Susut harum seruni, masih
jelas meronda di seluruh ruangan rumah kami, juga halaman masih
berserakan dengan susut harum bunga itu pula, seruni. Kemudian,
hanyut bersama kumpulan air hujan tahun baru ini.
Bulan yang semalaman telah
dinas keliling, berbagi dengan bumi, telah ke peraduannya kembali.
Seperti biasa, seperti hari-hari yang lalu, bulan selalu saja berbagi
tugas dan waktu dinas dengan matahari. Jika bulan datang pada pekat
malam gulita, matahari datang pertanda fajar yang selalu menyapa.
Di luar sana, angin
berkelindan, menghembus warna susut harum bunga, campur beludru
airmata. Di antara susut bunga dan beludru air mata itu, mengalir
segumpal mendung yang menyiratkan rintik kerinduan rumput-rumput di
lapangan sepak bola biasa kami bermain.
“Sebentar lagi hujan
turun,” desisku dalam hati.
Tersadar aku menangkap
sesuatu pada pendengaranku, suara riuh kanak-kanak.
“Uji, hujan sudah turun.
Ayo kita main bola,” ajak salah seorang dari segerombolan
kanak-kanak, yang baru dapat mengeja huruf-huruf hijaiyah. Alif,
ba’, ta’, tsa’….
“Ayo Uji. Cepat ganti,”
sambung yang lain.
Main bola kala hujan
menderas adalah kebiasaanku, Ujo, kembaranku serta kawan-kawan
sebayaku di desa Paya Benua ini. Kami sangat bahagia, bukan sekedar
main bola saja, tapi kami juga bermain butir-butir hujan yang
mengkristal di punggung-punggung daun pandan di setiap sudut rumah
warga.
Bersama derap langkah
kanak-kanak, yang saling mencipta pelangi dalam sebaris tawa bahagia
itu, aku tetap terlarut berkabung dalam susut harum setangkai seruni,
yang terus berdesak-desakan di setiap desau angin, yang mengalir
bersama desah nafasku di antara deras hujan tahun baru. Di semerbak
tanaman yang juga berserakan harum seruni.
Di sebuah hujan yang lebat,
ketika kami seperti biasa, bermain sepak bola, juga bermain
kristal-kristal lembut di punggung-punggung daun pandan Ibu-ibu warga
desa. Sebuah peristiwa, telah berhasil membuatku diam bagai batu,
tetapi tidak ada air setetes pun yang mengalir di atasku. Hujan itu,
air berlarian, mengombak di parit-parit depan rumah di pinggir jalan
raya.
“Agh… Kak…, tolong…
to…,” suara Ujo, adik kembarku setengah berteriak.
“Ujo…,” ucapku
berteriak. Terasa sebongkah kerikil menutup kerongkonganku. Namun,
tidak banyak yang dapat aku lakukan. Kakiku gemetar, tampak
tulang-tulang serta persendianku tidak lagi mampu menopang tubuhku
yang kecil dan kerdil ini. Aku tersedak, nafasku terasa sempit
melihat Ujo, Adik kembarku terseret gulungan air keruh hitam
kecoklatan masuk ke gorong-gorong parit sepanjang dua meter, tepat di
depan rumah kami.
“Ujo…,” lirih ucapku,
seraya kristal bening sesejuk embun di punggung-punggung daun
mengalir dan hanyut di parit pelipisku.
“Ada apa, Ji. Kenapa kamu
menangis?” tanya seorang dari belakangku dan aku terus menunduk
tidak menoleh, tanpa ingin tahu siapa sesosok yang datang di tengah
kelabunya keadaanku saat itu.
“Ujo. Ujo…, to…,
tolong Ujo,” ucapku putus-putus, nafasku terengah-engah.
“Kenapa, Ji. Ada apa
dengan Ujo dan ke mana dia sekarang?” terasa semakin sempit hatiku
mendengar pertanyaan yang hampir tidak bisa aku jawab itu.
“Ji. Ini Ayah. Mana Ujo,”
kembali sebuah tanya menyempitkan hatiku dari seorang yang mengaku
Ayahku. Aku semakin lemas, tidak berdaya. Seluruh tubuhku gemetar.
“Ayah… Ujo…,”
jawabku di antara gemetar tubuhku yang begitu lemas. Terasa tidak
sebatang tulang pun lagi yang menyangga tubuhku. Air mata meresap,
mengalir bersama keringat yang mengucur dari pintu-pintu kulitku,
sedikit mengombak seperti air yang mengalir yang menyeret sebatang
tubuh adikku, Ujo di gorong-gorong jembatan itu.
“Yah. Ujo dimakan air di
parit itu,” suaraku tetap gemetar.
“Apa… terseret air. Di
mana Nak,” cetus Ayah, seraya kristal-kristal bening di matanya
pecah kembali, setelah bertahun-tahun lalu membeku di antara desah
nafas kehidupan tampak gagap suara Ayah.
“Di mana Adikmu, Nak. Di
mana…,” tanya Ayah mendesak kaget. Kali ini, Ayah benar-benar
telah dikuasai segumpal kecemasan serta rasa takut.
“Masih dalam gorong-gorong
jembatan itu, Yah.” Seraya aku mengarahkan telunjukku ke arah
gorong-gorong itu. Di sana masih tampak antrian ketat serupa antrian
warga di awal bulan, ketika mengambil jatah subsidi bahan bakar.
Setelah antrian itu tampak
lengang, hingga mencipta ruang di antara gelombang air pekat
kecoklatan itu, aku semakin tidak berdaya. Terasa aku telah dikuasai
oleh segala asa, sehingga membuat tulangku tidak mampu lagi menopang
tubuhku yang kurus, seakan diterbangkan angin yang lewat bersama
rintik hujan tahun baru ini.
“Ujo… ini Ayah, Nak. Ini
Ayah,” histeris Ayahku. Tapi Ujo tidak kuasa berbuat apa-apa lagi.
Kulihat wajahnya telah semakin susut, walau mengalir darah segar dari
hidungnya. Tangannya serta seluruh tubuhnya lunglai.
“Nak…
innalillah… wa inna ilaihi roji’un…, ”
histeris suara Ayah menambah tubuhku semakin tidak kuasa. Namun, Uji
hanya mengisyaratkan kedamaian di wajahnya yang telah begitu susut.
Sedang aku tersentak, sempurnalah kini deritaku. Benar-benar aku
tidak kuasa, terasa seluruh persendian melepaskan tulang-tulang yang
menyangga sebatang tubuhku. Ya, telah terjadi sebuah perceraian yang
sakral, perceraian antara tulang serta persendian.
Tidak hanya itu, sayu
mataku. Hanya ada ruang lengang yang tidak mengisyaratkan liar angin
ataupun tarian daun-daun pandan. Ujo, Adik kembarku yang barang tentu
adalah seorang kawanku dalam setiap desah nafas hari. Kami selalu
berlari mengeja kehidupan. Hujan kembali terisak lebat serupa dulu.
Namun, seberkas cahaya halilintar, serta suara dentum petir-lah yang
sedikit berbeda. Hari ini, hari keempat puluh setelah peristiwa itu
terjadi. Tepat benar, empat puluh hari di hari hujan mengisyak. Namun
susut harum seruni tetap meronda di setiap ruangan rumah kami. Dan
terus berdesakan di antara tanaman di halaman depan rumah.
Lebih-lebih, jika angin saling berkejaran menghanyutkan warna susut
seruni juga beludru airmata.
“Satu di antara dua
saudara kembar itu, pasti cepat meninggal!” Aku mengulang-ulang
sebaris kalimat yang kudapat di teras rumah tetangga kami. Tapi
bernarkah? Dan kenapa harus Ujo, bukan aku? Ujo terlalu baik dan
terlalu cepat waktu itu untuknya, Tuhan.
“Uji…, ayo ke lapangan.
Teman-teman sudah menunggu,” suara Ade dari halaman depan rumah.
Tapi aku tidak menggubris seruan itu. Aku hanyut dalam desakan susut
harum seruni.
“Kalau ada Ujo…,”
desisku menggantung.
“Nak, Ade nunggu kamu di
depan. Main sepak bola katanya,” seru Ibu dari balik tembok
kamarku. Tetapi, aku tetap hanyut dalam desakan seruni.
“Aku tidak suka main
bola,” ucapku sekedar menjawab seruan Ibu.
Kulihat di luar jendela
kamarku, hujan semakin menderas, susut harum seruni pun tetap saja
meronda di antara gemericik isakan itu. Aku mencoba tersenyum di
antara rintik hujan tahun baru itu. Aku terus mencoba.
“Ujo… Adikku!”
21
Desember 2009
Nurul Hasan dalam kumpulan cerpennya berjudul 'KABAR DARI RANTAU'
*Dimuat
di majalah Horison Kakilangit,
edisi April 2010.
*Juara
I lomba menulis Cerpen Sastra se-Jatim yang diselenggarakan di UNISMA
Malang, April 2010