tak menemukan bangku panjang.*
Hujan di mata, Juwita. Tidak sepadan dengan hujan
yang turun dari langit, yang mengalir,
membasahi pucuk-pucuk rerumputan, dan membasahi tanah-tanah kampung Tipuak.
Maka, jangan pernah kita mencegahnya. Biarkan ia terus terisak. Terisak sampai
tenar pekat menghitam benar-benar tiada. Hingga tidak tampak padanya. Juwita,
begitu perempuan itu kukenal, Sri Juwita Hafsari begitu lengkapnya. Kini ia
termangu, menyaksikan mendung yang
sebentar lagi akan menyerap asap zaman. Sedang embun mengkristalkan rembulan.
Yang ia tahu, hujan itulah yang telah berlalu
sering menyapa harinya. Seperti yang telah ia lalui bersama seorang lelaki yang
hingga kini masih di hatinya. Ia ingat, kala ia bersijingkat, menari di bawah
isak hujan itu. Hujan yang kata orang akan menyerap, mengahapus segala pada
mendung.
Dan hujan itu juga yang membawanya berjalan di atas
kenangan. Kenangan masa lalu. Kenangan yang tidak mungkin lenyap darinya. Di
mana hujan terisak, menderas membasahi rerumputan, mengaliri alur persawahan,
dan bercak tanah yang kian basah. Ia bersama lelakinya yang membawanya ke
keadaan seperti sekarang ini. Lelaki yang katanya telah menanam bibit cinta,
dan menyemai kasih sayang di hatinya. Lelaki yang telah membuatnya takut untuk
mengenal dan berkenalan dengan lelaki lain.
Lelaki itu awalnya hanya sebatas cinta monyet,
namun lama setelah itu, lelaki itu
adalah cinta utuhnya. Ia begitu mencintai lelaki itu hingga kini. Hingga
akhirnya ia tetap sendiri. Tidak seorang lelaki pun yang mendekap di
dekapannya, di pangkuannya. Ia tidak bersuami.
“Awalnya, dia hanya cinta monyetku, namun kini
dialah cinta sejatiku,” ucapnya seraya mendongakkan kepala ke langit-langit
kamarnya. Mulai saat itulah ia tidak ingin lagi memiliki cinta yang lain, dan
memutuskan hanya akan menaruh harapan, dan berharap kepada yang telah menyepat
asa, menyemai cinta di hatinya. Cinta seorang lelaki yang dulu telah berikrar
setia.
“Aku akan mencintaimu sepenuh usiaku,” ia mengulang
kata-kata yang diikrarkan lelakinya beberapa saat lalu. Namun kini nama
lelakinya itu tidak terdengar lagi, hingga cintanya pun lusuh. Dan ia terlarut
dalam kekecewaan.
“Perawan tua…,” begitu orang-orang, para tetangga
dan seluruh sejawatnya menyebutnya. Perempuan yang bernama Juwita itu, Sri
Juwita Hafsari begitu lengkapnya.
Hujan itu terus terisak masih sama seperti
hujan-hujan yang lalu, seperti hujan yang telah membawanya dan lelakinya itu
berikrar setia.
“Aku akan selalu mencintaimu, Juwita.”
“Aku pun begitu…,” balasnya kepada lelakinya ketika
hujan itu. Lebat sekali isak hujan itu. Dia dan lelakinya itu berjanji akan
mengekalkan diri mereka seutuhnya. Abadi selamanya. Dalam deras isak hujan yang
senantiasa mendesaukan dingin angin ia bersijingkat, menari bahagia. Begitupun
seorang lelaki yang telah menanam cinta, menyemai kasih, dan menebar sayang
kepadanya. Bujang Zakaria, begitu nama lelakinya itu. Seperti itulah ceritanya
kepada sejawatnya beberapa waktu lalu yang tidak aku tahu hari apa saat itu. Ia
juga pernah bercerita pada istriku. Ketika itu istriku masih belum milikku.
Istriku masih duduk di bangku SMP begitu maksudku, dan seperti itulah yang kudengar
dari Ela, istriku yang tidak lain adalah keponakannya sendiri. Juwita, perawan
tua yang kini telah menjadi bibiku secara otomatis, sebab aku telah menikahi
keponakannya, Ela Munawwaroh.
Dan hujan serupa itu pula yang telah membuatnya dan
lelakinya itu berjarak. Membuat rentang dan waktu antara ia dengan lelaki yang
sangat ia cintai itu. Bahkan hingga kini, Juwita dan Bujang Zakaria, lelakinya
itu masih terpisah. Mulai hujan hari itulah mereka terpisah, mereka tidak lagi
bersama. Terasa sesak di dada mereka, lebih-lebih Juwita. Sebab Bujang Zakaria
akan merantau.
“Aku mau mancari nafkah untukmu, untuk anak-anak
kita,” ucap Bujang Zakaria pada Juwita tempo hari, di mana hujan masih
menggaris langit dengan ritmis reruntuhan air. Namun Juwita hanya diam, ia
manut saja atas apa yang lelakinya itu ucapkan.
“Aku akan merinduimu selalu, seperti halnya ombak
dengan pantai. Serupa kupu-kupu dengan bunga-bunga. Aku akan selalu merinduimu,
Juwita, cintaku…,” ucap Bujang Zakaria
di deras isak hujan terakhir mereka bersama, berdua. Hujan yang demikian tega
memisahkannya serta lelakinya, cintanya itu, Bujang Zakaria.
“Cintaku…,” desahnya histeris. Bersamaan dengan itu
hujan semakin menderas saja.
~*~
Kemudian pada hujan-hujan yang lain, hujan-hujan
yang senantiasa kembali memaksanya untuk berjalan di atas kenangan-kenangan
yang begitu melankolis, indah nan erotis. Tentu kenangannya bersama lelakinya
ketika sedang bercumbu mesra di bawah temaram lampu neon yang menghias ruas
jalan, seperti itu pula di bawah deras isak tangis hujan yang padanya angin
terus mendesau dingin.
Dan setiap harinya, Juwita, perempuan yang
kekasihnya tak sedang di sisinya itu menunggu, menanti kehadiran lelakinya yang
tercinta, Bujang Zakaria. Ia begitu lelah tak menemukan celah. Ia merasa
seperti menyusuri lingkaran tak menemukan bangku panjang dan mendesah pada
angin yang selalu menyiratkan dingin dan juga hujan yang terus terisak deras.
“Sayangku yang jauh, entah berapa kali kukelilingi taman kota ini; telah
tergolek di atas rumput, sobekan-sobekan kertas, embun, pecahan botol telah
bermantel sinar bintang-bintang dan angin yang panjang nafasnya, aku tak pernah
tidur menunggumu. Si tua yang suka lewat sambil meludah dan menanyakan waktu
itu, selalu mengatakan kau tak pernah mengingkari janjimu, tapi anjing kampung
yang matanya selalu mengantuk itu tak pernah menyahut siulanku!”** tersadar Juwita berucap
sambil mengingat penggalan puisi yang ia dapat ketika masih duduk di bangku SMP
dulu. Namun, ia sudah lupa siapa penulis puisi itu. Ia demikian rindu
kekasihnya itu, Bujang Zakaria. Rindu sekali.
~*~
Pada hujan yang terus terisak, serta hembus angin
yang mengantarkan dingin ke setiap epidermis-epidermis kulit, juga pada temaram
lampu jalanan, Juwita terus menanti kehadiran kekasihnya itu, Bujang Zakaria.
