Rasyid Ridha atau lengkapnya
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun, sebuah desa yang terletak
sekitar empat kilometer dari Tripoli, Lebanon, pada 27 Jumadil Awal 1282
Hijriah atau 18 Oktober 1865 menurut kalender Masehi. Saat itu Lebanon masih
menjadi bagian dari Kekhalifahan Turki Usmani.
Ia berasal dari keluarga yang
sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan dan menguasai ilmu-ilmu keagamaan,
sehingga mereka sering dipanggil dengan "Syaikh". Selain mendapat
pendidikan dari keluarganya, pada umur tujuh tahun, Rasyid Ridha mulai
mengenyam pendidikan dasar tradisional (kuttaab) di desanya. Di sana, ia
belajar menulis, membaca dan menghafal al-Qur'an, serta berhitung. Setelah
menamatkan pendidikan dasar, ia melanjutkan belajarnya di Madrasah Ibtida'iyyah
al-Rusydiyyah, Tripoli. Di sana ia belajar Ilmu Nahwu, Sharaf, Aqidah, Fiqh,
Matematika, dan Ilmu Bumi. Madrasah tersebut merupakan lembaga yang dikelola
oleh pemerintah Turki Usmani yang diperuntukkan bagi calon-calon pegawai
pemerintah, sehingga bahasa yang dijadikan pengantar di lembaga tersebut adalah
bahasa Turki.
Keengganan Rasyid Ridha menjadi
pegawai pemerintah membuatnya tidak betah belajar di sana, sehingga ia
memutuskan untuk keluar setelah belajar kurang lebih selama satu tahun.
Kemudian ia memutuskan untuk masuk Madrasah Wathaniyyah Islamiyyah, yang
merupakan sekolah terbaik pada saat itu, dengan bahasa Arab sebagai bahasa
pengantar utama. Sekolah ini didirikan oleh Syaikh Husein al-Jisr. Ulama inilah
yang kemudian banyak berpengaruh terhadap pemikiran Rasyid Ridha. Hubungan
mereka tidak hanya di al-Rusydiyyah, namun setelah madrasah tersebut ditutup,
mereka masih menjalin hubungan. Al-Jisr ini juga yang memberi kesempatan kepada
Rasyid Ridhauntuk menulis di beberapa surat kabar Tripoli, yang kemudian
mengantarkannya memimpin majalah al-Manaar. Pada tahun 1897 Masehi, Rasyid
Ridha menerima ijazah dari al-Jisr dalam bidang ilmu-ilmu agama, bahasa dan
filsafat.
Selain belajar kepada al-Jisr, Rasyid
Ridha juga mempunyai guru-guru yang lain, walaupun pengaruhnya tidak sebesar
al-Jisr. Di antara guru-gurunya, selain al-Jisr, adalah Syaikh Mahmud Nasyabah,
seorang ahli hadis yang memberi Ridha ijazah dalam bidang tersebut. Karenanya, Ridha
mampu membedakan hadis-hadis dha'if dan maudhu'. Selanjutnya Ridha
juga belajar kepada Syaikh Muhammad al-Qawaaqiji, salah seorang ulama' hadis. Ridha
juga belajar sebagian isi kitab Nail al-Authar kepada Syaikh Abdul Ghani.
Gurunya yang lain adalah al-Ustad Muhammad al-Husaini dan Syaikh Muhammad Kamil
al-Rafi'.
Selain pribadi yang penuh kegairahan
terhadap ilmu, Rasyid Ridha juga merupakan seorang yang rajin beribadah. Ia
menjadikan salah satu bagian dari masjid tempat kakeknya berkhalwat dan membaca
menjadi tempatnya untuk belajar dan beribadah. Para penduduk kampungnya juga
sering mengunjunginya untuk meminta berkat.
Kehidupan Rasyid Ridha yang
cenderung sufi tidak terlepas dari pengaruh ayah dan para gurunya. Mereka
adalah ulama-ulama pengikut tarekat, bahkan Syaikh Husein al-Jisr adalah
seorang pemimpin tarekat Khalwatiyyah. Sedangkan al-Qawaaqiji adalah seorang
pengikut tarekat Syadziliyyah. Selain itu, kehidupannya yang bercorak tasawuf
juga tidak terlepas dari kegemarannya membaca kitab Ihya Ulumuddin, karya
Imam al-Ghazali, sehingga benar-benar mempengaruhi kondisi kejiwaan dan
perilakunya, bahkan, menurut Ridha, ia pernah seolah-olah merasa bisa berjalan
di atas air atau terbang di udara.
Namun kehidupan sufi yang
dijalani oleh Ridha berubah seratus delapan puluh derajat setelah ia mulai
membaca majalah al-'Urwah al-Wutsqa yang diterbitkan oleh Jalaluddin
al-Afghani dan Muhammad Abduh. Ia mulai terpengaruh ide-ide pembaharuan yang
diusung oleh kedua tokoh tersebut dan mulai berubah haluan, dari seorang pemuda
yang asyik dengan kehidupan sufi menjadi seorang pemuda yang penuh semangat
pembaharuan
Dari sini dapat dilihat
bagaimana pengaruh pemikiran-pemikiran al-Afghani dan Abduh yang ada dalam majalah
al-'Urwah al-Wutsqa terhadap Ridha. Menurutnya, jika kitab Ih}ya' Ulumuddin
membawa kecenderungan kehidupan sufistik kepadanya, maka majalah al-'Urwah
al-Wutsqa membuatnya bersikap kritis terhadap kehidupan umat Islam dan mendorongnya
untuk membantu melepaskan umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan
penjajahan.
Pengaruh al-Afgha>ni dan
Abduh dalam pemikiran Ridha bertambah kuat setelah mereka bertemu untuk pertama
kalinya pada tahun 1885 di Tripoli, pada saat Abduh mengunjungi Syaikh Abdullah
al-Barakah, seorang pengajar di madrasah al-Khanuthiyyah. Pada pertemuan
tersebut Ridha sempat bertanya kepada Abduh mengenai kitab tafsir yang terbaik.
Oleh Abduh dijawab, bahwa kitab tafsir terbaik adalah al-Kasysyaf, karya
al-Zamakhsyari, karena ketelitian redaksi dan uraian-uraian bahasanya, walaupun
Abduh mengakui kritik Ridha terhadap kentalnya nuansa Mu'tazillah dalam kitab
tersebut.
Pada tahun 1894, Ridha bertemu
untuk yang kedua kalinya dengan Abduh di Tripoli. Pertemuan ini berlangsung
cukup lama sehingga Ridha memiliki kesempatan untuk menanyakan beberapa hal
kepada Abduh. Dengan pertemuan ini, ide-ide pembaharuan yang dilontarkan oleh
Abduh semakin membekas kepada Ridha, yang kemudian menerapkannya di kampung
kelahirannya, tempat ia mulai berdakwah. Namun akibat tantangan penguasa
setempat terhadap pembaharuannya, Ridha memutuskan untuk hijrah ke Mesir dan
bergabung dengan Abduh. Ini terjadi pada bulan Januari 1898 dan merupakan
pertemuan ketiga antara Abduh dan Ridha.
Sebulan sesampainya di Mesir, Ridha
mengutarakan keinginannya kepada Abduh untuk menerbitkan surat kabar yang
mengulas masalah-masalah sosial, budaya, dan keagamaan. Pada awalnya Abduh
merasa keberatan dengan usul Ridha tersebut karena pada waktu itu, di Mesir
telah banyak surat kabar dan persoalan yang diangkat juga bukan masalah-masalah
yang menarik perhatian masyarakat. Namun Ridha menyatakan tekadnya dan siap
menanggung kerugian materiil selama beberapa waktu setelah penerbitannya.
Akhirnya, Abduh merestui pendirian surat kabar tersebut, yang kemudian diberi
nama al-Manar.
Selain menerbitkan surat kabar, Ridha
juga mendirikan sekolah yang bertujuan untuk mendidik para pemuda reformis
untuk dikirim ke Negara-negara Islam. Sekolah ini kemudian diberi nama Dar
al-Da'wah wa al-Irsyad.
Setelah berjuang dengan segenap
kemampuannya, Ridha wafat pada hari Kamis, 22 Agustus 1935/23 Jumadil Ula 1354
H, dalam perjalanannya pulang dari kota Sues, Mesir, dalam rangka mengantar
Pangeran Saud al-Faisal. Mobil yang mengangkutnya mengalami kecelakaan dan
menyebabkannya menderita gegar otak. Ridha wafat pada usia 70 tahun.
Rasyid Ridha meninggalkan
beberapa karya, di antaranya:
1. Tafsir al-Manar, yang
merupakan lanjutan dari penafsiran Muhammad Abduh.
2. Kitab al-Azhar wa al-Manar.
3. Al-Hikmah wa asy-Syar'iyyah fi
Muhakkamat al-Dadiriyyah.
4. Majalah al-Manar.
5. Nida' al-Jinsi al-Latif.
6. Z|ikra al-Maulid an-Nabawi.
7. Tarikh al-Ustaz al-Imam.
8. Rasalah al-Hujjah al-Islam al-Gazali.
9. Al-Sunnah wa al-Syi'ah.
10. Al-Wahdah al-Islamiyyah.
11. Al-Wahy al-Muhammad.
12. H{aqiqah al-Riba.
Referensi:
Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar,
Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.
Ibrahim Ahmad al-'Adawi, Rasyid Ridha: al-Imam
al-Mujtahid, Kairo: Mathba'ah Mishr, 1964.
Athaillah.
Konsep Teologi Rasioanal daalam Tafsir al-Manar. Jakarta: Erlangga,
1998.
Ahmad al-Syarbashi, Rasyid Ridha: Shahib al-Manar,
Kairo: Majlis al-A'la Syu'un al-Islamiyyah, 1970.
Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar