Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku
tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih
bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.”
(Imam Syafi’i)
Nama lengkap Ahmad bin
Hanbal adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin
Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin
Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab
beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang
berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim. Beliau merupakan salah satu
pelopor Mazhab Hanbali dan Imam Besar Hadits. Karya beliau yang paling
monumental adalah Kitab al-Musnad, yang merupakan salah satu kitab dari sembilan
kitab hadits (kutubut tis’ah) dari
beberapa kitab hadis yang sudah terpercaya keshahihannya. Kitab ini berisi
sekitar 40.000 hadits Nabi saw.
Ahmad bin Hanbal lahir pada
bulan Rabi‘ul Awwal tahun 164 H, di Baghdad. Ayah beliau, Muhammad, meninggal
dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau,
Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa
pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani
‘Abbasiyah dan karenanya ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah.
Imam Ahmad tumbuh
dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti
‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan
beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota
Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka
sewakan dengan harga yang sangat murah.
Setamatnya menghafal
Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14
tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Perhatian beliau saat itu
memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari para perawinya.
Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits
adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad mulai
menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada di
kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun
186. Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir
bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan
oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus
ribu hadits lebih.
Pada tahun 186, beliau
mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz,
Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan
mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana
adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah ilmu darinya.
Selain Imam Syafi’I, Ahmad
ibn hambal berguru kepada banyak ulama, dan jumlahnya lebih dari dua ratus
delapan puluh guru yang tersebar di berbagai negeri, seperti Mekkah, Kufah,
Bashrah, Baghdad, Yaman, dan berbagai negeri lainnya. Di antara guru-guru
beliau adalah: Ismail bin Ja’afar, Abbad bin Abbad al-Ataky, Umari bin Abdillah
bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar al-Sulami, Waki’ bin Jarrah,
Ismail bin Ulayyah, Sufyan bin ‘Uyainah, Abdurrazaq, Ibrahim bin Ma’qil, dan lain-lainnya.
Karena ketinggian ilmunya,
banyak ulama-ulama besar yang menjadi murid beliau, terutama dalam bidang
hadits, seperti Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’I, dan At-Tirmidzi,
serta masih banyak lagi.
Pada masa hidupnya, timbul
fitnah yang dilakukan oleh para pengikut Jahmiyah. Pada masa pemerintahan Bani
Abbasiyah, dengan jelas tampak kecondongan khalifah yang berkuasa menjadikan
unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai kekuatan penunjang kekuasaan mereka.
Khalifah al-Makmun menjadikan orang-orang Persia sebagai kekuatan pendukungnya,
sedangkan al-Mu‘tashim memilih orang-orang Turki. Akibatnya, justru sedikit
demi sedikit kelemahan menggerogoti kekuasaan mereka. Pada masa itu dimulai
penerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari Yunani, Rumania,
Persia, dan India dengan sokongan dana dari penguasa. Akibatnya, dengan cepat
berbagai bentuk bid‘ah merasuk menyebar ke dalam akidah dan ibadah kaum
muslimin. Berbagai macam kelompok yang sesat menyebar di tengah-tengah mereka,
seperti Qadhariyah, Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah, Mu‘tazilah, dan lain-lain.
Kelompok Mu‘tazilah,
secara khusus, mendapat sokongan dari penguasa, terutama dari Khalifah
al-Makmun. Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu mempengaruhi
al-Makmun untuk membenarkan dan menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di
antaranya pendapat yang mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam
(berbicara). Berangkat dari pengingkaran itulah, pada tahun 212, Khalifah
al-Makmun kemudian memaksa kaum muslimin, khususnya ulama mereka, untuk
meyakini kemakhlukan Alquran.
Sebenarnya Harun
ar-Rasyid, khalifah sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat tentang
kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani
menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku
pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa
Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Merupakan kewajibanku,
jika Allah menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia
dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun.’” Tatkala
Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin, kelompok
Mu‘tazilah berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin
menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun,
mereka mampu melakukannya.
Untuk memaksa kaum
muslimin menerima pendapat kemakhlukan Alquran, al-Makmun sampai mengadakan
ujian kepada mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung orang yang
telah dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah
menyibukkan pemerintah dan warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia telah
menjadi bahan pembicaraan mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa di
negeri Irak dan selainnya. Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan
ulama tentang hal itu. Tidak terhitung dari mereka yang menolak pendapat
kemakhlukan Alquran, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten
memegang pendapat yang hak, bahwa Alquran itu kalamullah, bukan
makhluk.
Al-Makmun bahkan sempat
memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke
hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke Thursus
dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum
sampai ke Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara
di sana karena telah sampai kabar tentang kematian al-Makmun (tahun 218).
Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.
Sepeninggal al-Makmun,
kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah mendapat
wasiat dari al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan menguji
orang-orang dalam hal tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad
dikeluarkannya dari penjara lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan
konco-konconya. Mereka mendebat beliau tentang kemakhlukan Alquran, tetapi
beliau mampu membantahnya dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah. Akhirnya
beliau dicambuk sampai tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke dalam
penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan menurut
yang lain-. Selama itu beliau shalat dan tidur dalam keadaan kaki terbelenggu.
Selama itu pula, setiap
harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat beliau, tetapi jawaban
beliau tetap sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan al-Mu‘tashim
kepada beliau. Dia mengancam dan memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya
mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua itu, diterima
Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang menjulang
dengan kokohnya.
Pada akhirnya, beliau
dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu
berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali
menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai al-Mu‘tashim wafat.
Selanjutnya, al-Watsiq
diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya, al-Mu‘tashim,
al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya. Dia pun masih
menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Akibatnya, penduduk
Bagdad merasakan cobaan yang kian keras. Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar
berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya,
tidak keluar darinya bahkan untuk keluar mengajar atau menghadiri shalat
jamaah. Dan itu dijalaninya selama kurang lebih lima tahun, yaitu sampai
al-Watsiq meninggal tahun 232.
Sesudah al-Watsiq
wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua tahun masa
pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan.
Kemudian pada tahun 234, dia menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke
seluruh wilayah kerajaannya larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Alquran
dan ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga
memerintahkan kepada para ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang
sifat-sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang pun bergembira pun dengan adanya
pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan melupakan
kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan namanya
disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar bin Abdul
Aziz.
Menjelang wafatnya,
beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun
berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu
rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu.
Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241, beliau
menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan kepadanya.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar