Dan angin-pun masih tetap berhembus kencang. Menarikan reranting
pohon-pepohonan Kelang. Dan beriak air Tumbec[1]
Amang, masih saja mengerang, bersama masa silam yang hilang. Aku dan Elang. Aku
baru saja pulang. Kembali ke kampung setelah dua belas tahun aku menghilang.
Merantau, demi nun jauh di sana. Aku pergi tidak seorang. Elang, kawan karibku
di kampung Seberang, juga ikut aku menghilang. Merantau ke negeri orang. Aku
dan Elang. Merantau demi tujuan hidup yang terang. Serupa kerdipan cahaya
bintang-gemintang. Bagai deburan ombak yang tak pernah hilang. Aku dan Elang
melayang. Bermimpi jadi orang paling tersohor di tanah seberang.
"Tuan Hasan. Tuan Elang.” Demikian masyakat seberang memangilku,
juga Elang dengan panggilan sopan. Sungguh amat terpandang. Impian besarku dan
Elang.
Kini aku telah pulang, seperti yang aku harapkan. Aku telah merengkuh
segalanya. Mendapatkan apa-apa yang aku harapkan tempo dulu. Di saat aku dan
Elang, kawan karibku, mulai menghilang. Merantau ke negeri orang. Aku pulang
tidak lagi lajang. Aku bukan Bujang, melainkan akan menjadi bapak orang. Aku
telah beristri. Menikah dengan gadis melayu Riau, Rahwana namanya. Ia putri
sulung Pak Zarkasi, juragan kelapa sawit yang buru-buru jadi orang kaya.
Pengusaha sukses di Pekanbaru Riau. Setelah kelapa sawitnya panen tidak seperti
lazimnya. Kelapa sawit Pak Zarkasyi, berbuah tiga kali lipat lazimnya. Wah…
mujur sekali. Aneh memang, tapi inilah kenyataannya. Berkat kelapa sawitnya-lah
aku dan Elang juga ikut tersohor. Sukses. Dari seorang mandor kelapa sawit
rendahan, aku diangkat menjadi Direktur utama perkebunan kelapa sawit, Pak
Zarkasyi. Menggantikan beliau, karena ia sudah larut usia. Pensiun. Sedang
Elang diangkat sebagai wakilku. Bersamaan dengan itu, aku pun dinikahkan dengan
Rahwana, si putri sulungnya.
Kini Rahwana istriku, telah mengandung anak pertama kami. Delapan bulan
kiranya. Aku sebenarnya, belum ingin pulang, namun Rahwana-lah yang mengajakku
pulang ke kampung halamanku. Kampung Seberang.
“Mas. Aku mau merasakan hembusan angin Seberang,” cetus istriku. Aku dan
Rahwana, istriku juga anakku pulang setelah berizin kepada Bapak Ibu mertuaku.
Pak Zarkasyi dan Ibu Aminah. Mertuaku, Bapak Ibu Rahwana telah sempat titip
pesan juga salam pada cucu pertamanya, anak kami. Aku dengan istriku Rahwana.
Malah Ibu mertuaku, Ibu Aminah telah memberi nama untuk cucunya itu, anak
pertama kami yang masih tinggal dalam kandungan Ibunya, istriku Rahwana.
“Bujang-miyak, jikalau nanti anakmu laki-laki, namai ia Sholeh, biar ia
jadi anak yang baik, sholeh, taat kepada orang tua. Taqwa kepada sang
pencipta.” Ibu berpesan kepadaku serta Rahwana istriku.
“Kalau lahir anakmu perempuan, maka namailah ia Sholehah. Agar ia jadi
anak yang sholehah, patuh pada Ibu Bapaknya, pada suaminya, pada Rasulnya,
tentu pada Tuhan sang penciptanya.” Aku, istriku Rahwana hanya manggut-manggut
takdzim penuh hormat.
Hari ini, aku serta Istriku Rahwana telah datang dan mulai menghirup
udara segar alam kampung Seberang. Kampung kelahiranku. Kampung yang telah
kutinggali, sekian lama. Sedua belas tahun tepatnya. Aku masih ingat saat itu,
saat di mana aku dan Elang, mulai menghilang. Merantau jauh ke negeri orang.
Aku masih remaja. Aku memang masih sangat remaja. Saat itu, aku masih berumur
lima belas tahun. Usia yang belia untuk sebuah perantauan. Perantauan, demi
mencapai nun yang jauh di sana. Aku serta istriku yang mengandung tua, tinggal
bersama sedua orang tuaku yang mulai menua. Kerut di wajahnya mulai nampak dan
makin mengendur saja.
Pagi ini aku berdiri, menumpukan sedua kakiku, di halaman belakang
samping rumah. Mataku tertuju pada bukit yang menjulang sempurna tepat di
belakang rumah keluargaku. Bukit ini tetap terjaga. Bukit Tigris. Bukit yang
dulu telah menjadi kenangan masa kekanak-kanakku. Tidak ada yang berani
menjamahnya. Menebang pohon-pepohonannya. Menyulapnya menjadi sebidang kebun
lada, atau mungkin ditanami nanas, juga keladi hitam[2],
yang sekarang begitu laris di pasar malam.
Di sini, di bukit ini, bukit Tigris. Aku dan Elang, kawan karibku sedari
kecil. Bermain menghabiskan hari sampai mentari tak lagi menyinari kami, dengan
sinarnya yang pasti. Malam berganti. Aku dan Elang pun kembali. Ceritaku pada
istriku, Rahwana. Jikalau malam datang menyapa, dengan penuh kesunyian. Bukit
itu hitam pekat. Bagai seonggak batu besar di tengah lautan. Bukit itu, Bukit
Tigris selalu saja menampakkan keseraman. Menegangkan. Merinding bagi yang
menyaksikannya. Konon, penduduk desa Seberang, desa yang kita tempati ini,
sering melihat segerombolan burung-burung besar, terbang setinggi rabung rumah. Seraya segerombolan burung-burung aneh
itu menyanyikan nyanyian aneh tak bernada. Suaranya membisingkan.
“Kuaaak… kuaaak.”
“Kuaaak… kuaaak.”
Bising sekali. Memekikkan segala pendengaran. Dan tak jarang telinga
anak-anak kecil yang mendengarnya, mengeluarkan darah segar. Orang-orang
kampung menyebutnya, burung Kuwek. Begitu juga ungkap Kakekku tempo dulu, di
kala aku dan Elang masih kanak-kekanakan. Telingaku pun pernah mengaliri
sealiran darah segar, di kala nyanyian burung itu, Burung Kuwek terdengar oleh
pendengaranku. Begitu juga Elang, kawan karibku sedari kecil itu, telinganya
pun pernah berdarah bahkan sampai ia pingsan.
“Kuaaak…."
“Kuaaak… kuaaak.” Mengerikan. Dasar burung sialan. Jelasku pada istriku
Rahwana, yang meringkuh di pelukku.
***
Adzan isya pun terdengar berkumandang indah. Indah sekali. Sudah lama
tak kudengar lantunan adzan seindah malam ini.
“Siape nya adzan, Bah?”[3] tanyaku pada Abah yang seketika itu sedang menyerumput segelas teh
pahit, seduhan menantunya yang baru saja datang kemarin siang. Istriku Rahwana.
“Amir.”
"Amir, anak laki a ngah ros
duluk, ok.” [4]
“Aok. Nya-pon bare pulang. Bare
lulus sekolah de Madura.”[5] Jelas Abah .
Adzan selesai dikumandangkan. Aku dan Rahwana, istriku, Emak serta Abah
langsung melaksanakan shalat isya berjamaah. Aku yang bertindak sebagai
imamnya, sedang Abah, Emak serta Rahwana, istriku sebagai makmumnya. Shalat
usai, aku pun menyalami, menjabat tangan Abah, Emak dengan penuh takdzim.
Begitu pun Rahwana, istriku penuh takdzim ia menjabat tangan Abah serta Emak,
seraya menciumnya manis.
***
Jam menunjukkan pukul 20. 30 WIB. Di ruang tamu, aku, Abah, serta
Rahwana, istriku saling bertukar cerita. Sedang Emak sudah terlelap tidur.
Setelah kelelahan bekerja seharian. Maklum sudah tua. Keriput di wajahnya,
makin tampak kusut saja.
“San! Ke mane ka selame due beles
taun ne?”[6] tanya Abah penuh perhatian. Sinar matanya yang terang seakan begitu
riang dan senang.
“Ko ke Pekanbaru, Riau, Bah. Di
sane, Ko mulai begawe de sebuah kebun sawit Pak Zarkasyi. Bak Rohana.”[7]
“Ya, Bah. Selama dua
belas tahun itu, Bang Hasan bekerja pada Abahku. Menjadi seorang kuli pikul
bersama Elang kawan karibnya itu,” lanjut Rahwana
“Nak mane ke pacak kawin kek
Rahwana; anek gadis a pak Zarkasyi ne?”[8] tanya Abah, ingin tahu. Mungkin Abah berpikir, Hasan, si kuli pikul
tidak mungkin kawin dengan putri seorang
juragan. Sedang Rahwana tersipu malu, mendengar perkataan Abahku.
“Bah…! Bang Hasan menikahiku dengan seluruh jiwanya, ia mencintaiku Bah.
Serta kisah bapak Hasan; Bang Hasan adalah pemuda yang baik, sopan, jujur, dan
juga penuh tanggung jawab. Begitulah,“ jelas Rahwana. Sebelum aku sempat
menjawab pertanyaan itu.
Malam telah larut. Dengan segala kesunyiannya. Sempurna. Kami pun
mengakhiri perbincangan, tukar cerita kehidupan setelah lama terpisah
berjarak-jarak, jauh nan lama. Dua belas tahun inilah masa yang sempat kutanam
asa, serta suasa tanpa orang tua. Abah
pun berlalu, merebahkan sebatang tubuhnya
yang mulai binasa. Abah.
Seperti biasa. Seperti malam-malam lalu di Pekanbaru. Di rumah Bapak Ibu
mertuaku. Aku serta Rahwana, istriku selalu melaksanakan sholat hajat, sebelum
tidur malam kami berlalu. Meminta anak yang baik rupa. Lembut tutur kata. Indah
ahlak serta adabnya. Juga meminta, agar aku dan Rahwana menjadi sepasang
suami-istri yang langgeng, sampai akhir menutup mata. Keluarga sakinah, itu
singkatnya.
Sholat usai. Kami pun berlalu menuju kamar, tempat peristirahatan
sementara. Tidur, sekedar melepas segala penat yang melakat. Setelah berharian
dalam perjalanan. Terlabih dahulu, Rahwana merabahkan tubuhnya, seraya
memejamkan mata dan tampaknya ia akan segera bermimpi indah, sempurna. Lantas
aku pun beranjak merebahkan tubuhku yang seakan tak sanggup lagi kutahan.
"Kuaaak… kuaaak.” Tiba-tiba telingaku menangkap suara aneh.
"Sepertinya suara itu pernah kudengar,” gumamku.
“Kuaaak… Kuaaak… kua… Kuaaaaaaaak… kuaaak… kuak,” suara aneh itu
lagi-lagi terdengar memekikkan seluruh pendengaranku.
“Kuaaak….” Segera aku melangkah gontai kakiku menuju pintu depan rumah,
berlanjut keluar mencari sumber suara itu.
“Kuaaak. Kuak… kuaaak.” Tiba-tiba terlintas di depanku, segerombolan
burung-burung besar, hitam. Terbang setinggi rabung rumah. Burung itu, burung
Kuwek. Burung yang pernah kulihat sejak belasan tahun lalu, di kala aku masih
kanak-kanak. “Kuaaak….”
Sungguh memang. Kampung seberang kampung kelahiranku ini, masih
seperti dulu. Bukit Tiggris masih tetap
menjulang hijau pohon-pepohonan besar itu. Tidak ada yang menebangnya lalu
membuatnya jadi papan-papan rumah, juga menyulapnya menjadi sebidang perkebunan
lada. Atau menanaminya dengan berbagai rempah-rempah. Jahe, kunyit, lengkuas
bahkan keladi hitam[9] yang
sekarang laris di pasar malam atau pun menyulapnya menjadi Camoi.[10]
SSA Maret 2009
[1]
Jurang yang ada airnya. (Bahasa melayu Bangka)
[2]
Sejenis sayur yang biasa tumbuh di tanah subur.
[3]
Siapa yang adzan, Bah? (Bahasa melayuBangka)
[4]
Amir putra bibi Ros ya, Bah. (Bahasa melayuBangka)
[5]
Ya. Dia juga baru pulang. Baru lulus sekolah di Madura . (Bahasa melayu
Bangka)
[6]
San! ke mana saja kamu selama dua belas tahun ini? (Bahasa melayu
Bangka)
[7]
Aku ke pekanbaru, riau, Bah. Di sana, aku mulai bekerja di kebun sawit Pak
zarkasi. Bapak nya Rohana. (Bahasa melayu Bangka)
[8]
Bagaimana kamu bisa nikah dengan Rahwana; Putri Pak Zarkasi ini? (Bahasa melayu
Bangka)
[9]
Sejenis sayur yang biasa tumbuh di tanah subur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar