Sabtu, 13 Oktober 2012

Abu Hanifah; Pendiri Mazhab Hanafi


Setelah berakhirnya periode sahabat Nabi, Islam terus berkembang dan kaum Muslim mulai berhubungan dengan budaya dan tradisi lain. Hal ini tentu saja mengakibatkan pertemuan Islam dengan tradisi dan budaya lainnya, yang menyangkut aspek-aspek sosial, politik, budaya, tantangan hukum dan ekonomi. Hal ini tentu saja menimbulkan masalah-masalah baru yang menjadi tantangan yang dihadapi oleh para penguasa dan para ulama Islam, terutama menyangkut formulasi hukum syariah. Pada saat penting dalam sejarah Islam inilah Abu Hanifah muncul untuk mengembangkan salah satu sintesa hukum yang paling berpengaruh dalam sejarah Islam.
Numan bin Tsabit bin Zuta bin Mah, atau lebih dikenal dengan nama leluhurnya Abu Hanifah, lahir di Kufah pada masa pemerintahan Khalifah besar Umayyah bin Abd al-Malik Marwan. Ia berasal dari Persia, dan dibesarkan dalam  sebuah keluarga Muslim yang relatif kaya. Ayahnya, Tsabit, adalah seorang pengusaha terkenal yang mendapat kehormatan bertemu dengan Ali, Khalifah Islam keempat, yang diceritakan pernah berdoa untuk Tsabit dan keluarganya. Sebagaimana ayahnya, Abu Hanifah tumbuh menjadi seorang pedagang sukses. Pada waktu itu, Kufah menjadi pusat utama pengetahuan Islam dan aktivitas intelektual. Beberapa sahabat Nabi yang paling terkenal pun, seperti Abdullah bin Mas’ud. Abu Hanifah sangat beruntung telah bertemu sejumlah sahabat terkemuka, termasuk Anas bin Malik, Sahl bin Sa'd, Abu al-Tufail Amir bin Jabir bin Watihilah dan Abdullah.
Abu Hanifah menghabiskan tahun-tahun awal kehidupannya sebagai seorang pedagang. Awal ketertarikannya terhadap dunia keilmuan muncul setelah pertemuannya dengan Ash-Sha’bi, seorang ulama terkemuka pada saat itu. Suatu hari, ketika Abu Hanifah melewati rumah Ash-Sha'bi. Ash-Sha‘bi bertanya kepadanya hendak pergi ke mana. Abu Hanifah menjawab, bahwa ia sedang dalam perjalanan untuk menemui seorang pedagang. Lalu al-Sha’bi mengatakan kepada Abu Hanifah, bahwasannya ia menyaksikan tanda-tanda kecerdasan, dan ia harus mencurahkan lebih banyak waktunya untuk belajar. Kata-kata nasihat tersebut ternyata mematahkan imajinasi Abu Hanifah, dan ia mulai mendedikasikan seluruh waktu dan energinya untuk mengejar pengetahuan dan kebijaksanaan Islam.
Walaupun Abu Hanifah sedikit terlambat memulai pelajarannya dibandingkan dengan teman-teman sebayanya, namun berkat energinya yang tak kenal lelah dan kecemerlangan intelektualnya, ia segera menjadi seorang pemikir Islam dan ahli hukum terkemuka. Selain itu, Abu Hanifah juga dianggap sebagai Al-Imam Al-A‘zham dan menjadi salah seorang intelektual dan ahli hukum terbesar di dunia Muslim. Ia berpijak di kaki tokoh-tokoh besar seperti al-Sha'bi, Salamah bin Kuhail, A'mash, Hammad dan Amr bin Murrah - pada waktu itu semuanya berada di Kufah - dan menerima pendidikan yang pelik serta pelatihan dalam hal keilmuan tradisional Islam termasuk tafsir al-Qur'an (tafsir), teologi Islam (kalam) dan jurisprudensi (fiqh). Di samping itu, Abu Hanifah juga mencapai kecakapan dalam tata bahasa Arab, sastra dan aspek-aspek sejarah serta ilmu silsilah (genealogy) sebelum ia melanjutkan ke Basrah dan mengikuti perkuliahan-perkuliahan dari Qatadah dan Shu'bah, yang belajar langsung dari sahabat-sahabat Nabi saw.
Selanjutnya, Abu Hanifah pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji dan selama tinggal di sana untuk belajar hukum Islam di bawah bimbingan para ulama terkemuka dari Mekkah dan Madinah. Ia terdaftar sebagai murid di Madrasah Ata bin Abu Rabah, yang pada waktu itu dianggap sebagai salah satu dari raksasa pengetahuan Islam dan kebijaksanaan.
Pada tahun 720, ketika berusia dua puluh satu tahun, Abu Hanifah meninggalkan Mekah ke Madinah di mana ia belajar hadis dari Sulaiman dan Salim bin Abdullah, seorang pembantu dari Ummul Mu'minin, Maimunah, dan sekaligus cucu dari Umar, khalifah kedua dalam Islam. Pada saat itu mereka dianggap sebagai dua ulama paling terpelajar di Madinah. Setelah melakukan perjalanan ke beberapa pusat studi Islam terkemuka dan memperoleh pembelajaran yang menyeluruh dalam semua cabang keilmuan Islam di bawah bimbingan beberapa ulama Islam yang paling terkemuka di zamannya, Abu Hanifah menjadi gudang besar pengetahuan Islam.
Abu Hanifah merupakan pelopor mazhab Hanafi, sebuah madzhab pemikiran hukum Islam yang banyak menaruh perhatian terhadap ijtihad, tidak hanya memahami sumber-sumber pokok Islam (Al-Qur’an dan Hadis) secara tekstual. Madzhab ini kemudian dikembangkan oleh murid-muridnya, seperti Zu'far ibn al-Hudhail, Abu Yusuf Yaqub bin Ibrahim dan Muhammad ibn al-Hasan al-Shaybani. Madzhab Hanafi banyak ditemukan di India, Pakistan, Bangladesh, Afghanistan, Turki, Suriah, Irak dan Mesir. Abu Hanifah meninggal dunia di dalam penjara pada usia sekitar enam puluh tujuh tahun dan dimakamkan di Baghdad, kemudian untuk mengenangnya dibangun sebuah ‘mausoleum’ atau komplek makam yang besar dan indah oleh Mimar Sinan, seorang arsitek dan ahli bangunan ternama pada masa Dinasti Ottoman.

Dari berbagai sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar