Senin, 27 Agustus 2012

Takdir Ilahi

“Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.. Laailaahaillallaahu Allaahu akbar.. Allaahu Akbar Walillaailham..” gema takbir membahana di seluruh penjuru dunia. Malam kemenangan dimana seluruh kaum muslimin merayakan hari raya dengan penuh kebahagiaan. Malam itu aku ikut merayakan kemenangan bersama keluarga tercinta.  Keluarga yang tak ternilai harganya. Entah seperti apa yang akan terjadi jika anggota keluargaku ikut terseret arus tsunami yang sangat ganas itu. Aku sungguh merasa ketakutan ketika membayangkan hal itu menimpa keluargaku.

Pagi hari itu, dengan egois  aku mengajak orang tuaku untuk pergi ke kota untuk membeli buku-buku yang memang tidak tersedia di tempat tinggalku. Waktu itu aku masih berusia 13 tahun dan menduduki kelas 1 SMP sehingga keperluanku pun kian bertambah.

Aku terus saja merengek minta pergi ke toko buku. Namun orang tuaku tidak mengizinkanku, khususnya Ibu. Aku tidak terima itu karena sebelumnya Ibuku sudah berjanji akan membelikanku buku. Aku terus menangis sejadi-jadinya hingga akhirnya aku pun menyerah dan duduk sambil terisak. Tiba-tiba saja kursi yang ku duduki bergetar. Gantungan di langit-langit rumahku bergetar, lampu hias d ruang tamu ikut bergetar. Karena kesal, aku tak memerdulikan itu, karena yang hanya ada di otakku adalah buku, buku dan buku. Semakin lama getaran itu semakin kuat dan berlangsung cukup lama. aku mulai curiga.

“Ah, paling adik yang menggoyang-goyangkan kursi. Gantungan dan lampu hias itu diterpa angin” pikirku sesaat.

Apa yang ku pikirkan langsung terkoreksi ketika ku lihat Adikku berdiri di hadapanku. Ibu dan Ayah juga di hadapanku. Kakak? Bukannya Kakak lagi dikamar mandi? Abang? Abang tadi di kamar. Lantas siapa yang mengguncangkan kursi, lampu, gantungan, lemari kaca yang ikut bergetar di sampingku, dan suara gemuruh itu suara apa?

Aku pun mulai panik. Orang tuaku panik. Abangku keluar dari kamar dan berkata “Ayah, gempa! gempa!” “Lailahaillallaah..”

Ibu menjerit memanggil kakakku yang berada di kamar mandi. Dan bergegas ke kamar mandi untuk menyeret Kakakku yang baru semester satu menduduki bangku Universitas Syiah kuala untuk keluar. Sedangkan Aku berlari ke kamar Nenek, Ibunda-nya Ibuku untuk mengajak keluar rumah. Kami pun keluar. Tetangga-tetanggaku ikut keluar. Gempa itu sangat dahsyat. Beruntung rumahku tidak roboh. Selayaknya semut dalam sebuah nampan yang digoyang-goyangkan, seperti itulah gempa yang terjadi 26 desember 2004 silam.

Meunasah1 yang berada di dekat rumahku mengumandangkan azan. Bukan hanya meunasah depan rumahku saja yang mengumandangkan azan, tetapi seluruh meunasah di Kota Jantho, tempat ku tinggal mengumandangkan azan.

Waktu terus berlalu. Gempa dahsyat itu pun berhenti. Kami semua masuk ke dalam rumah. Tak berapa lama kemudian, Ibu dan Ayah pergi ke kebun yang cukup jauh dari rumahku. Kami kembali melakukan aktivitas kami masing-masing. Aku menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh guruku, Adik dan Abang main kelereng di halaman rumah dan Kakakku membersihkan rumah. Nenek yang kupanggil “Michik” sedang duduk di teras depan rumah.

Tiba-tiba Michik kembali masuk ke rumah dan mengatakan kepada kami bahwa ”ie laot ka di ek”2. Tentunya kami yang masih belia merasa bingung dengan pernyataan Michik-ku.

“Kapreh jinoe! Lon meujak u lampoh meuheui mak ngen yah! Ie laot ka di ek! Nekmu ngen mucut kah kiban ideh! Jeut di tueng lee yah. Bek jak sahoe. Dika! Jaga adek-adek.”3

“Geut michik”4

Nekmu adalah panggilan kami untuk nenek pihak ayah. Dan Mucut adalah panggilan untuk adik perempuan Ayah. Mucut berprofesi sebagai Guru di sebuah sekolah menengah pertama di Banda Aceh. Aku sangat dekat dengan Mucut. Setiap minggu kami kerumah nenek dan menginap disana. Setiap minggu kami pergi bersama ke laut yang jaraknya dekat dari rumah Nenekku. Apakah itu hanya sekedar bermain di pantai, mencari kerang atau tiram untuk di olah menjadi makanan, atau sering juga kulihat Ayahku membantu para nelayan menarik pukat (jala). Sungguh kekeluargaan yang sangat erat diwilayah ini. Aku sangat senang berada disini.

Astaga! Nekmu! Nekmu baru saja keluar dari rumah sakit karena Nekmu sudah sulit untuk berjalan. Lantas, apa yang terjadi jika nenekku tidak sanggup berdiri bahkan berlari ketika gempa tadi? Aku panik.

Setengah jam kemudian, Ibu dan Ayah pulang berikut Michik ikut dari belakang. Ayah dan ibu tergesa-gesa bersiap-siap pergi ke banda Aceh. Aku minta ikut. Abangku minta ikut, Ibu mengizinkannya. Aku pun minta ikut, namun ibu tidak mengizinkanku. Aku merasa heran, namun Aku hanya diam.

Selepas kepergian Ayah, Ibu dan Abang ke banda Aceh, kami menunggu dengan harap-harap cemas. Dalam hati kupanjatkan do’a agar Ayah, Ibu, Abang berhasil membawa pulang Nekmu dan Mucutku.

Beberapa jam kemudian, mobil butut milik Ayahku memasuki pekarangan rumah. Aku sangat lega melihatnya. Begitu tiba, Ibu dan Abangku turun dari mobil terlebih dahulu.  

“Mak, kiban? Hana peu-peu kan di gampong?”5

“Han jeut tamong neuk. Jalan di tutop. Mayet leu that bak PMI lambaro. Kamoe mita saboh-saboh hana nyang meuturi. Hana meurumpok meusidroe”6 ucap Ibuku dengan lirih. Kulirik Ayahku yang berada di belakang setir, terlihat muram. Aku ikut sedih. Meskipun Aku tidak langsung terbawa arus tsunami, namun Aku bisa merasakan itu semua. Bagaimana nasib saudara-saudaraku yang selamat dari gelombang tsunami itu dengan anggota tubuh yang dirampas oleh arus, tersayat puing-puing bangunan. Bagaimana mereka dengan pakaian glamour-nya ketika bepergian dan menjadi pakaian yang compang-camping ketika terselamatkan dari arus tsunami. Banyak gedung-gedung yang runtuh. Dan ada berapa banyak jiwa yang terhimpit puing-puing bangunan dan tak terselamatkan. Bagaimana mereka dapat memulai kembali hidup mereka tanpa orang-orang terkasih. Bagaimana keadaan mereka yang terpaksa merayakan hangatnya Hari Raya di tenda-tenda darurat dan tanpa keluarga yang utuh. Sungguh ini rencana Allah SWT yang tak pernah mampu kita duga. Namun, banyak hikmah dibalik ini semua. Semoga mereka yang telah dipanggil Allah SWT diterima segala amal ibadahnya, dihapuskan segala dosanya, ditempatkan disurga-Nya. Amin Amin Amin ya rabbal’alamin.

“Ayah meujak takbir u mesjid dilee beh..”7

“ikut…” pinta adikku satu-satunya. Aku tersenyum tipis melihat tingkah adikku yang kadang-kadang menjengkelkan sekaligus baik. Kami sangat sering bertengkar, namun sering pula saling bekerjasama dalam melakukan banyak hal. Apakah itu bertengkar karena hal sepele seperti siapa benar dan siapa salah, siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak. Dan kami bekerjasama ketika kami berniat untuk meminta ditambahkan uang saku, minta dibelikan mainan dan lain sebagainya.

Sebelum tsunami, kami merayakan malam idul fitri dikediaman nenek. Kami dengan usia kanak-kanak merayakan itu dengan perasaan penuh suka cita. Bersama saudara-saudariku, kami merayakan dengan bermain petasan, main pet-pet nyuet9, membuat obor pakai tempurung kelapa, dan sebagainya. Namun, semua itu kini hanya tinggal kenangan. Aku rindu masa-masa itu. Masa dimana Aku dapat tertawa lepas dan merasakan hangatnya keluarga. Masa-masa dimana Aku tidak merasa kesedihan sama sekali. Idul Fitri kali ini kami tidak mendatangi kediaman nenek, namun Kami hanya mendatangi kuburan massal yang bertempat di ulee lheu. Kami tidak mengetahui apakah nenek serta bibiku beristirahat disana? Entahlah. Dimanapun mereka berada, semoga Nenek dan Bibiku beristirahat dengan tenang di alam sana. Amin ya rabb.

Masa lalu biarkanlah berlalu. Masa sekarang lakukanlah seolah-olah esok kau tak dapat lagi merasakan hangatnya mentari pagi. Dan masa depan adalah rahasia Ilahi. Kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi esok. Bahkan jutaan jiwa di belahan dunia manapun tidak ada yang mengetahui rencana-Nya. Dan masa lalu tidak akan pernah sama dengan masa sekarang. Semoga kehidupan yang kita lalui saat ini lebih bermanfaat dari sebelumnya. Segala hal yang kita rencanakan dahulu dapat terlaksana dengan baik di masa mendatang. Segala sesuatu-Nya hanya Allah azza wa jalla yang mengetahui. Maha Suci Allah.

“Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.. Laailaahaillallaahu Allaahu akbar.. Allaahu Akbar Walillaailham..”

Minal Aidin wal faidzin…

________________________







1 Mushala
2 Air laut naik
3 Tunggu disini! Saya mau pergi ke kebun memanggil Ibu dan Ayah! Air laut naik! Nenek dan Bibi bagaimana disana! Biat dijemput oleh Ayah. Jangan kemana-mana.Dika! Jaga adik-adik!
4 Iya Nek
5 Bu, bagaimana? Tidak terjadi apa-apa kan di kampong?
6 Tidak bias masuk Nak. Jalan ditutup. Banyak sekali mayat di PMI Lambar. Kami cari-cari tidak ada seorang pun yang kami kenal. Tidak bertemu seorang pun
7 Ayah pergi ke mesjid mau takbiran ya!
8 Petak umpet


Kontributor: Juliska Kumalasari

3 komentar:

  1. ini cerita kisah nyata pa bukan?
    www.indodetik.tk

    BalasHapus
  2. ini cerita kisah nyata pa bukan?

    ga s4 bc :D

    BalasHapus
  3. Masih ada kalimat yang perlu di perbaiki di sana - sini.
    Bisa di maklumi,karena mungkin masih pemula.
    Tingkatkan terus kemampuanmu,dan perkaya bahasanya.
    semoga ke depan karya nya akan lebih baik lagi.

    BalasHapus