Tok, tok, tok. Bunyi suara pintu diketok dari
luar.
“Mbak..” suara cempreng melengking terdengar dari
balik pintu.
“Ya, sebentar. Mbak lagi pakai baju.” kataku
sambil memakai kaos. “Hmm, itu pasti Asti”, batinku. Aku sangat mengenal
suaranya. Bahkan dari suara tapak kakinya saat keluar kamar menuju kamarku, aku
sudah tahu kalau itu pasti Asti. Bagaimana aku tidak mengenal dia. Sejak 2
tahun yang lalu, kami sudah sama-sama menghuni kos ini. Dia yang waktu itu baru
saja daftar di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta, sedangkan aku baru
saja melamar pekerjaan di salah satu LSM di Yogyakarta. Aku masih ingat saat
kami pertama kali bertemu di halaman depan, ketika sama-sama mencari kos-kosan.
Sambil tersenyum, dia menyapaku dan mengenalkan
namanya, Asti Putri Utami. Sejak itu, kami mulai dekat dan sudah seperti
saudara kandung. Sepulang ku kerja dan saat dia juga sedang ada di kos, dia
pasti selalu bertandang ke kemarku, seperti saat ini.
“Lho, matamu kok sembab gitu Asti”, kataku kaget
saat menemukan wajahnya begitu pintu kamar ku buka. Dia seperti habis nangis. Lalu,
tiba-tiba sesegukan, mencoba menahan supaya air matanya tidak keluar. Tapi
tidak berhasil. Satu persatu air mata pun menetes dari kedua matanya.
“Mbakkk…” Sambil berlari menubruk tubuhku. Dia
lalu memelukku erat. Suara tangisnya pun pecah.
“Ada apa Asti?” Tanyaku sambil melingkarkan kedua
tanganku di tubuhnya, mencoba menguatkan dan memberi perlindungan padanya.
Badanku sempat terhuyung ke belakang, saking kuatnya ia bersandar di tubuhku.
“Ayo duduk di kasur mbak” kataku kemudian sambil
membimbing Asti ke kasur dan mengajaknya duduk. Duh, sudah berapa lama dia
menangis. Matanya yang selalu terbelalak indah itu sekarang jadi memerah dan
sembab. Tanganku membelalai rambutnya dan mengusap pundaknya. Ku biarkan dia
selesaikan tangisnya. Memintanya diam sama saja dengan membuat emosinya semakin
membludak dan tangis pun semakin keras. Aku mengambil segelas air dan
menyerahkan padanya saat tangisnya mulai berkurang.
“Minumlah air ini, mungkin bisa menenangkanmu”.
Dia meminumnya. Seteguk, dua teguk hingga air di
gelas itu habis.
“Apakah kamu mau cerita ke mbak apa yang terjadi, hingga
wajahmu jadi semrawut seperti ini.” Kataku sambil bercanda.
Sedikit demi sedikit, dia mulai menegakkan
kepalanya. Tangannya kemudian dijulurkan untuk mengambil beberapa lembar tisyu
yang ku taruh di pinggir kasur. Dia mulai menghapus tetesan air mata yang
membasasi pipinya, dan keringat yang juga mulai keluar di dahinya. Lalu dia
mengucek-ngucek matanya, barangkali ada air mata di sana. Perlahan, tangisnya
mulai hilang, isak pun tak terdengar.
“Aku sebel sama Dino mbak?”
“Sebel kenapa? Bukannya kemarin kamu lagi
seneng-senengnya. Katanya baru habis jalan-jalan ke Parangtritis”, sahutku
kaget.
“Itu dia mbak, aku tuh nggak ngerti banget ama
dia.”
“Memangnya dia kenapa Asti?” Kataku sambil
menyentuh lengannya.
Sesaat dia menarik nafas. Sepertinya cukup berat
dia mengatakan masalah yang membebani hatinya.
“Mbak jangan marah ya?” Rajuknya. Aku menggeleng
kepala, “Nggak dik. Kamu cerita saja, mbak akan mendengarnya”.
“Tadi pagi dia sms. Dia minta uang sama aku mbak.”
“Apa!? Dia minta uang lagi sama kamu!” Aku lupa
janjiku sebelumnya. Suaraku meninggi saat tahu apa yang menjadi masalahnya.
“Katanya mbak nggak akan marah?”
“Eh iya, maaf. Ayo lanjutkan ceritanya,” kataku
gugup begitu ingat ucapanku sebelumnya.
“Katanya, dia belum punya uang karena belum ada
kiriman. Nanti kalau sudah datang kiriman, dia akan menggantinya mbak.”
“Mm, bukannya dulu dia juga pernah mengatakan
demikian juga. Tapi kamu lihat kan, dia sama sekali tidak pernah membayarnya”.
“Iya sih mbak”
“Lha terus gimana? Apa kamu masih percaya begitu
saja.”
“Aku bingung harus gimana mbak. Aku itu sayang
banget ama dia. Waktu aku bilang uangku hanya cukup buat makan saja, seperti
biasa dia bilangnya mau putus. Aku bingung mbak. Dia itu sayang nggak sih sama
aku. Atau jangan-jangan dia hanya memorotin
aku aja” Asti mulai terisak kembali. Lalu dengan terburu dia ambil lagi
beberapa tisyuku.
“Asti, ini bukan pertama kalinya kamu mengeluhkan
dia. Sebulan pertama kalian pacaran, kamu sudah mengeluhkan ini ke mbak. Dan
sekarang mungkin sudah puluhan atau bahkan ratusan kamu nangis kayak gini. Dino
bukan laki-laki baik. Mbak yakin kamu tahu itu. Untuk kamu pertahankan dia. Ada
banyak laki-laki baik yang dapat memperlakukanmu dengan baik.”
Aku jadi ingat minggu-minggu pertama sejak mereka
jadian. Asti dengan senangnya bercerita kalau harinya begitu sangat bahagia.
Kemana-mana selalu berdua. Ke kampus, kantin, acara malam mingguan, acara
keliling mingguan dan sebagainya. Tapi aku sendiri melihat keanehan. Biasanya
dia tidak pernah meminjam uangku, karena kiriman dari orang tua selalu berlebih
setiap bulannya. Maklum dia berasal dari keluarga yang cukup berada juga. Tapi
waktu itu, aku biarkan saja. Mungkin dia perlu beli buku atau apalah untuk
kebutuhan kuliahnya. Baru sebulan setelah itu, aku baru tahu. Uang yang
dikeluarkan untuk makan bareng pacarnya, jalan-jalan dan sebagainya adalah dari
Asti.
Aku sempat kaget mendengarnya. Langsung saja aku
nasehati dia. Relasi pasangan hendaknya seimbang. Saling mengisi satu sama
lain, timbal balik. Tidak hanya soal perhatian dan kasih sayang, tapi juga
dalam hal materi. Aku juga tidak sepakat kalau laki-laki yang membiayai semua
acara kencan. Begitu juga perempuan. Tapi waktu itu Asti mengatakan “Kalau aku
sayang dia, berarti aku harus berkorban mbak”. Hhh, saat dia mengatakan itu, aku tak bisa
berkata-kata lagi. Aku paham, ini cintanya yang pertama. Ini juga kali pertama
ia dekat dengan laki-laki. Aku biarkan saja ia mengalami. Aku percaya, meski
tak bisa dinasehati oleh kata-kata, suatu saat nanti pengalaman akan memberikan
pelajaran buatnya. Biarlah waktu yang akan bicara nanti. Terkadang, orang yang
sedang menceritakan masalahnya bukan untuk mencari jalan keluar, tapi ia ingin ada
teman yang mendengar keluh kesahnya.
Ku lihat Asti hanya terdiam, entah sedang mencerna
kata-kataku, atau justru sedang diaduk oleh kebingungan. Saat ini dia mungkin
tidak bisa berpikir jernih, jadi ku anjurkan untuk beristirahat di kamarku.
***
“Mbak, aku ke kampus dulu ya…”
“Mau ku antar?” Aku menawarkan tumpangan. Aku
berpikir, Dino mungkin tidak menjemput setelah kejadian kemarin.
“Nggak usah mbak. Dino dah jemput. Dia sekarang di
depan,” jawabnya sambil mengambil helm di depan kamarnya.
“Lho?” Meski sudah sering aku mengalami ini, tapi
tetap saja aku kaget dengan jawabannya. Kejadian kemarin sepertinya sudah tak
berbekas lagi, padahal merah dan sembab belum hilang dari kedua kelopak
matanya.
“Semalam dia sms mbak. Dia bilang minta maaf. Dia
juga bilang sayang banget sama aku mbak.” Sambil tersenyum simpul di sudut
bibirnya dan berlalu meninggalkanku dengan wajah melongo.
Cerita
ini diinspirasi oleh pengalaman seorang teman.
Gedongkuning, Februari 2012
*) Ira Sasmita
Sumber ilustrasi Google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar