Hari-hari ini berbeda dari
biasanya. Ada sesuatu yang mulai menggelitik hatiku. Ahh, rasa itu mulai
muncul. Suka? Semenjak melihatnya pertama kali tanpa sengaja, rasa itu
mulai menjalar. Sudah ghadul bhasar kok, tapi masih kurang kali ya?
Setelah rasa itu berhasil ku tepis seiring berjalannya waktu dan terpaut
jarak tiba-tiba sosoknya melintas lagi di sekitarku. Datang kembali di
saat aku merasa sudah siap untuk mengarungi hidup yang baru.
Masih
berada pada satu lokasi walau beda instansi, membuat kami kadang
bertemu meski dalam jarak yang cukup jauh. Ketika aku melihat, dia cepat
mengalihkan pandangannya. Ketika dia memandang, aku segera menunduk.
Apa dia punya rasa yang sama? Astaghfirullah…
Aku
malu pada-Nya. Rasa ini datang sebelum waktunya. Kenapa rasa ini tak
bisa ku usir pergi? Aku hanya manusia biasa. Mungkin sosok yang selama
ini ku cari untuk menemani hidupku ada padanya. Lagi-lagi aku
beristighfar.
“Ma! Mama, ada waktu?” Aku memanggil mama yang hendak membaringkan tubuhnya.
“Ada apa, Ni?” Tanya mama sambil memutar tubuhnya.
“Beberapa
bulan ini perasaan Aini tak menentu, Ma. Ada seorang ikhwan di sekitar
kantor Aini. Ia aktif mengikuti kegiatan di masjid dekat kantor.
Kriteria calon imam yang Aini cari sebagian besar ada padanya. Aini
sudah berusaha menghilangkan rasa ini tapi belum bisa, Ma. Tak mungkin
Aini harus pindah kerja agar tidak melihatnya lagi. Aini berharap bisa
menjadi pendamping hidupnya, Ma.” Titik air mata mulai terasa di sudut
mataku. Kenapa aku jadi melankolis begini?
“Dulu Aini pernah berkata kalau ada masalah seperti itu bisa minta bantuan seseorang untuk menanyakannya?” Tanya mama.
“Ya, dalam Islam boleh seorang perempuan menawarkan diri. Akan tetapi Aini tidak berani, Ma. Aini hanya wanita biasa tidak sebanding dengannya.”
“Tentu setiap orang ingin memiliki pasangan hidup yang baik bahkan lebih baik dari dirinya sendiri.” Sahut mama.
Aini tersenyum seraya berkata, “Ya sudahlah, Ma. Mama istirahat ya! Aini cukup lega bisa berbagi dengan Mama.”
Dingin
malam itu tak menghentikan langkahku untuk menemui-Nya. Aku ingin
kembali curhat dan memohon pada-Nya. Karena hanya Dialah sebaik-baik
penolong dan pelindung.
“Ya, Allah hanya Engkau
tempat aku mengadukan segala keluh kesahku sekaligus memberikan jalan
keluarnya. Aku mohon jika dialah jodoh yang terbaik bagiku dalam hal
agamaku, kehidupan dunia dan akhiratku, membawa kebaikan dalam kehidupan
pribadi dan sosialku, bisa membahagiakan mamaku,
dan aku pun bisa membahagiakannya, maka berilah jalannya, mudahkan dan
segerakan agar kami bisa bertemu dalam ketaatan kepada-Mu. Aamiin!" Air
mata menggenang di pelupuk mataku.
Siang yang
terik ini tidak menyurutkan langkahku untuk menambah wawasan keislaman.
Berhenti dari angkot, terus menyusuri jalan menuju rumah guru ngajiku
yang baru. Syukurlah aku masih ingat. Aku pindah kelompok mulai pekan
lalu. Di rumah itu sudah berkumpul beliau dan akhwat yang lain. Senyum
dan salam menyambut kedatanganku. Acaranya hangat dan menyenangkan.
semua bersemangat diskusi. Ketika teman-teman sudah pamit pulang, Kak
Siti guru ngajiku memanggil.
“Sebentar, Dek!
Kakak mau bicara dengan mu.” Katanya sambil mengajakku kembali duduk.
Lalu beliau mengambil sebuah amplop besar dan meletakkan di hadapanku.
“Dek, ada seorang ikhwan yang ingin mencari teman."
Hatiku sedikit berdebar. “Siapa dia, Kak?
“Bukalah
amplop itu. Kau mungkin pernah melihatnya.” Dengan tangan yang sedikit
gemetar dan perasaan harap cemas aku mengeluarkan sedikit kertas itu.
Terlihatlah foto si ikhwan. Mataku membulat. Lalu menatap kak Siti
seolah-olah ingin minta penjelasan.
“Ya, suami
Kakak satu instansi dengannya. Kami sepakat memperkenalkanmu dengannya.
Rupanya ia telah mengetahui dirimu walau hanya sesosok dari kejauhan
tanpa tahu nama dan latar belakang yang lebih pribadi. Ia pun sudah lama
mau menyampaikan niatnya, hanya saja ia ingin fokus dulu pada kuliah
S2-nya. Alhamdulillah, saat ini ia tinggal menunggu wisuda
saja."
Mataku mulai terasa hangat. inikah buah
harap dan tawakal pada-Mu Ya Rabb? Dua hal yang memang tidak bisa
terpisahkan. Ya, Allah. Indahnya rahasia-Mu…
Kontributor: Widia Aslima (Widia Febriyeni)
Dipublikasikan juga di www.kotasantri.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar