Pada satu dekade
terakhir terjadi demam menerbitkan buku sendiri atau self-publisher di
Indonesia. Banyak penulis yang tergerak menerbitkan karyanya sendiri disebabkan
kekhawatiran naskah mereka ditolak penerbit dan di sisi lain juga karena sudah
berkali-kali ditolak penerbit. Terinspirasi dari para penulis luar negeri yang
sukses menerbitkan karyanya sendiri maka muncullah semangat sel-publishing atau
juga disebut independent publishing.
Seiring dengan itu,
muncul pula lembaga-lembaga jasa penerbitan yang siap membantu para self-publisher
untuk menerbitkan karyanya. Umumnya para self-publisher hanya punya
pengalaman menulis naskah buku, tetapi tidak punya pengalaman dalam pengemasan
naskah buku (tataletak/perwajahan isi, perwajahan kover,dan juga pembuatan
ilustrasi). Self-publisher juga kebanyakan buta dalam soal pemasaran.
Lembaga-lembaga jasa
itu terkadang juga berubah menjadi penerbit yang dalam terminologi penerbitan
sering disebut vanity publisher. Dalam Kamus Istilah Penerbitan dan
Percetakan disebutkan bahwa vanity publisher adalah penerbitan
buku-buku oleh suatu perusahaan (suatu penerbit vanity) yang dibiayai
oleh penulisnya (Manser, 1998: 121).
Apa perbedaannya jika
self publishing juga menuntut pembiayan sendiri dari penulisnya? Vanity
publisher membebankan biaya sebagai fee untuk tataletak/perwajahan
isi buku, editing buku, perwajahan sampul buku, dan tentunya dari pencetakan
buku. Selain itu, vanity publisher membantu pemasaran sehingga seorang
penulis akan mendapatkan royalti plus pembagian keuntungan. Perbedaannya
terletak pada nama penerbit yang menggunakan nama lembaga vanity publisher itu
sendiri serta tentunya kontrol editorial dan pemasaran yang berada di tangan vanity
publisher. Sang penulis hanya menaruh kepercayaan dan menyediakan modal
yang diminta. Akibat negatifnya, kerap vanity publisher melakukan
praktik peniipuan, terutama dalam pencetakan yang tidak sesuai dengan
spesifikasi yang diajukan serta juga kuantitas cetak dan laporan penjualannya
yang tidak jelas.
Adapun self-publisher
disebut demikian jika seorang penulis memang mendirikan sendiri badan
penerbitan dan menggunakan nama yang dipilihnya sendiri. Sang penulis
mengontrol sendiri editorial, seperti editing naskah, penataletakan sesuai
dengan selera atau format yang diinginkannya, bahkan perwajahan kover yang
sesuai dengan keinginannya meskipun pekerjaan itu dilakukan secara alihdaya (outsourcing).
Selanjutnya, pemasaran pun dikontrol langsung oleh sang penulis meskipun ia
menggunakan jasa distributor.
Jadi, seorang penulis
yang memercayakan naskahnya kepada sebuah vanity publisher, lalu
mengeluarkan dana untuk itu tidaklah disebut sebagai self-publisher. Ia
sama saja seperti penulis yang lain; diterbitkan bukunya oleh vanity
publisher dengan membayar sejumlah dana tertentu. Vanity pubsliher alhasil
mengelola juga banyak penulis.
Shum FP yang
melakukan riset tentang self-publishing menyebutkan dalam bukunya Publish
It Yourself: Is Self-publishing The Option for You?
Vanity menyiratkan
bahwa sebuah buku dapat diterbitkan murni untuk memuaskan ego sang penulis,
terlepas dari kualitas karyanya (2003: 30).
Artinya, sang penulis
lebih memilih menggunakan jasa vanity publisher karena sangat ingin
melihat namanya tampil pada hasil cetakan daripada harus berpayah-payah
menawarkan naskahnya kepada penebrit konvensional ataupun melalui self-publishing.
Dalam suatu kasus
diinformasikan bahwa seorang penulis Indonesia berhasil menerbitkan karyanya di
penerbit luar negeri. Setelah ditelisik ternyata karyanya tersebut menggunakan
jasa vanity publisher dengan membayar. Boleh jadi publik dapat terkecoh
bahwa benarlah sang penulis itu mendapatkan kontrak dari penerbit luar negeri,
sementara penerbit di tanah air tidak ada yang berminat dengan naskahnya.
Dosen, widyaiswara,
atau para akademisi yang berkepentingan terhadap angka kredit kenaikan pangkat
sangat sering menggunakan jasa vanity publisher. Dalam hal ini ada
syarat bagi mereka untuk menerbitkan buku yang memiliki nomor ISBN, buku
tersebut juga harus diedarkan di toko buku, dan tentunya ada bukti fisik
minimal 50 eksemplar (lihat batasan ENESCO). Kondisi ini dimanfaatkan
oleh para vanity publisher yang bermaksud ‘menipu’ dengan menguras kocek
para dosen tersebut untuk menerbitkan buku, misalnya membebankan biaya
pengurusan ISBN sampai ratusan ribu rupiah, padahal ISBN sendiri saat ini dapat
diperoleh dengan gratis.
Sumber artikel: Bambang Trim,
Tak Ada Naskah yang Tak ‘Retak’, hlm 32-34, Bandung: Penebit Trim
Komunikata, 2012.
Sumber gambar: www.selfpublishing.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar