Jumat, 05 Oktober 2012

Kembali Ke-Nol


Tuan malaikat, izinkan aku keluar untuk sekedar hidup kembali dari kuburanku ini. Bukan aku tidak betah di kuburan ini. Namun, aku ingin menyudahi apa yang telah kumulai, yang telah berjalan setengah dari keutuhan perjalanan. Sebab itulah, mengapa aku ingin keluar dari kuburan ini. Tuan malaikat, aku memiliki satu persoalan dengan halayak ramai. Para manusia yang sekarang masih santai-santainya berkehidupan. Mereka para saudara-saudaraku yang ber-Tuhan sama denganku, tentunya juga sama sepertimu. Ya, Tuhan Yang Esa. Mereka juga para tetanggaku, yang rumah-rumahnya bersebelahan, dan ada juga yang berhadap-hadapan.

Mereka lemah. Sangat memprihatinkan. Mereka hanyalah bapak-bapak tanpa profesi. Ibu-ibu dengan anak-anak yang berjarak setelinga. Anak-anak dengan masa depan tidak terbaca. Begitulah tuan malaikat. Dari itu, tuan malaikat, mereka tentunya mengharapkan kehadiranku. Meski mereka tahu, kehadiranku bukan sebuah kemungkinan. Karena setiap orang yang sudah mati. Rohani meninggalkan sang jasmani. Bertemu, Itu hanyalah sebuah kemustahilan saja. Sungguh mustahil.

Hujan. Hujan membasahi tanah kuburanku. Di atas tempat di mana aku terbaring. Mengguyuri dua batang kembang sepatu di depan batu nisan kuburanku. Hujan itu dingin. Begitulah seharusnya. Namun aku tak pernah merasa kedinginan, walau sampai tanah di wajah kuburanku bercak penuh air. Tidak. Tidak juga kurasakan panas terik mentari, di kala ia tersenyum menyapa rerumputan.

Ini hari ketiga puluh lima kematianku. Berarti sudah satu bulan lima hari aku bertinggal dalam alam ketiga dari urutan dua alam sebelumnya. Kandungan ibuku dan alam dunia para manusia. Manusia-manusia bernyawa. Benar. Tiga puluh lima hari.

Tuan malaikat yang menungguiku dalam kuburan, duniaku kini,  belum juga mengizinkan aku untuk melihat hal ikhwal keluarga besarku, kerabat-kerabatku, juga para tetanggaku di luar sana. Di alam dunia. Alam manusia. Alam para binatang. Alam tetumbuhan. Alam para mahluk Sang Tuhan Esa. Belum.

Tersebab itu, aku kembali meminta, memohon agar aku diizinkan untuk keluar dari kuburan ini, walau tidak berlalu lama. Karena mereka para orang-orang yang kutinggalkan tiga puluh lima hari yang lalu, telah kutinggali dengan suatu yang akan terus berhubungan dengan Tuhanku, Tuhan kita para manusia yang masih setia bernafas, ataupun yang tak lagi sanggup menghembuskan oksigen, udara walau sehirup saja. Mati. Tuhan Yang Esa. Suatu yang disebut amal jariyah.

Namun, tuan malaikat yang kuanggap ramah juga baik hati belum bisa memutuskan apa sekiranya yang harus ia lakukan terhadap sebuah keinginanku yang begitu berlalu. Akankah beliau mengizinkanku atau tetap membiarkanku, memohon-mohon hingga kering liurku, lidahku akan kata-kata permohonan yang sungguh berlalu. Mengapa tidak, masak ada orang sudah mati kembali meminta, memohon untuk bernyawa kembali.

“Aku mau kembali ke dunia. Aku ingin menjenguk sekeluarga besarku, serta mereka yang lain….”

Tuan malaikat, kau tahu sore ini, merupakan sore ketiga puluh enam dari hari kematianku. Namun, kemanakah gerangan tuan malaikat hari ini, belum kulihat sorot matanya yang tajam, juga bengis wajahnya. Mungkin barang kali, tuan malaikat sedang menghadap kehadirat yang Esa.

O..., tuan malaikat melaporkan segala keluh kesahku, perihal niatku dan keinginanku untuk keluar dari kuburanku ini. Ya, keluar dari persinggahan sesaatku ini, hingga kiamat menjelma. Kerusakan juga kehancuran. Akhir dari  segala awal. Semoga saja, Tuhanku rela hingga aku diizinkan-Nya keluar dari tempat yang sering kita dengar sebagai alam ke-tiga, alam barzakh. Alam ke-tiga, setelah rahim kaum ummi dan alam dunia. Alam yang sarat dengan kehijauan pohon-pohon. Biru laut membentang luas samudra. Selaksa pelangi melukis langit dengan ME-JI-KU-HI-BI-NI-U. Ya, merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Mejikuhibiniu warna pelangi.

Mungkin sekarang Tuhan sedang menimbang-nimbang keinginanku. Dan akan segera mengambil keputusan atas apa yang terjadi pada seorang hambanya, yang tak lagi lain adalah seorang mayat. Ya, aku sudah meninggal tiga puluh enam hari lalu. Apakah Ia mengizinkanku keluar dari kuburanku, walau Ia harus mengutus tuan malaikat penjaga kuburanku, atau bahkan mengutus Jibril langsung untuk menemani, sekaligus mengawasiku di dunia para manusia. Tidak jadi masalah, asalkan keluar dan aku diberinya kehidupan lagi untuk kemudian aku dapat  melanjutkan, meneruskan semua yang telah aku mulai dan yang sempat terhenti beberapa hari berlalu.

Tiga puluh enam hari itu tepatnya. Tanpa membutuhkan waktu yang panjang, akhirnya tuhanku yang esa, merestuiku keluar dan meneruskan apa yang menjadi keinginan teguhku. Aku akan melanjutkan apa yang sempat terhenti dan akan kuselesaikan semuanya. Semuanya.

***

Jumat minggu pertama bulan Syawal, ini hari pertamaku hidup lagi. Menghirup udara segar, merasakan belaian hembusan angin yang sejuk begitu indah nan erotis. Aku membawa tubuhku yang sepertinya baru saja sembuh dari sakit parah. Serupa orang yang bebas dari grogotan strok lama. Tubuhku lemas. Begitulah keadaanku. Kalau saja nanti atau kapanpun, datang seorang padaku, menanyakan apa yang terjadi pada diriku yang lemas, tampak seperti tidak makan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun lamanya.

"Apakah anda sedang sakit?" tanya orang itu padaku. Kemudian aku akan menjawab apa yang sedang aku rasakan.

"Aku memang sedang sakit dan baru sembuh dari sakit yang tak ada sakit yang lebih sakit dari sakit yang kurasa dan kualami." Ya, betapa sakit, sakit, sakit, dan sakit. begitulah aku alami.

***

Aku menyegerakan diriku, pergi ke tempat pembangunan panti asuhan yang aku namai wisma Al-Ijtihad, inilah bangunan pertama yang aku bangun. Aku mendirikan panti asuhan ini, dengan tujuan anak-anak yatim, piatu juga yatim piatu dan tak lupa para anak terbuang, tersisih, terasing dari dunia kelayakan manusia; sebagai mahluk teragung di muka bumi ini, dari sekalian mahluk lainnya, apalagi binatang. Berdekatan pun tidak. Sungguh manusia begitu agung.

Panti asuhan ini tempat tinggal para yatim, piatu, yatim piatu juga mereka anak-anak marginal. Tidak sekedar itu, panti asuhan yang aku beri nama Al-Ijtihad inipun, akan menjadi tempat mereka menjalani pendidikan, terutama pendidikan wajib belajar sembilan tahun, yang tak lain adalah harapan dan memang sudah menjadi visi dan misi pak Presiden dan ibu Presiden serta seluruh bapak-bapak bangsa ini, lebih-lebih harapan seluruh bumi pertiwi, Nusantara.

Setelah kurang lebih tujuh hari setengah, panti asuhan Al-Ijtihad, yang terdiri dari dua tingkat ini pun, akhirnya bisa terselesaikan dangan baik. Alhamdulillah. Berarti sudah satu kewajiban atau tanggung jawabku, begitu tepatnya telah berhasil aku selesaikan setelah setiga puluh enam hari berlalu tertunda. Benar.

Kini dadaku serasa sedikit lega, dan akupun demikian bahagia. Aku telah menyelesaikan seper empat dari sepenuhnya kewajibanku.

Tuan malikat, kini aku yakin anak-anak yang dulu menguburkan senyuman manisnya dalam-dalam itu, akan tersenyum lebar. Dan tak jarang tawa mereka akan terpecah bersama desah angin, juga lagu-lagu cinta dan kasih sayang akan turut terlantun indah nan erotis dari mulut anak-anak titipan Tuhan itu. Ya mereka anak-anak yang dulu terpinggirkan, terasing dari dunia cinta dan kasih sayang para orang tua. Mungkin tersebab orang tua, Ibu-Bapak mereka telah tiada, telah tinggal dalam dunia yang sama denganku tempo hari.

Tuan malaikat! Sekiranya rindukah para orang tua anak-anak tanpa dosa itu kepada anaknya? Kalau memang mereka merindui anak-anaknya, dan juga ingin memberikan seteguk kasih sayang dan cintanya pada para buah hatinya itu, mengapa mereka begitu menerima keberadaannya? Mengapa mereka tidak memohon kepada Tuhannya yang Esa? Tuhan yang tentunya, memiliki sifat kasih sayang begitu tinggi pada setiap apa yang ia ciptakan. Terlebih para manusia. Tetumbuhan, hewan-hewan pun juga ia kasihi dan sayangi. Apakah mereka tidak ingin berizin untuk keluar dari tempat pembaringan, peristirahatan mereka untuk memberikan seteguk saja kasih sayang pada tunas-tunas kehidupan mereka itu.  Anak-anak mereka, walau sesaat saja?

***

Pembangunan pertamaku telah aku selesaikan, tuan malaikat. Kini tinggal dua tanggunganku bagi kemaslahatan umat manusia, setelah pembangunan panti asuhan para yatim, piatu, yatim piatu juga mereka, anak-anak marginal. Aku akan menyegerakan pembangunan tahap penyelesaian Masjid Jami di desa Kemuja, yang juga telah aku mulai seminggu lebih dua hari, sebelum kematian merenggut adaku. Sebelum kepindahanku kepada alam pembaringan, peristirahatan sementara, sampai kehancuran akbar dunia menyapa. Kiamat. Ya, kiamat.

Masjid yang aku beri nama, Masjid jami Al-Hayat ini, akan segera diteruskan pembangunannya, setelah seminggu lebih dua hari yang lalu telah mulai dan terhenti dikarenakan satu lain hal. Karena aku harus menghadap Tuhanku Yang Esa.

"Mas, semen juga besi cornya kurang. Yang kemarin sudah habis!" ungkap pak Sarpin padaku.

"Berapa banyak besi cor yang dibutuhkan, dan semennya berapa sak lagi kekurangannya?" tanyaku pada pak Sarpin. meyakinkan.

"Semennya kurang sekitar 135 sak lagi, sedang besi cornya kurang sekitar 60 batang lagi, Mas," jelas pak Sarpin.

Aku menyegerakan diriku untuk membelikan apa yang dibutuhkan para arsitektur pembangunan masjid Al-Hayat itu. Arsitektur yang berada di bawah pimpinan pak Sarpin yang tiada lain adalah bapak mertua mbakku yang pertama, Mbak Zahroh. Bapaknya kakak iparku, suami mbak Zahroh,  Mas Romza.

Sepulangnya aku membeli barang-barang pokok pembangunan yang tadi telah dipesankan oleh pak Sarpin. 135 sak semen dan 60 batang besi cor. Kini pembangunan masjid Jami pertama di desa Kemuja, itupun sudah mendekati tahap penyelesaian akhir, kalau kita persentasekan kurang lebih sekitar 95% selesai, kurang lima persen lagi, masjid jami Al-Hayat, yang aku dirikan ini akan selesai. Dan akan segera digunakan para masyarakat untuk kegiatan keagamaan, sholat jamaah terutama. Ya, sholat jamaah.

Tuan malaikat, setelah masjid ini selesai total, aku mohon padamu, agar tetap setia juga sabar menungguku sampai semua yang menjadi tugas, dan kewajiban besarku atas mereka yang masih setia bernafas, menghembus udara pagi. Mereka yang akan masih lebih lama melihat tawa mentari, juga senyum bulan dan bintang-gemintang yang indah nan erotis. Begitu indah. Mengagumkan. Aku takjub. Sungguh.

Tuan malaikat, aku masih punya satu hal yang harus dan mesti aku selesaikan, wajib, tiada tawar menawar. Tidak. Apa itu? Tentunya kau bertanya, tapi tidak, sebab aku yakin kau tahu, dan memang kau lebih 'alim dariku. Ya, begitulah yang kutahu.

***

Termanggu duduku di tepi pembaringan lusuhku, pembaringan yang aku warisi dari ayah kakak ipar ayahku, mang Sibrun. Terbata aku berkata pada tuan malaikat utusan Tuhanku Yang Esa, anak-anak yang berlari berkejaran itu tiada lain, melainkan anak-anak tanpa pendidikan. Mereka anak-anak para orang tua yang telah habis keringatnya, kering, namun patut kita sayangkan, tiada apapun yang mereka dapatkan, melainkan hanya sesuap dua suap nasi tanpa lauk. Kasihan mereka. Wajar saja anak-anak mereka belum dan mungkin takkan pernah mengenyam rasa juga suasa pendidikan. Tidak. Mungkin sampai nanti ajal merenggut mereka, meninggalkan tubuh mereka yang kurus, kering tampak tiada mereka berdaya. Sungguh begitu berlalu nasib kehidupan yang terukir di garis-garis kehidupan mereka. Tampak dunia ini tak lagi mampu untuk menabur cahaya bintang-gemintang di langit-langit biru pada malam berselaput kelam. Pekat.

Begitulah mereka wahai tuan malaikat. Menyedihkan sekali. Benar-benar menyedihkan. Tersebab itu, aku ingin sedikit membantu, membuka pintu kehidupan mendatang yang sedikit lebih cerah dari apa yang telah aku dan tuan malaikat lihat. Ya, aku ingin medirikan sebuah Majlis Ta'lim, sekolah agama bagi mereka. Agar sedikit menambah pengetahuan mereka akan agamanya sendiri. Itulah yang menjadi tujuan utamaku. Sekolah agama. Karena mereka tidak akan hidup dalam zaman yang serba mudah cukup lagi. Tidak. Mereka akan dihadapkan, pada suatu hal yang tidak ada di zaman kehidupan awal orang tua mereka. Tidak. Banyak hal yang akan terjadi. Banyak tantangan, terutama tantangan keyakinan atas keberadaan Tuhan kita Yang Esa. Tuhan Esa.

Majlis Ta'lim ini, akan aku mulai pembangunannya esok pagi. Pukul sembilan kurang dua puluh menit itu tepatnya. Akan segera dimulai.

Dengan secangkir teh panas di tangan kananku, aku duduk termenung melihat wajah anak-anak pakir itu, sambil menikmati siualan seorang-orang bocah laki-laki kecil berambut ikal kecil-kecil, dangan kaos yang ia sandangkan di bahu kirinya, Zurjani, putra bungsu dari tiga belas bersaudara pasangan Manisah dangan Zariman suaminya. Sekemudian tuan malaikat yang baru tampak di penglihatanku pagi ini, menyalami aku seraya duduk di depanku.

"Assalamualaikum...!"

Aku sedikit terkejut atas kehadirannya, karena hari ini, ia tampaknya tidaklah sebagaimana hari-hari sebelum ini. Tidak. Dia telah berubah. Tuan malaikat apa gerangan padamu. Apa kau tidak lagi sabar menunguku, menemaniku di dunia fana ini, dan hidup bersama manusia bareng sesaat. Atau engkau lagi marah denganku. Atau…!

"Aku telah dipanggil kehadapan Tuhanmu Yang Esa, mulai pagi-pagi tadi." Aku melongo, berpikir sekiranya apa yang Tuhanku perintahkah pada suruhan tertaat-Nya itu. Apa waktuku sudah...? Tapi aku belum memulai majlis ta'limku. Belum.

Aku belum menyelesaikan kewajiban terakhirku. Ya, membangun majlis ta'lim. Sekolah agama untuk para harapan orang banyak ini. Tuan malaikat terbata,

"Kau harus kembali ke-nol, kembali ke asalmu," jelas tuan malaikat padaku. Aku harus kembali ke-nol? Tuan malaikat…! Tunggu….


Dari; Azis Ghaf,-

SSA, Mei 2009

Nurul Hasan dalam kumpulan cerpennya berjudul 'KABAR DARI RANTAU'


Tidak ada komentar:

Posting Komentar