Ia berharap sesosok lelaki yang namanya telah terpahat di hatinya itu datang,
menembus hujan yang semakin menderas
itu, dan hanyut bersama angin yang berhembus. Angin yang biasa menyapanya, kala
asyik memerhatikan deras isak hujan, seperti yang terjadi hari itu. Namun
sayang, hujan serupa hari itu telah sering berlalu. Dan tidak pernah menyisakan
apa pun. Kecuali hanya sekedar membeceki tanah perinjakan, lalu meredamkan asap zaman. Begitu kata
orang-orang. Tidak ada sesosok lelaki pun yang berlalu padanya. Tidak.
“Ke mana kau, kekasihku…,” tanyanya sendiri sambil
meringkuk di bibir ranjang kamarnya.
Telah sekian lama ia menunggu. Ia tidak tahu di
mana keberadaan lelakinya itu, Bujang Zakaria. Tidak. Yang terpenting baginya
adalah menepati janjinya. Ya, ia hanya akan menunggu, menunggu, dan begitulah
seterusnya, hingga matanya pun sayu. Ai, hujan di matanya, tidak sepadan dengan
hujan yang turun dari langit. Hujan yang menderas, mengalir membasahi tubuh
kampung Tipuak dan hujan yang terus berkejaran di setiap kerling matanya,
Juwita.
~*~
Hingga hari
ini, ia masih sendiri. Ia tidak bersuami, begitu maksudku. Bahkan mata bulatnya
kini telah menyiratkan sunyi tidak bertepi dan tentu sepi tanpa kekasih hati.
Hujan serupa biasa, seperti hari-hari yang lalu kembali terisak menderas. Dan
Juwita pun tetap seperti hari-hari itu pula, ia tetap memerhati isakan itu.
Sebuah isakan yang begitu deras. Dan tentu, di sana ia berharap sama seperti yang
ia harapkan pada hujan-hujan yang lalu, ia berharap lelaki yang begitu ia
cintai itu datang meski harus membelah deras hujan itu.
“Hujan bulan Juli itu adalah hujan penutup tahun,”
begitu ucapnya pada Ela, istriku.
“Hujan seperti hari inilah aku ditinggalnya,
katanya ia pergi demi menggapai nun untuk masa depannya denganku, tapi
entahlah…,” ceritanya singkat seperti menyesali kepergian lelakinya pada hujan
awal perpisahan mereka beberapa bulan yang lalu. Dua belas bulan, genap sudah
setahun.
“Nak. Hujan ini adalah hujan kenangan bagikku,”
tambahnya singkat.
Hari itu pula, datang sepucuk surat yang tampak
begitu lusuh menyiratkan bahwa surat itu telah lama di genggaman tangan, atau
mungkin, memang sudah lama surat itu
ditulis, sebelum akhirnya dikirimkan kepadanya, Juwita. Bahkan amplop putih
polos yang bertuliskan nama terang si pengirimnya serta alamatnya di salah satu
pojok amplop itu, sudah mulai rapuh di setiap sudutnya.
Dari ku;
Bujang Zakaria
Padangsidempuan
Ai, sayang, alamat yang tertulis di surat itu tidak
banyak yang dapat ia pahami. Sampai akhirnya ia hanya mampu mengelus dada,
melepas nafas panjang. Namun sedikit banyak, ia pun merasa tenang. Betapa
tidak, bagaimanapun melalui sepucuk surat itu, ia akan mendapat kabar dari
lelakinya yang tak lain kekasihnya itu. Inilah isi sepucuk surat itu. Tersengal
nafasnya, seirama dengan desau angin. Tubuhnya pun mulai gemetar dan matanya
berbinar berkaca-kaca. Sambil terengah-engah dan gemetar yang terus saja
menggrogoti tubuhnya itu ia memberanikan diri untuk segera membuka sepucuk surat itu. Ia menarik nafas
panjang sebelum akhirnya, ia mengetahui ihwal keadaan lelakinya, Bujang
Zakaria.
Kepada:
Sri Juwita Hafsari
(Tentang cinta lama kita,)
Maaf sebelumnya, bila aku baru sempat menyapamu dan mengabarimu,
perempuanku. Perlu kau tahu, matahari masih tetap terbit dari timur, hingga
akhirnya pun terbenam di barat, dan angin akan terus mendesau dingin tentu orang-orang akan selalu saling membutuhkan,
sebab mereka hanya ciptaan. Ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa atas segala ada.
Juwita. Singkat kata, aku ingin mengabarkan kepadamu tentang ihwal
diriku. sebelumnya, sekian lama aku
pergi menghilang. Aku masih ingat benar, ketika itu hujan mengisak deras. Hari
itu Juli 2015. Selain itu aku dan kau juga telah berikrar setia. Dan aku juga
masih ingat semua itu. Ya, kita berjanji untuk saling setia. Kau akan menantiku,
begitupun denganku, aku akan datang pada penantianmu itu sesegera mungkin. Setelah nun yang kumaksud
itu berhasil kuraih. Begitulah ceritanya.
Namun sayang, Juwita. Hujan kali ini, hujan yang masih setia mendesaukan
dingin angin itu, yang padanya rintik-rintik yang selalu menyiratkan nyanyian
kerinduan. Hujan penutup tahun, ucapmu. Hujan ini adalah hujan terakhirku
bertutur sapa denganmu. Pada hujan ini, hujan yang serupa kala itu, aku tidak
lagi sendiri. Aku sudah beristri, Juwita. Ya, sudah ada yang memilikiku, dan
kini, aku bukan lagi untuk kau tunggu, bukan pula untuk kau harapkan lagi.
Juwita. Aku tidak akan pernah datang
lagi pada hujan yang serupa apa pun. Datang kepadamu, walau sekedar memberi
warna pada wajahku, tidak.
Kembali aku jelaskan padamu, walaupun hujan terus mengisak deras dan
angin selalu mendesau dingin yang membawa seribu salam kerinduan rerumputan.
Aku telah beristri, Juwita. Selanjutnya, tentang sebuah kejelasan perihal
keadaanku, kurasa biarlah waktu saja yang menjawab, lantas menjelaskan
semuanya. Bersabarlah Juwita, cinta kecilku. Dan akhirnya, maafkan aku, bila
pada akhirnya aku yang membuatmu tidak ingin mengenal lelaki lain lagi selain
diriku. Atau bahkan membuatmu tidak ingin lagi
mencintai ataupun dicintai. Ya, tentu semua itu sebab diriku.
Kau yang kusayangi, Juwita. Berbahagialah!
Dariku:
Bujang
Zakaria
Setelah berlalu surat lusuh dari kekasihnya itu ia
baca. Dengan mata berkaca-kaca dan akhirnya menitikkan kristal-kristal bening,
lembut bak mutiara, lambang ketulusan kefeminimannya di setiap relung-relung
pipinya. Juwita menangis. Tubuhnya gemetar, nafasnya tersengal tidak beraturan.
Datangnya sepucuk surat itu adalah tanda
kesempurnaan deritanya. Dan dengan itu pula, ia resmi sendiri, tidak memiliki
cinta lagi, sebab cinta yang sekian lama ia nantikan itu telah sirna. Bersamaan
dengan itu seikat harapan sucinya itu pun terbakar. Terbakar air mata dan
hingga akhirnya ia kecewa.
~*~
Hujan hari ini adalah hujan setelah kedatangan
sepucuk surat lelakinya itu. Surat cintanya yang tidak lagi miliknya itu,
Bujang Zakaria. Pandangannya kosong,
Juwita memerhati hujan yang mengisak deras di luar sana. Di sana ia temukan ada
api yang membakar tubuhnya, serta cintanya di tengah deras hujan itu. Api itu
juga yang membakar hujan. Begitu keadaan Juwita. Juwita, perempuan hujan,
begitu sebagian sejawatnya menyebutnya.
“Perempuan hujan telah terbakar, kasihan dia…,”
cetus salah seorang sejawatnya. Juwita
Terbakar, semuanya hangus, habis terbakar dan api itu terus berkobar. Kini
Juwita selalu menghabiskan harinya di kamarnya. Menghabisakan hari-hari yang
terus meyesakkan dadanya, hari-hari sisa penantian kekasihnya. Di kamar itu ia
sendiri meratap dalam sepi, sebab hati demikian tersakiti. Terhianati.
Ia pun memutuskan untuk tidak akan mencintai atau
pun dicintai lagi. Ia hanya ingin sendiri, bahkan hingga akhirnya mati menyapa
diri. Begitulah cerita Ela Munawwaroh, istriku yang tak lain adalah satu-satu
keponakannya yang teramat ia sayangi, ketika kami asik menyaksikan senja yang
berebahan di barat rumah kami pada suatu sore. Ya, isrtiku-lah tempat curahan
hatinya.
Pagi ini, di luar sana, hujan kembali mengisak
menderas dan angin pun semakin liar mendesau, melambaikan reranting pepohonan,
menari memecah gundahnya.
“Juwita. Juwita…,” desahku. Matanya berbinar-binar,
dan nafasnya pun terus mendesah. Ia tampak resah. Ai, Juwita… begitu berlalunya
kah kau, Juwita? yang ia tahu, ia telah sendiri. Kekasih tercintanya, Bujang
Zakaria telah pergi sebab menemukan cinta yang lain. Bujang Zakaria telah
beristri. Sedang Juwita masih saja sendiri, ia tidak bersuami. Sendiri. Ia
tidak akan pernah kembali menanti seorang lelaki lagi. Ia tidak ingin
mencintai, tidak ingin dicintai. Juwita. Ia akan sendiri, menyendiri pada ruang
sunyi hari-hari. Kemudian, pada tembok-tembok bisu, membatu kamarnya-lah ia
mendesahkan harinya yang berkisah tentang masa lalunya. Masa lalu yang telah
menggores luka di hatinya. Luka yang mendalam. Pedih. Cerita
hidup-kehidupannya, cintanya.
(Namun sayang, Juwita. Hujan kali ini, hujan yang masih setia
mendesaukan dingin angin, yang padanya rintik-rintik yang selalu menyiratkan
nyanyian kerinduan. Hujan penutup tahun, ucapmu. Hujan ini adalah hujan
terakhirku bertutur sapa denganmu, Juwita. Pada hujan ini, hujan yang serupa kala
itu, aku tidak lagi sendiri. Aku sudah beristri, Juwita. Ya, sudah ada yang
memilikiku, dan kini, aku bukan lagi untuk kau tunggu, bukan pula untuk kau
harapkan lagi. Juwita. Aku tidak akan pernah datang lagi pada hujan yang serupa
apa pun. Datang kepadamu, walau sekedar memberi warna pada wajahku, tidak).
Tersengal nafasnya, kala kembali penggalan surat
lelakinya itu terngiang di hatinya. Tersengal nafasnya, mendesah. Ia mendesah.
Kemudian, selaksa bening di matanya kembali terpecah, ia menangis lagi.
Menangisi cintanya.
“Juwita… Juwita….”
Ia tetap sendiri, terbakar hingga ia kecewa. Pedih
hatinya. Ia dan cintanya telah terbakar hangus.
“Juwita, Juwita… berlalunya kau,” cetusku pada
diriku sendiri.
(Begitulah tuan-tuan kisah Juwita, Si perempuan hujan. Sepenggal kisah
dari pulau lada, Kampung Tipuak. Tuan-tuan akan melepas nafas panjang bila
tuan-tuan menyaksikan Juwita serta desah nafasnya. Kisah cinta yang terbakar di
tiap-tiap hujan mengisak. Ya, perempuan hujan, Sri Juwita Hafsari).
* Penggalan puisi Sapardi Djoko Damono, Lirik Untuk Improvisasi Jazz.
** Penggalan puisi Sapardi Djoko Damono, Lirik Untuk Improvisasi Jazz.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar