Cerpen Nurul Hasan
“Mas, turun” aku terjaga. Aku pun turun dengan tas di punggungku dan segera naik bis lain menuju ke
desaku.
Setelah beberapa menit bis berlalu. Kubuka tasku.
Betapa kaget ketika sebuah amplop coklat berisi ijazah, akte kelahiran serta
surat-surat berhargaku lainnya raib entah ke mana. Aku bingung. Dada serasa
penuh, sesak. Ingin kuberteriak, lalu memberhentikan bis yang melaju demikian cepat
itu. Hatiku gundah gulana, terasa keringat membasahi tubuhku. Namun, perjalanan
ini sudah terlalu jauh, aku hanya bisa mengaduh seraya setitik air mataku
pecah, mengalir di antara gelisah yang mendesahkan nafasku.
Kubuka mataku. Perih. Pikiranku masih buntu. Bis masih melaju begitu
kencang. Pohon-pohon sepanjang jalan serasa beterbangan bagai kapas. Umpatan-umpatan kecil berloncatan dari mulutku bagi
orang sengaja mengambil amplop berisi dokumen berharga itu. Tapi, di saat lain,
aku menyadari betapa raibnya amplop itu bersumber dari kelalaianku. Ya, aku
memang tertidur pulas saat mengendarai bis yang pertama tadi. Entahlah.
Dua hari setelah kejadian itu. Hari ketika aku tertidur pulas. Kernet bis membangunkan aku, menyuruh
aku keluar dan pindah ke bis lain. Pagi, di ruang tamu, aku, abah, dan emak
duduk santai dengan segelas teh hangat, dan sebuah koran pagi. Abah senang
membaca, termasuk Koran.
Aku masih bingung. Apa yang harus aku perbuat tanpa ijazah. Lebih-lebih
semua Ijazah yang hilang, bukan hanya ijazah S1-ku saja. Abah dan Emak selalu
berusaha menenangkan aku, berusaha memaksa aku tersenyum. Senyumku yang mawar,
begitu kata sebagian orang. Benar, aku sering tersenyum.
“Nak, lebih baik kamu menikah saja. Melaksanakan sunnah Rosul. Itu kan
berpahala,” kata Emak memecah suasana.
Aku terkejut. Keputusan apalagi ini, tiba-tiba menyuruhku menikah.
“Menikah itu sulit, Emak-Abah. Apalagi aku belum punya calon. Aku tidak
mencintai seorang gadis pun.” Aku memelas. Abah masih terdiam. Abah belum
berkata sepatah kata pun. Aku tatap pandangan Abah yang begitu embun. Juga,
wajah Emak yang selalu menyiratkan harapan.
“Pasti, ada seorang gadis yang mencintaimu,” ucap Abah mencoba
meyakinkanku. Terasa semakin sempit dadaku, tersengal nafasku. Siapa gadis
itu….
“Kring…kri…ng, kring.”
Bel berbunyi. Siapa bertamu sepagi ini, tidak
biasa. Kemudian aku berlalu menghampiri pintu, membukanya. Aku ingin mengetahui
siapa yang bertandang ke rumah kami sepagi ini.
“Jalan Sudirman No 35,” ucap seorang lelaki yang sepertinya Pak Pos.
“Ya, benar. Ada keperluan apa ya, Pak,” jawabku seraya singkat bertanya.
“Anda Mas Hasan Ahyar?” tanyanya. Seraya memberikan aku sebuah amplop kuning.
“Tanda tangan dulu, Mas Hasan.”
Diberikannya padaku, sebuah tanda terima surat, lengkap dengan
bulpennya.
“Dari Nona Sheila, Pondok Pesantren Darul Mutthaqin, Tangerang,”
jelasnya singkat perihal amplop itu.
“Terima kasih, Mas. Permisi….”
Aku membatu, tidak menghiraukan apa yang diucapkan Pak Pos sebelum
akhirnya ia berlalu.
“O ya, Pak…,” ucapku setengah berteriak.
Abah, Emak masih tetap di ruang tamu. Menghabiskan pagi dengan segelas teh hangat. Begitulah biasanya.
Kemudian, aku menghampiri mereka. Di tangan kananku sebuah amplop kuning yang tidak kutahu apa isinya.
Sesekali kubaca perlahan nama pengirimnya, Sheila. Mungkin salah alamat,
batinku.
“Apa itu, Nak?” tanya Emak ingin tahu. Ia tatap
mataku. Kembali juga kutatap wajahnya yang mulai menua. Ya, Emak ingin aku segera menikah. Abah, yang
serius dengan korannya, sesekali mengernyitkan dahi.
“Masya Allah…,” ucap Abah di
antara kerjitannya. “Harga lada turun lagi, Mi!”
“Dari siapa, Nak,” tanya Emak tidak memperdulikan ucapan Abah.
“Shei…la, dari Sheila, Mak.”
“Sheila….”
“Aku juga tidak tahu, siapa dia, Mak. Rasanya aku
tidak pernah punya teman bernama Sheila,” jelasku.
“Alhamdulillah. Ijazah kembali.” Aku begitu senang,
terasa ingin aku menghambur keluar. Terasa aku ingin merengkuh rembulan. Aku
bahagia sekali.
“Alhamdulillah,” ucap Emak-Abah bersamaan.
Selasa, pagi-pagi aku minta izin kepada Emak dan
Abah. Aku ingin mencari tahu siapa Sheila itu, gadis yang
telah demikian baik mengembalikan semua surat-surat berhargaku. Tentu aku ke
kantor pos terlebih dahulu, mungkin di sana bisa kutemukan alamat lengkap si
pengirim amplop itu, Sheila, begitu namanya.
Di kantor pos. Aku bertanya ke semua petugasnya, namun hasilnya nihil.
Aku tidak mendapatkan keterangan apa-apa. Karena, Sheila tidak menuliskan
alamat lengkapnya di amplop yang kuterima tadi. Hanya, Pondok Pesantren Darul
Muttaqin, Tangerang. Begitu yang tertulis di buku penerimaan surat di kantor
pos.
“Bagaimana caranya, aku bisa mendapatkan alamat lengkap Sheila. Tuhan,
Aku ingin berterima kasih banyak padanya.”
Aku melanjutkan perjalanan. Kali ini aku memutuskan untuk pergi ke rumah
kawanku, Khoiri di Banten.
“Mas Hasan, kami punya nomor Hp-nya!” seru salah seorang karyawan kantor
pos itu.
Aku balik arah lagi. Dengan cepat kudatangi kantor pos itu lagi.
“Berapa,” tanyaku.
“Ini Mas, 08193947xxxx.”
“Terima kasih, Pak.”
Aku jabat tangannya dan kemudian aku berlalu. Aku pulang ke rumah. Niat bulat
aku untuk pergi ke rumah kawanku, Khoiri di Banten batal. Aku harus coba
menghubunginya dulu. Aku menghubungi nomor yang aku dapat di kantor pos tadi.
Terasa ada yang asing dalam diriku. Ada getaran yang sebelumnya tidak pernah aku rasakan. Rasa itu demikian
membuatku selalu mendesahkan nafas panjang. Sungguh begitu asing. Apakah aku
sedang jatuh cinta kepada Sheila. Tapi mungkinkah? Apalagi aku tidak pernah
bertemu dengannya. Sheila, aku ingin bertemu denganmu, walau sekadar berterima
kasih saja. Ya, benar, aku ingin berterima kasih banyak atas apa yang telah kau
lakukan padaku. Aku telah berhutang budi padamu, Sheila. Aku ingin tahu di mana
alamat lengkapmu.
Setelah makan malam, tentu bersama Abah dan Emak. Aku memutuskan untuk
segera mungkin menghubunginya.
“Maaf, benar ini, Nona Sheila?” tanyaku.
“Ya, aku Sheila. Anda siapa ya, dan…ada keperluan apa denganku?”
jawabnya singkat.
“Aku Hasan Ahyar. Aku ingin berterima kasih padamu. O…ya, kamu tinggal
di mana?”
“Mas Hasan, tidak perlu berterima kasih padaku. Berterima kasihlah
kepada Allah. Aku mengajar di Pondok Darul Muttaqin, Tangerang. Aku berasal
dari Bangka,” jelasnya panjang lebar.
“Nona dari Bangka? Aku juga tinggal di Bangka. Nona di mana ya.”
“Sudah dulu ya, Mas. Aku masih mau ngajar. Assalamualaikum,” ucapnya
tanpa menghiraukan pertanyaanku yang begitu ingin tahu itu.
“Tapi….” Tiba-tiba aku terdiam. Kemudian Sheila menutup teleponku itu. Terasa asing memang.
Benarkah aku telah jatuh cinta pada Sheila? Entahlah.
Aku termanggu duduk di bibir ranjangku, seraya menatap ke luar jendela.
Bulan masih beludru. Aku suka suasana saat itu. Kerlap-kerlip bintang-gemintang
menambah sumringah suasana hatiku. Sesekali, desir angin menyapaku dengan
gigil. Ya, suara Sheila masih terngiang terang di telingaku. Mendengar suara
itu, jantungku berdegup keras. Ibarat magnet, suara Sheila telah menarik
kesadaranku. Suara itu pula yang seakan mengirimkan pesan indah: cinta.
“Bulan, bintang, dan angin, aku mencintai Sheila. Tapi, bagaimana aku
bisa mendapatkannya, sedang diriku belum pernah melihatnya, kecuali suaranya
saja.” Aku bingung. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Di mana aku bisa
bertemu dengannya. Perlahan aku telah demikian mencintainya. Aku akan
mengatakan pada Abah-Emak bahwa aku telah mendapatkan seorang gadis yang begitu
aku cintai. Ya, aku ingin menikah dengannya, tidak orang lain. Akhirnya, aku
memutuskan untuk memberinya sepotong jilbab. Aku pun menelponnya.
“Sheila, telah aku kirimkan sepotong jilbab berwarna merah jambu
untukmu,” jelasku padanya dengan tangan gemetar.
“Jilbab merah jambu….”
“Benar, sepotong jilbab merah jambu itulah, yang akan menjadi pertanda,
ketika kita bertemu nanti. Dan sengaja kusulam namamu, di bagian bawah sebelah
kiri, agar mempermudah aku mengenalmu. Entah kapan itu terjadi.”
Sepotong jilbab merah jambu. Setelah kukirim sepotong jilbab merah jambu
itu padanya, aku tidak lagi pernah menghubunginya. Begitulah permintaannya. Dia
masih mau menyelesaikan hafalan Qur’annya, selain menuntaskan aktivitas
mengajarnya.
Jam 08.00 pagi. Aku dibangunkan Emak. Sejurus kemudian beliau menyuruhku
segera mandi.
“Cepat mandi, kita akan kedatangan tamu spesial,” ujar emak.
Beribu pertanyaan tiba-tiba muncul di benakku.
Siapa tamu spesial yang akan datang ke rumah pagi ini? Aku beranjak dan
menyegerakan mandi. Ya, aku tidak ingin mengecewakan Emak dan Abah. Tidak. Aku selalu ingin memberikan yang terbaik buat kedua orang tuaku
itu. Aku ingin mereka bahagia. Selesai mandi, aku langsung duduk bersama Emak dan
Abah di ruang tamu, menunggu tamu spesial tiba.
“Mana tamunya, Mak. Kok belum datang juga?” tanyaku singkat.
“Kring…kring….”
“Nah… itu datang.”
Kami bertiga, aku, Emak dan Abah menghampiri pintu. Kami menyambut tamu
itu.
“Assalamualaikum…Pak Ahyar, Bu Emi!”
“Waalaikum salam…Pak. Zumrowi, Bu Aminah, Nona Cantik. Mari masuk,”
jawab Abah-Emak bersamaan. Seraya menyuruh duduk.
Beberapa menit berlalu, setelah Abah-Emak, serta Pak Zumrowi dan Bu
Aminah saling bertukar cerita. Melepas rindu. Ya, mereka sahabat lama rupanya.
“Pak. Ahyar, bagaimana rencana lama kita dulu. Rencana penjodohan
putra-putri kita, Nak Hasan dengan putri saya, Ela Isnani Munawwaroh,” ingat
Pak Zumrowi.
Mendengar itu, aku gemetar, tubuhku menggigil. Aku akan dijodohkan bukan
dengan Sheila. Padahal, aku sudah pernah cerita kepada Emak-Abah. Aku tidak
akan menikah kecuali dengan Sheila. Tidak.
Nafasku terengah-engah tidak terarah. Tubuhku menggigil dingin. Kenapa
tidak, aku kembali dihadapkan dengan masalah yang demikian berat. Yang memaksaku
untuk berbuat ekstra hati-hati. Karena kalau tidak, aku akan hancur. Aku akan
tenggelam dalam harapan yang tidak pernah tercapai.
“Bah, Mak. Aku tidak akan menikah kecuali dengan Sheila. Aku demikian mencintainya, Bah-Mak. Aku mencintainya. Aku tidak ingin mengkhianatinya. Tidak.” Mendengar hal
itu Abahku tertunduk malu. Emak pun begitu. Tapi tidak kutemukan setitik pun
kesusahan di wajah tiga orang tamu kami itu. Mereka tampak tenang. Pak Zumrowi,
Bu Aminah juga putrinya, Ela Isnaini Munawwaroh, tetap menunduk anggun. Dia
juga cantik, tapi aku tidak mencintainya. Cintaku tidak bisa dibagi lagi. Aku
hanya akan mencintai Sheila. Sheila saja, bukan yang lain, bukan juga Ela
Isnaini Munawwaroh.
Semuanya terdiam, membisu, membatu. Abah, Emak, Pak Zumrowi, Bu Aminah,
Ela Isanaini Munawwaroh termasuk juga aku. Kami semua diam, tanpa sepatah kata
pun. Setelah beberapa saat berlalu,
“Om, Tante, Mas Hasan Ahyar, akulah Sheila. Ela Isnaini Munawwaroh itu
nama lengkapku. Jika Mas masih tidak percaya, coba Mas lihat jilbabku. Di
sebelah kiri ini tersulam namaku. Ya, kaulah yang menyulamnya kan, Mas. Mas
pernah bilang, bahwa suatu hari nanti sepotong jilbab inilah, yang akan menjadi
pertanda kala kita bertemu. Begitulah hari ini, sepotong jilbab merah jambu yang
Mas sulam namaku di sebelah kiri dadaku itulah, yang aku kenakan. Bukan yang
lain. Maaf, aku dulu lupa memberi tahu nama lengkapku. Akhirnya, Mas hanya
mengenal nama Sheila. Mas demikian mencintai Sheila, tapi Sheila itu adalah Ela
Isnaini Munawaroh yang Mas kenal sekarang. Aku Sheila, Mas. Aku juga Ela
Isanaini Munawwaroh. Aku mencintaimu, Mas,” jelas Ela yang tak lain adalah
Sheila yang kukenal. Dia telah mengenakan sepotong jilbab merah jambu itu.
Aku tersentak, kenapa aku juga tidak bertanya nama lengkapnya dulu. Abah
dan Emakku mengusap dada. Dan kulihat di mata mereka mengalir gumpalan air
mata.
“Kalian sudah saling mengenal,” ucap Abah.
“Kau bersedia menjadi istriku?” tanyaku.
“Ya, aku bersedia menjadi istrimu.” Tiba-tiba bulir-bulir lembut mutiara
di matanya terpecah dan mengalir, membasahi sepotong jilbab merah jambunya.
“Alhamdulillah,” ucap orang tuaku, orang tuanya bersamaan.
SSA, 29 November 2009
*Juara II Lomba Cipta
Cerpen Se-Jatim Yang Diadakan FLP Sumenep Tahun 2009
Selamat pagi sahabat.
BalasHapusTerima kasih atas artikelnya yang menarik dan inspiratif
Saya mengundang mengikuti kontes Unggulan Indonesia Bersatu lho ya. Klik saja : http://tamanblogger.com/blogging/konteskuis/kontes-unggulan-indonesia-bersatu-cara-mencegah-dan-menanggulangi-tawuran
Terima kasih.
Salam hangat dari Surabaya