Jumat, 28 September 2012

Curhat


Tok, tok, tok. Bunyi suara pintu diketok dari luar.

“Mbak..” suara cempreng melengking terdengar dari balik pintu.

“Ya, sebentar. Mbak lagi pakai baju.” kataku sambil memakai kaos. “Hmm, itu pasti Asti”, batinku. Aku sangat mengenal suaranya. Bahkan dari suara tapak kakinya saat keluar kamar menuju kamarku, aku sudah tahu kalau itu pasti Asti. Bagaimana aku tidak mengenal dia. Sejak 2 tahun yang lalu, kami sudah sama-sama menghuni kos ini. Dia yang waktu itu baru saja daftar di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta, sedangkan aku baru saja melamar pekerjaan di salah satu LSM di Yogyakarta. Aku masih ingat saat kami pertama kali bertemu di halaman depan, ketika sama-sama mencari kos-kosan. Sambil tersenyum, dia menyapaku dan mengenalkan  namanya, Asti Putri Utami. Sejak itu, kami mulai dekat dan sudah seperti saudara kandung. Sepulang ku kerja dan saat dia juga sedang ada di kos, dia pasti selalu bertandang ke kemarku, seperti saat ini.

“Lho, matamu kok sembab gitu Asti”, kataku kaget saat menemukan wajahnya begitu pintu kamar ku buka. Dia seperti habis nangis. Lalu, tiba-tiba sesegukan, mencoba menahan supaya air matanya tidak keluar. Tapi tidak berhasil. Satu persatu air mata pun menetes dari kedua matanya.

“Mbakkk…” Sambil berlari menubruk tubuhku. Dia lalu memelukku erat. Suara tangisnya pun pecah.

“Ada apa Asti?” Tanyaku sambil melingkarkan kedua tanganku di tubuhnya, mencoba menguatkan dan memberi perlindungan padanya. Badanku sempat terhuyung ke belakang, saking kuatnya ia bersandar di tubuhku.

“Ayo duduk di kasur mbak” kataku kemudian sambil membimbing Asti ke kasur dan mengajaknya duduk. Duh, sudah berapa lama dia menangis. Matanya yang selalu terbelalak indah itu sekarang jadi memerah dan sembab. Tanganku membelalai rambutnya dan mengusap pundaknya. Ku biarkan dia selesaikan tangisnya. Memintanya diam sama saja dengan membuat emosinya semakin membludak dan tangis pun semakin keras. Aku mengambil segelas air dan menyerahkan padanya saat tangisnya mulai berkurang.

“Minumlah air ini, mungkin bisa menenangkanmu”.

Dia meminumnya. Seteguk, dua teguk hingga air di gelas itu habis.

“Apakah kamu mau cerita ke mbak apa yang terjadi, hingga wajahmu jadi semrawut seperti ini.” Kataku sambil bercanda.

Sedikit demi sedikit, dia mulai menegakkan kepalanya. Tangannya kemudian dijulurkan untuk mengambil beberapa lembar tisyu yang ku taruh di pinggir kasur. Dia mulai menghapus tetesan air mata yang membasasi pipinya, dan keringat yang juga mulai keluar di dahinya. Lalu dia mengucek-ngucek matanya, barangkali ada air mata di sana. Perlahan, tangisnya mulai hilang, isak pun tak terdengar.

“Aku sebel sama Dino mbak?”

“Sebel kenapa? Bukannya kemarin kamu lagi seneng-senengnya. Katanya baru habis jalan-jalan ke Parangtritis”, sahutku kaget.

“Itu dia mbak, aku tuh nggak ngerti banget ama dia.”

“Memangnya dia kenapa Asti?” Kataku sambil menyentuh lengannya.

Sesaat dia menarik nafas. Sepertinya cukup berat dia mengatakan masalah yang membebani hatinya.

“Mbak jangan marah ya?” Rajuknya. Aku menggeleng kepala, “Nggak dik. Kamu cerita saja, mbak akan mendengarnya”.

“Tadi pagi dia sms. Dia minta uang sama aku mbak.”

“Apa!? Dia minta uang lagi sama kamu!” Aku lupa janjiku sebelumnya. Suaraku meninggi saat tahu apa yang menjadi masalahnya.

“Katanya mbak nggak akan marah?”

“Eh iya, maaf. Ayo lanjutkan ceritanya,” kataku gugup begitu ingat ucapanku sebelumnya.

“Katanya, dia belum punya uang karena belum ada kiriman. Nanti kalau sudah datang kiriman, dia akan menggantinya mbak.”

“Mm, bukannya dulu dia juga pernah mengatakan demikian juga. Tapi kamu lihat kan, dia sama sekali tidak pernah membayarnya”.

“Iya sih mbak”

“Lha terus gimana? Apa kamu masih percaya begitu saja.”

“Aku bingung harus gimana mbak. Aku itu sayang banget ama dia. Waktu aku bilang uangku hanya cukup buat makan saja, seperti biasa dia bilangnya mau putus. Aku bingung mbak. Dia itu sayang nggak sih sama aku. Atau jangan-jangan dia hanya memorotin aku aja” Asti mulai terisak kembali. Lalu dengan terburu dia ambil lagi beberapa tisyuku.

“Asti, ini bukan pertama kalinya kamu mengeluhkan dia. Sebulan pertama kalian pacaran, kamu sudah mengeluhkan ini ke mbak. Dan sekarang mungkin sudah puluhan atau bahkan ratusan kamu nangis kayak gini. Dino bukan laki-laki baik. Mbak yakin kamu tahu itu. Untuk kamu pertahankan dia. Ada banyak laki-laki baik yang dapat memperlakukanmu dengan baik.”

Aku jadi ingat minggu-minggu pertama sejak mereka jadian. Asti dengan senangnya bercerita kalau harinya begitu sangat bahagia. Kemana-mana selalu berdua. Ke kampus, kantin, acara malam mingguan, acara keliling mingguan dan sebagainya. Tapi aku sendiri melihat keanehan. Biasanya dia tidak pernah meminjam uangku, karena kiriman dari orang tua selalu berlebih setiap bulannya. Maklum dia berasal dari keluarga yang cukup berada juga. Tapi waktu itu, aku biarkan saja. Mungkin dia perlu beli buku atau apalah untuk kebutuhan kuliahnya. Baru sebulan setelah itu, aku baru tahu. Uang yang dikeluarkan untuk makan bareng pacarnya, jalan-jalan dan sebagainya adalah dari Asti.

Aku sempat kaget mendengarnya. Langsung saja aku nasehati dia. Relasi pasangan hendaknya seimbang. Saling mengisi satu sama lain, timbal balik. Tidak hanya soal perhatian dan kasih sayang, tapi juga dalam hal materi. Aku juga tidak sepakat kalau laki-laki yang membiayai semua acara kencan. Begitu juga perempuan. Tapi waktu itu Asti mengatakan “Kalau aku sayang dia, berarti aku harus berkorban mbak”.  Hhh, saat dia mengatakan itu, aku tak bisa berkata-kata lagi. Aku paham, ini cintanya yang pertama. Ini juga kali pertama ia dekat dengan laki-laki. Aku biarkan saja ia mengalami. Aku percaya, meski tak bisa dinasehati oleh kata-kata, suatu saat nanti pengalaman akan memberikan pelajaran buatnya. Biarlah waktu yang akan bicara nanti. Terkadang, orang yang sedang menceritakan masalahnya bukan untuk mencari jalan keluar, tapi ia ingin ada teman yang mendengar keluh kesahnya.

Ku lihat Asti hanya terdiam, entah sedang mencerna kata-kataku, atau justru sedang diaduk oleh kebingungan. Saat ini dia mungkin tidak bisa berpikir jernih, jadi ku anjurkan untuk beristirahat di kamarku.

***

“Mbak, aku ke kampus dulu ya…”

“Mau ku antar?” Aku menawarkan tumpangan. Aku berpikir, Dino mungkin tidak menjemput setelah kejadian kemarin.

“Nggak usah mbak. Dino dah jemput. Dia sekarang di depan,” jawabnya sambil mengambil helm di depan kamarnya.

“Lho?” Meski sudah sering aku mengalami ini, tapi tetap saja aku kaget dengan jawabannya. Kejadian kemarin sepertinya sudah tak berbekas lagi, padahal merah dan sembab belum hilang dari kedua kelopak matanya.

“Semalam dia sms mbak. Dia bilang minta maaf. Dia juga bilang sayang banget sama aku mbak.” Sambil tersenyum simpul di sudut bibirnya dan berlalu meninggalkanku dengan wajah melongo.

Cerita ini diinspirasi oleh pengalaman seorang teman.

Gedongkuning, Februari 2012   

Sumber ilustrasi Google  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar