Berbunga-bunga hatiku tak bisa
terlukiskan. Berpuluh-puluh orang telah tersisihkan. Bayangan indah silih
berganti melintas di pelupuk mataku. Aku hanyut dalam cerita masa depan. Saat
berkemas-kemas mengepak barang, senyuman tak pernah lepas dari wajahku. Tidur
malamku pun sangat nyenyak dihiasi mimpi hingga menjelang shubuh aku tersentak.
Sunyi yang menyelinap seiring hujan yang baru saja datang seakan membawaku
kembali berpijak di tempat ini. Aku teringat keluargaku. Aku teringat mama.
Beliau adalah orang yang paling kusayangi. Walaupun masalahku tidak bisa beliau
atasi. Apakah aku benar-benar bahagia dengan kepergianku ini? Apakah kesedihan
akan hilang setelah ini?
Akhirnya guyuran hujan yang menyambut datangnya sang fajar berhenti. Tak lama kemudian sang surya pun sudah tersenyum malu-malu di atas sana. Kupandangi langit, tampak mulai cerah berseri seakan mengajakku untuk segera terbang ke sana. Bis yang mengantar kami beringsut-ingsut merapat ke serambi bandara. Satu persatu penumpang turun dengan berbagai barang bawaannya. Asap rokok yang baunya tak pernah ku suka berlarian mengejarku. Ternyata pada jam segini bandara sudah dipadati orang-orang yang mengantar keluarga, saudara atau temannya. Maklumlah Bandara Internasional Minangkabau (BIM) ini baru dibuka beberapa hari yang lalu dengan fasilitas yang lebih lengkap tentunya.
Sayup-sayup terdengar deru yang mengusik. Seekor capung raksasa menginjakkan kakinya di bumi ini. Begitulah aktifitas di sini, ada pesawat yang datang dan nantinya ada pula yang pergi, bagaikan kehidupan ini.
Setelah boarding pass aku
menyusuri eskalator dan jalan yang membawaku memasuki capung raksasa.
Sebelumnya aku berpamitan pada mama. Butir air mata hampir tidak kuasa ku
bendung saat ku salami mama dan mencium tangan beliau. Tangan ini telah
menggendongku, menyuapi, memandikan dan mengasuhku. Akan tetapi sampai saat ini
belum ada yang bisa kuberikan untuk mama.
Tangisku hampir berontak namun seperti biasanya, aku harus terlihat tegar di hadapan mama serapuh apapun hatiku. Aku harus kuat demi harapan dan kebahagiaanku. Walaupun mungkin benar pepatah yang mengatakan “walau hujan emas di negri orang lebih baik hujan batu di negri sendiri”. Sesaat kemudian kami saling berlambaian. Lambaian yang serasa menarik diriku untuk kembali.
Aku pun menaiki tangga pesawat itu. Dari balik jendela aku dapat melihat BIM berdiri dengan megahnya. Sesuatu yang nantinya akan menjadi kebanggaan daerahku. Sesuatu yang nantinya ku harap akan menunggu-nunggu kedatanganku dengan suasana yang baru dan lebih hangat.
Rasulullah saja rela hijrah
meninggalkan kampung halamannya demi prinsip dan kemudahan ibadah serta
dakwahnya. Kenapa aku tidak bisa? Aku ingin menghindari perdebatan dan
perselisihan yang hanya menguras energi. Aku percaya waktu bisa merubah
seseorang. Aku berharap waktu bisa mendewasakan kami semua. Dan biarlah jarak
membuat kami merasa lebih memiliki.
Kontributor: Widia Aslima
Once you’ve positioned your bet, spin the reels and if sufficient matching symbols 카지노사이트 land in the right place, you’ll get paid
BalasHapus