Suamiku, anak-anak yang
dulu sering kau mandikan kalau aku sibuk masak makanan kesukaanmu, atau yang
sering kau ajarkan mengendarai sepeda yang baru kau beli dari bonus gajimu,
atau pula yang sering kau ceritakan dongeng kancil kalau aku sudah tidur
duluan, kini mereka sudah besar-besar semua.
Andi, anak pertama
kita, seorang insinyur. Banyak bangunan yang dirancangnya. Kau masih ingatkan,
saat kau menggambar meja belajarnya, ia juga sibuk menggambar kandang ayam
kesayangannya. Ya, walaupun akhirnya kau juga yang didesaknya untuk membuatkan
kandang tersebut. Sekarang ia sangat bahagia dengan dua anak yang lucu-lucu
dari istrinya yang cantik.
Sedangkan putri kedua
kita, Ratna, sekarang dia menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi. Katanya
selain mengajar, dia juga sering diundang untuk menjadi pembicara di berbagai
acara. Mulai dari yang berhubungan dengan pendidikan, politik bahkan sampai
persoalan perempuan. Si Barbie-begitu kau dulu suka memanggilnya-kini telah
menjadi gadis mandiri, terlebih sekarang ia sedang mengandung cucu kita yang
ketiga. Dia telah menikah setahun yang lalu.
Dan yang terakhir-si
bontot-kini ia sering muncul di televisi. Anak yang dulu bicaranya sering
berlepotan, kini dengan fasihnya berbicara tentang politik. Ya, dia seorang
politikus. Sekarang dia menjabat sebagai anggota DPR. Aku ingat, waktu ia
kuliah dulu, ia sering kali ikut demo. Sudah letih mulutku menasehatinya untuk
tidak terlibat begitu jauh, tapi katanya, ia mau memperjuangkan kebenaran.
Hingga akhirnya aku terpaksa mengalah. Kalau sudah jam sepuluh malam ia belum
pulang, aku pasti kuatir.
Oh ya ia baru saja
menikah dua bulan yang lalu. Tapi aku tidak bisa menyaksikan pesta
pernikahannya, karena tidak dilaksanakan di sini. Dia menikah di Jakarta. Kau
kan tahu, aku paling tidak bisa bepergian jauh. Jadi hanya doa saja yang ku
kirim. Istrinya juga sama cantiknya dengan istri Andi.
Tiinn,
tiiinnn, tiiinnn. Suara klakson kendaraan terdengar dari halaman depan.
Suamiku, itu pasti mereka.
Ya, mereka datang. Aku tak salah lagi. Aku harus segera menemuinya. Oh,
permata-permataku, akhirnya kalian datang. Sudah letih mata ini menanti
keceriaan kalian yang tak tahu kapan terakhir kalinya aku merasakannya. Sudah
lemah tangan ini mengharap untuk menyentuh kehangatan tubuh kalian yang tak
tahu lagi bagaimana kelembutannya.
Kursi tua bergetar. Sedikit berderit. Dengan bantuan tongkat,
dia melangkah sangat pelan, menuju pintu. Selama ini, bertemu dengan
anak-anaknya selalu mengusik tidur yang entah kapan tak pernah lagi dilalui
dengan nyenyak. Penyakit yang bersarang di badannya tak dirasakan lagi. Ia yakin,
ini setimpal dengan pelukan anak-anak dan teriakan cucu-cucunya. Penyembuh
segala kerinduan yang telah lama dipupuk dengan air matanya.
“Ada surat dari non Ratna, bu!”. Ternyata tidak seperti
dugaannya. Pak pos. Lagi-lagi, pak pos yang datang. Mengapa bukan pak pos saja yang
menjadi anaknya, pikirnya suatu hari. Supaya tak perlu ada rindu ini. Lagi-lagi
ia menemui kenyataan yang sama.
Suamiku, hanya sepucuk
surat yang aku terima. Ah, biarlah. Mungkin isinya mengabarkan kepulangan
mereka. Ya, mereka pasti akan pulang. Mereka tidak mungkin membiarkanku
menanggung beban-beban seorang ibu. Lihatlah suamiku, ini tulisan tangan Ratna.
Bu, bang Andi sedang sibuk dengan
proyek barunya. Riko masih berada di luar negeri dengan istrinya dan aku tak
lama lagi akan melahirkan. Kami tak bisa pulang untuk lebaran ini.
Kertas terlepas, jatuh tepat di kakinya. Tidak peduli. Dengan
lemah dipaksakan kakinya melangkah menuju kursi coklat tua, tempat di mana
suaminya sering duduk dan memperhatikan putra-putri mereka bermain petak umpet.
Ya, sejak kepergian suaminya, kursi tua ini yang menjadi temannya, mengenang kembali
cerita-cerita yang dulu pernah ada di rumah ini.
Suamiku, tak ada lagi
yang bisa kutunggu. Karena yang kutunggu tak pernah mengerti arti sebuah
penungguan. Kini aku sudah benar-benar lelah. Suamiku, ingatkah di kursi tua
ini, dimana kau mengakhiri segalanya. Sekarang jemputlah aku, karena tak ada
lagi yang bisa ku harap kecuali berdampingan denganmu, selamanya.
Padang
- Yogyakarta, 2005 - 2012
(teruntuk dua orang yang tak sempat kucium tangannya. Maafkan
keterlambatanku)
Cerpenis: Ira Sasmita
Sumber gambar: http://nightdreams17.blogspot.com
sungguh keterlaluan yg mnjadi anaknya...
BalasHapus