diri anak didik.
Kemuliaan guru tercermin pada pengabdiannya kepada anak didik baik di sekolah maupun di luar sekolah. Selain itu juga tercermin dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya sekadar simbol atau semboyan yang terpampang di kantor dewan guru. Pendidikan dilakukan tidak semata-mata dengan perkataan tetapi diaplikasikan dengan sikap, tingkah laku dan perbuatan.
Guru tidak pernah memusuhi muridnya meskipun suatu ketika ada anak didiknya yang berbuat kurang sopan. Bahkan dengan sabar dan bijaksana guru memberikan nasihat bagaimana cara bertingkah laku yang sopan pada orang lain. Guru seperti itulah yang diharapkan untuk mengabdikan diri di dunia pendidikan. Bukan guru yang hanya menuangkan ilmu pengetahuan ke dalam otak anak didik, sementara jiwa dan wataknya tidak dibina.
Di sinilah tugas guru tidak hanya sebagai suatu profesi, tetapi juga sebagai suatu tugas kemanusiaan dan kemasyarakatan. Meskipun tak jarang juga yang mengatakan ‘kepepet’ jadi guru karena tak ada lagi profesi yang mampu ia kerjakan. Profesi guru dianggap pilihan terakhir manakala tidak ada pekerjaan lain yang bisa didapatkan sesuai harapan dan setelah lelah mencari lowongan kerja di sana sini akhirnya mereka memutuskan melamar menjadi guru.
Dan seperti biasa, melamar kerja sebagai guru untuk sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah tertentu yang relatif memang membutuhkan guru bukanlah sebuah prosesi yang sukar di negara kita ini. Tinggal memasukkan lamaran, berbincang sebentar dengan kepala sekolah/madrasah atau wakil yang membidangi bagian kurikulum dan pengajaran, menunggu panggilan bahkan terkadang tidak perlu ada tes atau wawancara segala macam. Kadang bahkan di beberapa sekolah/madrasah karena terlalu kurangnya tenaga guru yang ada, tidak lagi mempertimbangan persoalan kualifikasi dan kemampuan akademis serta kompetensi ini itu yang dimiliki calon guru bersangkutan. Selama orang tersebut mau mengajar (sekaligus mau dibayar murah) maka jadi lah ia guru.
Oleh karenanya wajar jika melihat mutu sebuah sekolah atau madrasah menjadi seadanya bahkan tampak memprihatinkan. Salah satunya dikarenakan sumber daya pendidik atau tenaga guru-nya yang juga terbatas. Terbatas jumlah, terbatas kemampuan dan terbatas idealismenya. Dan lagi-lagi anak didik dan pendidikan di negara ini yang dikorbankan.
Banyak yang menganggap bahwa untuk menjadi seorang guru hanyalah kompetensi saja yang dibutuhkan. Lebih dari itu, ternyata ada syarat mutlak dari profesionalisme guru yang dibutuhkan, yaitu panggilan jiwa yang merupakan suatu bentuk keikhlasan untuk mentransfer pengetahuan kepada anak didiknya. Panggilan jiwa ini seharusnya tumbuh karena kesadaran diri untuk memperbaiki kondisi yang kurang maksimal.
Jika menjadi guru adalah panggilan jiwa maka profesi guru akan dihayati sedemikian rupa, dinikmati dengan segenap semangat pengabdian dan prestasi serta sanggup mengalahkan godaan-godaan profesi lain yang secara materi lebih menjanjikan. Seorang guru harus mau berfikir bagaimana seharusnya sistem pendidikan dibangun dan dikembangkan. Kalau diperlukan, siap mengabdikan dirinya sebagai guru di daerah terpencil dan mampu berprestasi baik secara akademis maupun materi.
Pengalaman menjadi guru, seseorang sempat menangis saat anak didiknya sukar diatur, ramai sendiri, dan tidak bisa memahami materi yang diberikan. Menangis bukan karena takut terhadap anak didiknya, melainkan tangis penyesalan belum mampu mendidik dengan baik. Belum bisa mengantarkan anak didiknya mengerti akan apa yang harusnya mereka mengerti. Bagaimana mungkin mereka akan melanjutkan perjuangan negara ini jika mereka seperti itu?
Bukankah menjadi guru sama dengan mengabdikan segenap jiwa raga dan kemampuan terbaik kita untuk menciptakan generasi masa depan yang jauh lebih bermartabat. Menjadi guru berarti siap menjadi tauladan, tidak harus selalu dan tidak semata-mata soal kepintaran belaka melainkan yang terpenting menjalankan tugas sebagai suri tauladan yang baik di mata anak didik dan masyarakat.
Masalah kesejahteraan adalah nomor kesekian dari daftar urutan pertimbangan menjadi guru. Jika prestasi sudah ditorehkan, jika program perbaikan moral dan peningkatan kecerdasan peserta didik telah diraih, maka dengan sendirinya kesejahteraan atau imbalam materi menjadi sesuatu yang sangat wajar diberikan. Namun sekali lagi dalam konteks pengabdian kemanusiaan itu bukanlah target dan tujuan utama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar