Tuan malaikat, izinkan aku keluar untuk sekedar hidup kembali dari
kuburanku ini. Bukan aku tidak betah di kuburan ini. Namun, aku ingin menyudahi
apa yang telah kumulai, yang telah berjalan setengah dari keutuhan perjalanan.
Sebab itulah, mengapa aku ingin keluar dari kuburan ini. Tuan malaikat, aku
memiliki satu persoalan dengan halayak ramai. Para manusia yang sekarang masih
santai-santainya berkehidupan. Mereka para saudara-saudaraku yang ber-Tuhan
sama denganku, tentunya juga sama sepertimu. Ya, Tuhan Yang Esa. Mereka juga
para tetanggaku, yang rumah-rumahnya bersebelahan, dan ada juga yang
berhadap-hadapan.
Mereka lemah. Sangat memprihatinkan. Mereka hanyalah bapak-bapak tanpa
profesi. Ibu-ibu dengan anak-anak yang berjarak setelinga. Anak-anak dengan
masa depan tidak terbaca. Begitulah tuan malaikat. Dari itu, tuan malaikat,
mereka tentunya mengharapkan kehadiranku. Meski mereka tahu, kehadiranku bukan
sebuah kemungkinan. Karena setiap orang yang sudah mati. Rohani meninggalkan
sang jasmani. Bertemu, Itu hanyalah sebuah kemustahilan saja. Sungguh mustahil.
Hujan. Hujan membasahi tanah kuburanku. Di atas tempat di mana aku
terbaring. Mengguyuri dua batang kembang sepatu di depan batu nisan kuburanku.
Hujan itu dingin. Begitulah seharusnya. Namun aku tak pernah merasa kedinginan,
walau sampai tanah di wajah kuburanku bercak penuh air. Tidak. Tidak juga
kurasakan panas terik mentari, di kala ia tersenyum menyapa rerumputan.
Ini hari ketiga puluh lima kematianku. Berarti sudah satu bulan lima
hari aku bertinggal dalam alam ketiga dari urutan dua alam sebelumnya.
Kandungan ibuku dan alam dunia para manusia. Manusia-manusia bernyawa. Benar.
Tiga puluh lima hari.
Tuan malaikat yang menungguiku dalam kuburan, duniaku kini, belum juga mengizinkan aku untuk melihat hal
ikhwal keluarga besarku, kerabat-kerabatku, juga para tetanggaku di luar sana.
Di alam dunia. Alam manusia. Alam para binatang. Alam tetumbuhan. Alam para
mahluk Sang Tuhan Esa. Belum.
Tersebab itu, aku kembali meminta, memohon agar aku diizinkan untuk
keluar dari kuburan ini, walau tidak berlalu lama. Karena mereka para
orang-orang yang kutinggalkan tiga puluh lima hari yang lalu, telah kutinggali
dengan suatu yang akan terus berhubungan dengan Tuhanku, Tuhan kita para
manusia yang masih setia bernafas, ataupun yang tak lagi sanggup menghembuskan
oksigen, udara walau sehirup saja. Mati. Tuhan Yang Esa. Suatu yang disebut
amal jariyah.
Namun, tuan malaikat yang kuanggap ramah juga baik hati belum bisa
memutuskan apa sekiranya yang harus ia lakukan terhadap sebuah keinginanku yang
begitu berlalu. Akankah beliau mengizinkanku atau tetap membiarkanku,
memohon-mohon hingga kering liurku, lidahku akan kata-kata permohonan yang
sungguh berlalu. Mengapa tidak, masak ada orang sudah mati kembali meminta,
memohon untuk bernyawa kembali.
“Aku mau kembali ke dunia. Aku ingin menjenguk sekeluarga besarku, serta
mereka yang lain….”
Tuan malaikat, kau tahu sore ini, merupakan sore ketiga puluh enam dari
hari kematianku. Namun, kemanakah gerangan tuan malaikat hari ini, belum
kulihat sorot matanya yang tajam, juga bengis wajahnya. Mungkin barang kali,
tuan malaikat sedang menghadap kehadirat yang Esa.
O..., tuan malaikat melaporkan segala keluh kesahku, perihal niatku dan
keinginanku untuk keluar dari kuburanku ini. Ya, keluar dari persinggahan
sesaatku ini, hingga kiamat menjelma. Kerusakan juga kehancuran. Akhir
dari segala awal. Semoga saja, Tuhanku
rela hingga aku diizinkan-Nya keluar dari tempat yang sering kita dengar
sebagai alam ke-tiga, alam barzakh. Alam ke-tiga, setelah rahim kaum ummi dan
alam dunia. Alam yang sarat dengan kehijauan pohon-pohon. Biru laut membentang
luas samudra. Selaksa pelangi melukis langit dengan ME-JI-KU-HI-BI-NI-U. Ya,
merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Mejikuhibiniu warna
pelangi.
Mungkin sekarang Tuhan sedang menimbang-nimbang keinginanku. Dan akan
segera mengambil keputusan atas apa yang terjadi pada seorang hambanya, yang
tak lagi lain adalah seorang mayat. Ya, aku sudah meninggal tiga puluh enam
hari lalu. Apakah Ia mengizinkanku keluar dari kuburanku, walau Ia harus
mengutus tuan malaikat penjaga kuburanku, atau bahkan mengutus Jibril langsung
untuk menemani, sekaligus mengawasiku di dunia para manusia. Tidak jadi
masalah, asalkan keluar dan aku diberinya kehidupan lagi untuk kemudian aku
dapat melanjutkan, meneruskan semua yang
telah aku mulai dan yang sempat terhenti beberapa hari berlalu.
Tiga puluh enam hari itu tepatnya. Tanpa membutuhkan waktu yang panjang,
akhirnya tuhanku yang esa, merestuiku keluar dan meneruskan apa yang menjadi
keinginan teguhku. Aku akan melanjutkan apa yang sempat terhenti dan akan
kuselesaikan semuanya. Semuanya.
***
Jumat minggu pertama bulan Syawal, ini hari pertamaku hidup lagi.
Menghirup udara segar, merasakan belaian hembusan angin yang sejuk begitu indah
nan erotis. Aku membawa tubuhku yang sepertinya baru saja sembuh dari sakit
parah. Serupa orang yang bebas dari grogotan strok lama. Tubuhku lemas.
Begitulah keadaanku. Kalau saja nanti atau kapanpun, datang seorang padaku,
menanyakan apa yang terjadi pada diriku yang lemas, tampak seperti tidak makan
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun lamanya.
"Apakah anda sedang sakit?" tanya orang itu padaku. Kemudian
aku akan menjawab apa yang sedang aku rasakan.
"Aku memang sedang sakit dan baru sembuh dari sakit yang tak ada
sakit yang lebih sakit dari sakit yang kurasa dan kualami." Ya, betapa
sakit, sakit, sakit, dan sakit. begitulah aku alami.
***
Aku menyegerakan diriku, pergi ke tempat pembangunan panti asuhan yang
aku namai wisma Al-Ijtihad, inilah bangunan pertama yang aku bangun. Aku
mendirikan panti asuhan ini, dengan tujuan anak-anak yatim, piatu juga yatim
piatu dan tak lupa para anak terbuang, tersisih, terasing dari dunia kelayakan
manusia; sebagai mahluk teragung di muka bumi ini, dari sekalian mahluk
lainnya, apalagi binatang. Berdekatan pun tidak. Sungguh manusia begitu agung.
Panti asuhan ini tempat tinggal para yatim, piatu, yatim piatu juga
mereka anak-anak marginal. Tidak
sekedar itu, panti asuhan yang aku beri nama Al-Ijtihad inipun, akan menjadi
tempat mereka menjalani pendidikan, terutama pendidikan wajib belajar sembilan
tahun, yang tak lain adalah harapan dan memang sudah menjadi visi dan misi pak
Presiden dan ibu Presiden serta seluruh bapak-bapak bangsa ini, lebih-lebih
harapan seluruh bumi pertiwi, Nusantara.
Setelah kurang lebih tujuh hari setengah, panti asuhan Al-Ijtihad, yang
terdiri dari dua tingkat ini pun, akhirnya bisa terselesaikan dangan baik.
Alhamdulillah. Berarti sudah satu kewajiban atau tanggung jawabku, begitu
tepatnya telah berhasil aku selesaikan setelah setiga puluh enam hari berlalu
tertunda. Benar.
Kini dadaku serasa sedikit lega, dan akupun demikian bahagia. Aku telah
menyelesaikan seper empat dari sepenuhnya kewajibanku.
Tuan malikat, kini aku yakin anak-anak yang dulu menguburkan senyuman
manisnya dalam-dalam itu, akan tersenyum lebar. Dan tak jarang tawa mereka akan
terpecah bersama desah angin, juga lagu-lagu cinta dan kasih sayang akan turut
terlantun indah nan erotis dari mulut anak-anak titipan Tuhan itu. Ya mereka
anak-anak yang dulu terpinggirkan, terasing dari dunia cinta dan kasih sayang
para orang tua. Mungkin tersebab orang tua, Ibu-Bapak mereka telah tiada, telah
tinggal dalam dunia yang sama denganku tempo hari.
Tuan malaikat! Sekiranya rindukah para orang tua anak-anak tanpa dosa
itu kepada anaknya? Kalau memang mereka merindui anak-anaknya, dan juga ingin
memberikan seteguk kasih sayang dan cintanya pada para buah hatinya itu,
mengapa mereka begitu menerima keberadaannya? Mengapa mereka tidak memohon
kepada Tuhannya yang Esa? Tuhan yang tentunya, memiliki sifat kasih sayang
begitu tinggi pada setiap apa yang ia ciptakan. Terlebih para manusia.
Tetumbuhan, hewan-hewan pun juga ia kasihi dan sayangi. Apakah mereka tidak
ingin berizin untuk keluar dari tempat pembaringan, peristirahatan mereka untuk
memberikan seteguk saja kasih sayang pada tunas-tunas kehidupan mereka
itu. Anak-anak mereka, walau sesaat
saja?
***
Pembangunan pertamaku telah aku selesaikan, tuan malaikat. Kini tinggal
dua tanggunganku bagi kemaslahatan umat manusia, setelah pembangunan panti
asuhan para yatim, piatu, yatim piatu juga mereka, anak-anak marginal. Aku akan menyegerakan
pembangunan tahap penyelesaian Masjid Jami di desa Kemuja, yang juga telah aku
mulai seminggu lebih dua hari, sebelum kematian merenggut adaku. Sebelum
kepindahanku kepada alam pembaringan, peristirahatan sementara, sampai kehancuran
akbar dunia menyapa. Kiamat. Ya, kiamat.
Masjid yang aku beri nama, Masjid jami Al-Hayat ini, akan segera
diteruskan pembangunannya, setelah seminggu lebih dua hari yang lalu telah
mulai dan terhenti dikarenakan satu lain hal. Karena aku harus menghadap
Tuhanku Yang Esa.
"Mas, semen juga besi cornya kurang. Yang kemarin sudah
habis!" ungkap pak Sarpin padaku.
"Berapa banyak besi cor yang dibutuhkan, dan semennya berapa sak
lagi kekurangannya?" tanyaku pada pak Sarpin. meyakinkan.
"Semennya kurang sekitar 135 sak lagi, sedang besi cornya kurang
sekitar 60 batang lagi, Mas," jelas pak Sarpin.
Aku menyegerakan diriku untuk membelikan apa yang dibutuhkan para
arsitektur pembangunan masjid Al-Hayat itu. Arsitektur yang berada di bawah
pimpinan pak Sarpin yang tiada lain adalah bapak mertua mbakku yang pertama,
Mbak Zahroh. Bapaknya kakak iparku, suami mbak Zahroh, Mas Romza.
Sepulangnya aku membeli barang-barang pokok pembangunan yang tadi telah
dipesankan oleh pak Sarpin. 135 sak semen dan 60 batang besi cor. Kini
pembangunan masjid Jami pertama di desa Kemuja, itupun sudah mendekati tahap
penyelesaian akhir, kalau kita persentasekan kurang lebih sekitar 95% selesai,
kurang lima persen lagi, masjid jami Al-Hayat, yang aku dirikan ini akan
selesai. Dan akan segera digunakan para masyarakat untuk kegiatan keagamaan,
sholat jamaah terutama. Ya, sholat jamaah.
Tuan malaikat, setelah masjid ini selesai total, aku mohon padamu, agar
tetap setia juga sabar menungguku sampai semua yang menjadi tugas, dan kewajiban
besarku atas mereka yang masih setia bernafas, menghembus udara pagi. Mereka
yang akan masih lebih lama melihat tawa mentari, juga senyum bulan dan
bintang-gemintang yang indah nan erotis. Begitu indah. Mengagumkan. Aku takjub.
Sungguh.
Tuan malaikat, aku masih punya satu hal yang harus dan mesti aku
selesaikan, wajib, tiada tawar menawar. Tidak. Apa itu? Tentunya kau bertanya,
tapi tidak, sebab aku yakin kau tahu, dan memang kau lebih 'alim dariku. Ya, begitulah yang kutahu.
***
Termanggu duduku di tepi pembaringan lusuhku, pembaringan yang aku
warisi dari ayah kakak ipar ayahku, mang Sibrun. Terbata aku berkata pada tuan
malaikat utusan Tuhanku Yang Esa, anak-anak yang berlari berkejaran itu tiada
lain, melainkan anak-anak tanpa pendidikan. Mereka anak-anak para orang tua
yang telah habis keringatnya, kering, namun patut kita sayangkan, tiada apapun
yang mereka dapatkan, melainkan hanya sesuap dua suap nasi tanpa lauk. Kasihan
mereka. Wajar saja anak-anak mereka belum dan mungkin takkan pernah mengenyam
rasa juga suasa pendidikan. Tidak. Mungkin sampai nanti ajal merenggut mereka,
meninggalkan tubuh mereka yang kurus, kering tampak tiada mereka berdaya.
Sungguh begitu berlalu nasib kehidupan yang terukir di garis-garis kehidupan
mereka. Tampak dunia ini tak lagi mampu untuk menabur cahaya bintang-gemintang
di langit-langit biru pada malam berselaput kelam. Pekat.
Begitulah mereka wahai tuan malaikat. Menyedihkan sekali. Benar-benar
menyedihkan. Tersebab itu, aku ingin sedikit membantu, membuka pintu kehidupan
mendatang yang sedikit lebih cerah dari apa yang telah aku dan tuan malaikat
lihat. Ya, aku ingin medirikan sebuah Majlis Ta'lim, sekolah agama bagi mereka. Agar sedikit menambah
pengetahuan mereka akan agamanya sendiri. Itulah yang menjadi tujuan utamaku.
Sekolah agama. Karena mereka tidak akan hidup dalam zaman yang serba mudah
cukup lagi. Tidak. Mereka akan dihadapkan, pada suatu hal yang tidak ada di
zaman kehidupan awal orang tua mereka. Tidak. Banyak hal yang akan terjadi.
Banyak tantangan, terutama tantangan keyakinan atas keberadaan Tuhan kita Yang
Esa. Tuhan Esa.
Majlis Ta'lim ini, akan aku
mulai pembangunannya esok pagi. Pukul sembilan kurang dua puluh menit itu
tepatnya. Akan segera dimulai.
Dengan secangkir teh panas di tangan kananku, aku duduk termenung
melihat wajah anak-anak pakir itu, sambil menikmati siualan seorang-orang bocah
laki-laki kecil berambut ikal kecil-kecil, dangan kaos yang ia sandangkan di
bahu kirinya, Zurjani, putra bungsu dari tiga belas bersaudara pasangan Manisah
dangan Zariman suaminya. Sekemudian tuan malaikat yang baru tampak di
penglihatanku pagi ini, menyalami aku seraya duduk di depanku.
"Assalamualaikum...!"
Aku sedikit terkejut atas kehadirannya, karena hari ini, ia tampaknya
tidaklah sebagaimana hari-hari sebelum ini. Tidak. Dia telah berubah. Tuan
malaikat apa gerangan padamu. Apa kau tidak lagi sabar menunguku, menemaniku di
dunia fana ini, dan hidup bersama manusia bareng sesaat. Atau engkau lagi marah
denganku. Atau…!
"Aku telah dipanggil kehadapan Tuhanmu Yang Esa, mulai pagi-pagi
tadi." Aku melongo, berpikir sekiranya apa yang Tuhanku perintahkah pada
suruhan tertaat-Nya itu. Apa waktuku sudah...? Tapi aku belum memulai majlis ta'limku. Belum.
Aku belum menyelesaikan kewajiban terakhirku. Ya, membangun majlis ta'lim. Sekolah agama untuk para harapan
orang banyak ini. Tuan malaikat terbata,
"Kau harus kembali ke-nol, kembali ke asalmu," jelas tuan
malaikat padaku. Aku harus kembali ke-nol? Tuan malaikat…! Tunggu….
Dari; Azis Ghaf,-
SSA, Mei 2009
Nurul Hasan dalam kumpulan cerpennya berjudul 'KABAR
DARI RANTAU'
Tidak ada komentar:
Posting Komentar