Senin, 08 Oktober 2012

Kotoran di Kumis Raja


Raja Merghana adalah seorang penguasa yang sangat kuat. Wilayah kekuasaannya membentang luas mencakup gurun, hutan, gunung, ngarai, lembah dan pulau-pulau di seberang lautan. Raja yang memelihara kumis lebat hingga menjuntai hampir sedagu ini memerintah secara kejam. Tak seorang pun yang berani menentang kewibawaannya. Semua tunduk pada perintahnya dan tak  ada yang coba membantah.

Suatu ketika, Raja Merghana marah-marah karena mencium bau yang tak sedap. “Hai pelayan!” bentaknya. “Bangkai apa gerangan yang mengotori istanaku ini? Cari! Ayo cepat cari dan buang!” perintahnya.

Dan sekonyong-konyong, para pelayan mencari bangkai seperti yang diperintahkan. Namun, hingga setengah hari dan mereka kelelahan, bangkai berbau busuk seperti yang dikatakan raja tak pernah mereka temukan. Mereka mencarinya bahkan hingga ke kolong tahta raja. Tapi tetap nihil hasilnya.

“Ampun Raja,” kata kepala pelayan. “Kami tak menemukan bangkai busuk itu. Namun, sepertinya sejak tadi kami semua tak pernah mencium bau busuk itu.”

“Apa?!” potong Raja. “Kalian bilang tak ada bangkai busuk di sini? Apakah dengan begitu kalian ingin mengatakan ada yang salah dengan hidungku? Tidak! Tidak! Bangkai tersebut masih di sini. Ku masih menciumnya. Ayo cari kembali dan temukan! Jika kalian tak menemukannya, lihat saja apa yang akan aku lakukan terhadap kalian!” Raja mengancam.

Para pelayan saling pandang. Mereka heran karena masing-masing tak pernah mencium bau busuk seperti yang dikatakan raja. Tapi apalah daya mereka. Mereka hanyalah pelayan yang mesti menuruti keinginan dan perintah raja.

Kian hari sang raja kian marah karena bau busuk tersebut. Jika beberapa hari lalu yang dia curigai berbau busuk hanyalah sekitar ruang utama, balai pertemuan, kini hampir semua sudut istana dikatakannya berbau busuk. Dan, raja menyakini pasti ada bangkai di sana. Walau entah di mana. Tentu saja, hal ini semakin membuat para pelayan sibuk dan kesal karena sekali lagi, mereka tak pernah mencium bau busuk seperti yang dikatakan raja.

Sang Raja bahkan meminta para pelayan untuk mendatangkan bergalon-galon minyak wangi dan parfum. Lalu, memerintahkan para pelayan itu menyiramkannya di seluruh ruangan istana. Berhasilkah? Hilangkah bau busuk tersebut menurut raja? Ternyata tidak sama sekali!

“Sial!” umpat raja. “Sudah aku siramkan bergalon-galon minyak wangi dan parfum. Tapi mengapa bau busuk tersebut masih saja tak mau pergi? Padahal, sebentar lagi akan ada hajatan besar di istana ini, memperingati berdirinya kerajaan ini. Apa kata para tamu terhormat nanti kalau mereka mencium bau busuk di istana ini? Mau aku taruh mana mukaku?” raja mulai gundah.

Hari “H” hajatan besar kerajaan pun tiba. Dan seperti tradisi yang ada. Raja akan memotong habis kumisnya yang tebal dan menjuntai itu. Dalam sekejap, raja merasakan bahwa bau busuk yang dia cium dan curigai sebagai bangkai yang mengotori istananya seketika lenyap.

“Hmmm…aku mengerti kini. Ternyata bau busuk tersebut berasal dari kotoran yang menempel di kumisku ini. Ha…ha…ha…!” raja tertawa sendiri. Tertawa terbahak-bahak menyadari ketololannya. “Ah, kalau kutahu sesederhana ini jalan keluarnya. Mestinya aku tak perlu menghabiskan bergalon-galon minyak wangi dan parfum yang boleh jadi nanti justru membuat para tamuku pusing tujuh keliling mencium keharuman luar biasa, keharuman yang sangat menusuk hidung seperti ini.”

Begitulah, raja yang berkuasa namun tolol tersebut lepas dari masalah pertama tapi menghadapi masalah kedua: wangi yang terlalu menyengat itu.

***
Pesan Moral
Kita sebagai manusia seringkali hanya pandai menyalahkan orang lain, mencari kambing hitam. Dan, tak mau melihat kekurangan diri sendiri. Parahnya lagi, tak mau menerima kritik. Menganggap diri yang paling benar. Padahal, terhadap semua hal buruk yang menimpa kita, boleh jadi itu adalah karena kesalahan diri kita sendiri. Oleh karena itu, sebelum menyalahkan orang lain, marilah kita lihat diri kita terlebih dulu. Mari berintropeksi!

*)  Trianita Haririn : Lamongan, Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar