Begitupun
saat kamu berpikir kamu adalah pemenang, maka kamu adalah pemenang sejati,
Sarah.”
Itu kata kata
pria yang selama belasan tahun kupanggil, Abang. Ya, Abang. Satu-satunya Abang
yang kukenal.
Kau tahu tentang
Abangku. Tak satu orang pun yang mengerti dia, termasuk Mamak dan Abah. Abangku
kasar dan keras. Mamak senantiasa berkata, kalau Abang
anak durhaka dan tak tahu adat. Abah juga sering bilang kalau Abang itu
temperamen.
Abangku punya dua luka di pelipisnya. Luka yang
pertama karena berkelahi, luka yang kedua karena dipukul Abah.
“Jangan diobati
luka Abang mu itu, Sarah. Tidak berguna kau tolong anak bengis macam dia!”
lontar Abah suatu ketika saat melihatku melipat-lipat kain kasa yang sudah
dibubuhi cairan anti septik.
Kau tahu, kata
Mamak Abang suka sekali meminta uang pada Mamak. Mamak tak pernah tahu untuk apa uang itu dibelanjakan. Tahun kemarin
pun begitu, saat Abang memaksa Mamak membelikan motor besar untuknya. Abang
berteriak-teriak, jika pintanya tak dituruti semua baraang dirumah bisa dijarah
olehnya.
Kau pasti
bertanya-tanya soal hubunganku dengan Abang. Kami baik-baik saja. Dan tak perlu
diutarakan Abang memiliki cinta yang besar untukku. Memang aneh tapi itulah faktanya. Mamak dan
Abah sangat memanjakanku, memperlakukan sangat berbeda dengan Abang. Kata Abah
aku ini penurut dan kata Mamak aku ini anak pintar, tapi kata Abang aku ini
gadis yang beruntung.
Kau harus
dengarkan aku, disetiap bel pulang sekolah, aku akan melihat Abang dengan motor
besarnya hasil dari “pemerasan” terhadap Mamak, telah menunggu di sebelah Pohon
Akasia di samping gerbang sekolah. Ya. Dia Abangku, menjemputku tanpa alpa
setiap hari.
Selepas sekolah,
Abang membawaku di tengah sawah diantara
hamparan rumah rumah pemanjat Pohon Siwalan. Abang akan membelikanku es legen yang
baru saja diambil langsung dari pohonnya. Padaku, Abang akan bertanya tentang
pelajaran, sekolah, tumbuhan, bintang, dan banyak hal.
Dihadapanku,
Abang tak pernah terlihat bengis dan menyeramkan. Dia sosok hangat yang selalu
melindungi. Abang berpendidikan SMK , dikutuk semua guru karena kebengalannya
tapi begitu dicintai kepala sekolahnya karena kecintaanya pada dunia otomotif,
Abang tak pernah mau kuliah. Tapi dia
pembelajar yang kuat, darinya aku belajar bagaimana proses dari motor bensin
menyala. “
Penyalaan motor
bensin dilakukan dengan menggunakan busi. Loncatan api pada kedua elektrode
busi dibangkitkan dengan beda tengangan listrik yang cukup besar, sekitar
10.000-20.000 volt”. Jelasnya suatu ketika.
Kala itu aku
bertanya dalam hati, kenapa Abang tidak
kuliah saja di jurusan Teknik Mesin atau Elektro. Pertanyaan itu hanya
menggumpal dalam pikiranku saja, tak pernah terlontar karena nyatanya keputusan
Abang pasti jauh lebih beralasan.
Kali ini, Abang
menatap langit siang yang membiru. Aku menduga Abang akan menceritakan padaku
tentang benda langit, entah apa.
“Kamu harus tahu, Sarah. Di semesta sana ada galaksi
yang jauh lebih besar dari galaksi Bima Sakti, galaksi ini berjarak 7 milyar
tahun cahaya. Galaksi itu dinamai El Cordo
oleh para penemu. Seperti galaksi lainnya Sarah, dia pasti akan memiliki bintang yang paling terang, seperti
Sirius dalam Andromeda.”
Aku hanya
mengangguk nanar, mencoba menangkap apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh
Abang.
“Sarah, Galaksi El Cordo adalah keluarga kita dan kamu
adalah bintang paling terang di dalamnya.” Abang menatapku dan berusaha
menantang nanar di matanya.
Aku masih tak mengerti. Kenihilan atas pertanyaanku ku bawa hingga mimpi mengusik malamku.
Aku masih tak mengerti. Kenihilan atas pertanyaanku ku bawa hingga mimpi mengusik malamku.
Pada hari
berikutnya, aku kembali menemukan Abang di samping Pohon Akasia dekat gerbang
sekolah. Penampilannya sama tersenyum samar dari kejauhan. Mengenakan kaos dan jeans
butut tapi sama sekali tidak mengurangi wajah kerennya. Teman-temanku saling berbisik, menaruh keirian mendalam
padaku yang memiliki kakak super baik di dunia. Tapi aku tak lagi peduli dengan
itu semua. Aku hanya peduli pada pertanyaan penting dalam otak belasan tahunku, kenapa Abang tak pernah mengasariku sekali pun. Ketika Abang di depanku sangat
seratus delapan puluh derajat jika Abang berlaku pada Abah dan Mamak. Aku pikir
Abang punya kepribadian ganda.
Kau lihat, aku
hanya tahu, Abang mencintaiku hingga letih. Hanya Abang yang menyulap
kumparan-kumparan dan besi besi rongsok menjadi tempat pensil yang indah. Tapi
belakangan Abang tak lagi membuatkan benda-benda indah dari besi rongsokan
untukku. Siang malam dia mengelas dan mereparasi bagian bagian detail kotak
pensil.
“Kenapa, Bang?
Sarah ingin sekali dibuatkan lagi satu untuk teman.” Begitu pintaku suatu kali.
Abang mengacak
rambutku, tersenyum meringis.
“ Sarah, benda
cantik ini akan membunuhmu perlahan-lahan. Dalam kumparan logam yang kau pegang
itu, masih ada kandungan bahan beracun dan berbahaya. Di dalamnya terdapat
logam Timbal yang beracun. Studi Toksisitas Timbal menunjukkan bahwa kandungan
Timbal dalam darah sebanyak 100 mikrogram/l dianggap sebagai tingkat aktif
(level action) berdampak pada gangguan perkembangan dan penyimpangan perilaku.
Sedangkan kandungan Timbal 450 mikrogram/l membutuhkan perawatan segera dalam
waktu 48 jam. Lalu, kandungan Timbal lebih dari 700 mikrogram/l menyebabkan
kondisi gawat secara medis (medical emergency). Untuk kandungan timbal di atas
1.200 mikrogram/l bersifat sangat toksik dan dapat menimbulkan kematian pada
anak. Kadar Timbal 68 mikrogram/l dapat menyebabkan anak makin agresif, kurang
konsentrasi, bahkan menyebabkan kanker.”
Aku berusaha
menyerap perkataan abang barusan, ya dia bercerita tentang dosis Timbal yang
menyebabkan beberapa disorder dalam tubuh manusia. Dari mana Abang tahu.
Pikirku.
Abang geleng
geleng kepala.
“Jadi mana
mungkin aku membuatkanmu lagi benda cantik tapi membunuhmu pelan-pelan?”
Sekali lagi aku
hanya bisa mengangguk dengan menyisakan satu pertanyaan absurd tentang
Abangku. Belum selesai semua dengung tanya itu dilontarkan, Abang menarik
tanganku menaiki motor besarnya yang perlahan mulai menderu kuat-kuat.
Di ujung jalan
setapak yang dibatasi dua buah sungai kecil, kami berhenti. Abang menuntunku
pelan-pelan, hingga kakiku berdiri di atas tumpuan keras seperti tatakan
berukuran besar. Ini balok -balok kayu besar, setiap balok kayu dikelilingi
buah saga merah kehitaman. Balok kayu ini berjarak 25 cm menuju balok kayu
lainnya.
“Apa ini Abang?”
Aku tak
mendengar jawaban apapun. Abang menarik
tanganku menjauh dari jalan setapak buah saga itu. Kami terduduk di antara
pagar ilalang yang mulai menguning.
“Aku ingin besok
kau pergi ke suatu tempat diujung sana. Di Ujung balok kayu terakhir. Ayo kita
pulang.” Belum sempat aku mengudarakan tanya, Abang telah menarik tanganku.
Kenapa besok. Ada apa di ujung sana.
Ujian Bahasa
Inggris memaksaku pulang lebih akhir 15 menit dari biasanya. Tak kutemukan
Abang, di dekat pohon Akasia. Dia mungkin menunggu di tempat lain pikirku. Lima
menit, sepuluh menit. Aku mulai tak sabar. Kemana Abang? Intuisiku mengatakan
ada yang tak beres.
Aku berlari
pulang ke rumah. Sepi. Tak ada motor besar Abang yang terpakir dekat Tanaman
Bougenfil. Kemana Abang. Telepon rumah melengking saat aku mulai berbalik
hendak ke kantor Abah.
“Sarah, Mamakmu
di Jati Luhur, dia minta di jemput.” Desau Abah di telepon.
Aku mulai
frustasi. Mungkin Mamak tahu dimana
Abang. Aku mengayuh kencang sepeda pancal menuju sebuah lokasi tempat Mamak minta dijemput. Sepedaku
nyentrik, ada lampu besar bergelantung di depannya dan keranjangnya ada di
belakang, mirip pesan antar piza di kota. Abang yang memodifikasinya untukku.
Aku berdiri
tegak di bangunan bertingkat lima. Bangunan paling besar di kota kecamatanku.
Tapi tak pernah ada keinginan untuk memasuki
tempat ini. Rumah sakit. Ada yang tak beres.
Mamak sembab dan
Abah nampak lelah. Beberapa kerabat ku
lihat juga ada disana. Dan Abang ada dalam ruangan bercat hijau, tak ada yang
boleh masuk.
“Abangmu itu
nyabu, Sarah. Dia over dosis!” pekik Abah tiba-tiba
“Mau apalagi
anak tengil itu, tak ada habisnya dia bikin rusuh saja!”
Bahu mamak terguncang pilu.
“Belum tentu, Bah dia nyabu. Dokter
masih periksa di dalam.” Ujar salah seorang kerabatku.
Aku buntu dan menegang. Abang tak mungkin nyabu. Ada hal
lain pasti. Tapi apa. Angka jam telah menunjukkan pukul setengah empat sore.
Aku ingat. Ada hal lain memang. Aku bergegas lari menembus tiap koridor tanpa
peduli wajah Mamak dan Abah yang berubah jadi bingung. Tak mungkin Abang nyabu.
Abangku cerdas dan hatinya terlalu emas untuk sekedar mencium obat-obatan
seperti itu.
Aku sampai pada balok ke 171. Pada balok ini
171 ini ada hal janggal pada susunan buah saga. Bentuknya menyerupai panah dan
memaksaku memutar empat puluh lima
derajat dari arah asal. Tubuhku membentur dinding pohon Akasia. Di samping
pohon akasia ada jala-jala yang terhubung seolah menjadi pintu gerbang menuju
suatu tempat.
Dugaanku tak
meleset. Jala-jala itu menutupi pintu sebuah bangunan. Aku menyeruak tak sabar.
Aku mematung di samping motor besar Abang. Tempat ini lebih menyerupai sebuah
bengkel. Ada banyak spare part di
sana dan di sudut ruangan ada tulisan Bengkel El Cordo.
Kau dengar,
tempat itu adalah bengkel Abang. Bengkel yang belum sempat diresmikan. Semua
perilaku Abang adalah demi bengkel itu, bengkel El Cordo dan demi sebuah
penyakit yang lama di deritanya. Abang bukan penyabu. Abang bukan pembuat onar.
Abang hanya tak mau menyisakan sungai diantara kedua kelopak mata Mamak dan
Abah. Abangku sakit dan menderita sekian lama. Dia koma.
“Kau dengar, cepatlah bangun, kau
harus lihat bengkelmu. Aku berusaha meneruskan
karyamu dalam bilangan
ketidaksempurnaan. Apa kau tidak peduli lagi padaku? Setidaknya
saat kau bangun nanti aku akan bisa diajak diskusi tentang motor, bengkel, dan
dunia otomotifmu. Kau harus lihat, bengkelmu dikunjungi tidak kurang dari 250
an kendaraan tiap hari. Maukah kau mengucapkan terima kasih padaku? Kau boleh
iri padaku sekarang . Aku master of
mechanical engineering sekarang. Itu berkat kau, Abang. Kau tahu, Kau
menorehkan satu kesalahan dalam hidupmu. Bukan Aku bintang paling terang dalam
galaksi El Cordo, tapi kau, Abang. Ya, kau.
Aku tergugu dan memeluk Abang dalam tidur
panjangnya.
Ada buliran emas
dari pelupuk matanya. Abang mendengarku. Harapanku mengudara. Dia akan kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar