Setelah berakhirnya periode sahabat Nabi, Islam terus
berkembang dan kaum Muslim mulai berhubungan dengan budaya dan tradisi lain.
Hal ini tentu saja mengakibatkan pertemuan Islam dengan tradisi dan budaya
lainnya, yang menyangkut aspek-aspek sosial, politik, budaya, tantangan hukum
dan ekonomi. Hal ini tentu saja menimbulkan masalah-masalah baru yang menjadi
tantangan yang dihadapi oleh para penguasa dan para ulama Islam, terutama
menyangkut formulasi hukum syariah. Pada saat penting dalam sejarah Islam
inilah Abu Hanifah muncul untuk mengembangkan salah satu sintesa hukum yang
paling berpengaruh dalam sejarah Islam.
Numan
bin Tsabit bin Zuta bin Mah, atau lebih dikenal dengan nama leluhurnya Abu
Hanifah, lahir di Kufah pada masa pemerintahan Khalifah besar Umayyah bin Abd
al-Malik Marwan. Ia berasal dari Persia, dan
dibesarkan dalam sebuah keluarga Muslim
yang relatif kaya. Ayahnya, Tsabit, adalah seorang pengusaha terkenal yang
mendapat kehormatan bertemu dengan Ali, Khalifah Islam keempat, yang
diceritakan pernah berdoa untuk Tsabit dan keluarganya. Sebagaimana ayahnya,
Abu Hanifah tumbuh menjadi seorang pedagang sukses. Pada waktu itu, Kufah
menjadi pusat utama pengetahuan Islam dan aktivitas intelektual. Beberapa
sahabat Nabi yang paling terkenal pun, seperti Abdullah bin Mas’ud. Abu Hanifah
sangat beruntung telah bertemu sejumlah sahabat terkemuka, termasuk Anas bin
Malik, Sahl bin Sa'd, Abu al-Tufail Amir bin Jabir bin Watihilah dan Abdullah.
Abu Hanifah menghabiskan tahun-tahun awal kehidupannya sebagai
seorang pedagang. Awal ketertarikannya terhadap dunia keilmuan muncul setelah
pertemuannya dengan Ash-Sha’bi, seorang ulama terkemuka pada saat itu. Suatu hari, ketika Abu Hanifah melewati rumah Ash-Sha'bi.
Ash-Sha‘bi bertanya kepadanya hendak pergi ke mana. Abu Hanifah menjawab, bahwa
ia sedang dalam perjalanan untuk menemui seorang pedagang. Lalu al-Sha’bi
mengatakan kepada Abu Hanifah, bahwasannya ia menyaksikan tanda-tanda
kecerdasan, dan ia harus mencurahkan lebih banyak waktunya untuk belajar.
Kata-kata nasihat tersebut ternyata mematahkan imajinasi Abu Hanifah, dan ia
mulai mendedikasikan seluruh waktu dan energinya untuk mengejar pengetahuan dan
kebijaksanaan Islam.
Walaupun Abu Hanifah sedikit terlambat
memulai pelajarannya dibandingkan dengan teman-teman sebayanya, namun berkat
energinya yang tak kenal lelah dan kecemerlangan intelektualnya, ia segera
menjadi seorang pemikir Islam dan ahli hukum terkemuka. Selain itu, Abu Hanifah
juga dianggap sebagai Al-Imam Al-A‘zham dan menjadi salah seorang
intelektual dan ahli hukum terbesar di dunia Muslim. Ia berpijak di kaki
tokoh-tokoh besar seperti al-Sha'bi, Salamah bin Kuhail, A'mash, Hammad dan Amr
bin Murrah - pada waktu itu semuanya berada di Kufah - dan menerima pendidikan
yang pelik serta pelatihan dalam hal keilmuan tradisional Islam termasuk tafsir
al-Qur'an (tafsir), teologi Islam (kalam) dan jurisprudensi (fiqh). Di
samping itu, Abu Hanifah juga mencapai kecakapan dalam tata bahasa Arab, sastra
dan aspek-aspek sejarah serta ilmu silsilah (genealogy) sebelum ia melanjutkan
ke Basrah dan mengikuti perkuliahan-perkuliahan dari Qatadah dan Shu'bah, yang
belajar langsung dari sahabat-sahabat Nabi saw.
Selanjutnya, Abu Hanifah
pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji dan selama tinggal di sana untuk
belajar hukum Islam di bawah bimbingan para ulama terkemuka dari Mekkah dan
Madinah. Ia terdaftar sebagai murid di Madrasah Ata bin Abu Rabah, yang
pada waktu itu dianggap sebagai salah satu dari raksasa pengetahuan Islam dan
kebijaksanaan.
Pada tahun 720, ketika berusia dua puluh
satu tahun, Abu Hanifah meninggalkan Mekah ke Madinah di mana ia belajar hadis
dari Sulaiman dan Salim bin Abdullah, seorang pembantu dari Ummul Mu'minin,
Maimunah, dan sekaligus cucu dari Umar, khalifah kedua dalam Islam. Pada saat itu mereka dianggap sebagai dua ulama paling
terpelajar di Madinah. Setelah melakukan perjalanan ke beberapa pusat studi
Islam terkemuka dan memperoleh pembelajaran yang menyeluruh dalam semua cabang
keilmuan Islam di bawah bimbingan beberapa ulama Islam yang paling terkemuka di
zamannya, Abu Hanifah menjadi gudang besar pengetahuan Islam.
Abu Hanifah merupakan pelopor mazhab
Hanafi, sebuah madzhab pemikiran hukum Islam yang banyak menaruh perhatian
terhadap ijtihad, tidak hanya memahami sumber-sumber pokok Islam (Al-Qur’an dan
Hadis) secara tekstual. Madzhab ini kemudian dikembangkan oleh murid-muridnya,
seperti Zu'far ibn al-Hudhail, Abu Yusuf Yaqub bin Ibrahim dan Muhammad ibn
al-Hasan al-Shaybani. Madzhab Hanafi banyak ditemukan di India, Pakistan, Bangladesh,
Afghanistan, Turki, Suriah, Irak dan Mesir. Abu Hanifah meninggal dunia di dalam penjara pada
usia sekitar enam puluh tujuh tahun dan dimakamkan di Baghdad, kemudian untuk
mengenangnya dibangun sebuah ‘mausoleum’ atau komplek makam yang besar dan
indah oleh Mimar Sinan, seorang arsitek dan ahli bangunan ternama pada masa
Dinasti Ottoman.
Dari berbagai sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar