Rabu, 08 Agustus 2012

Bersedekah kepada Si Yatim

Senangkah hatimu menjadi lunak dan kebutuhanmu terkabulkan? Santunilah anak yatim, usaplah kepalanya, dan berilah makanan dari makananmu, niscaya hatimu menjadi lunak dan keinginanmu tercapai.”
(H.R Thabrani)

Dalam kitab Jawarihul Bukhari dikatakan bahwa anak yatim adalah anak yang ditinggal mati bapaknya dalam kondisi belum baligh, masih kecil, atau belum dewasa. Sementara, Imam Zamakhsary menjelaskan anak yatim adalah orang yang bapaknya telah meninggal dunia. Pengertian ini mencakup baik anak yang masih kecil maupun yang sudah besar (dewasa). Hanya, tradisi arab menyatakan bahwa yang layak menyandang sebutan anak yatim adalah anak yang belum dewasa. Jika seorang anak yatim yang tumbuh dewasa dan telah sanggup memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri maka gugurlah predikatnya sebagai anak yatim.


Al-Qur’an sendiri menyebut kata yatim dalam beberapa kesempatan, yang semua merujuk pada nuansa muram: kemiskinan, kelemahan, ketakberdayaan, dan ketersisihan. Dan, memang dalam praktiknya, hak-hak anak yatim seringkali terlanggar. Harta mereka ‘dirampas’, dan menjadi rebutan, bahkan oleh keluarga sendiri. Ini terjadi karena tidak adanya lagi pelindung dan pengayom kehidupan yakni bapak mereka.
Oleh karena itu Islam memerintahkan kepada umatnya untuk berbuat baik terhadap anak yatim; melindungi dan memperhatikan kebutuhan hidup mereka. Kedudukan anak yatim sangat penting dalam Islam. Mereka tidak boleh lagi disisihkan, dihardik, dan diperlakukan denga tidak adil.

Allah SWT bahkan secara tegas mengingatkan kita dengan firman-Nya, “Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.” (Q.S. Adh-Dhuha [93]: 9).

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsipa yang mengasuh tiga anak yatim, dia bagaikan bangun pada malam hari dan puasa pada siang harinya, dan bagaikan oran yang keluar setiap pagi dan sore menghunus pedangnya untuk berjihad fi sabilillah. Dan, kelak di surga bersamaku bagaikan saudara, sebagaimana kedua jari ini, yaiu jari elunjuk dan jari tengah.” (H.R. Ibnu Majah)

Salah satu alasan dibalik perhatian Rasulullah terhadap nasib anak yatim adalah karena beliau sendiri sejak kecil telah ditinggal oleh ayahnya tercinta, Abdullah. Jadi, Rasulullah tidak hanya mengetahui perasaan anak yatim, bahkan beliau merasakan sendiri rasanya hidup tanpa belaian kasih sayang seorang ayah. Simpati dan empati yang ditunjukkan  Rasulullah bukanlah omong kosong, pura-pura, tetapi nyata berdasarkan pengaaman hidup beliau. Melalui hadits tersebut, Rasulullah mengajak seluruh umatnya, kaum muslimin, untuk menyayangi anak-anak yatim; memperhatikan urusan mereka dari hajat hidup hingga pendidikannya.

Renungkan apa yang disabdakan Rasulullah SAW kepada sahabat Saib bin Abdullah ketika dia datang menghadap utusan Allah tersebut, “Wahai Saib, perhatikanlah akhlak yang biasa kamu lakukan ketika kamu masih dalam kejahiliyahan, laksanakan pula ia dalam masa keislaman. Jamulah tamu, muliakanlah anak yatim, dan berbuat baiklah kepada tetangga.” (H.R Ahmad, Abu Daud, dan Al-Abani)

Dalam hadits tersebut, Rasulullah menyuruh saib untuk memuliakan anak yatim. Dan, perintah itu sesungguhnya berlaku juga untuk kita, seluruh kaum muslimin. Perbuatan memuliakan anak yatim, atau yang bukan yatim sekalipun, hanya bisa dilakukan oleh orang yang berhati mulia. Tak mungkin mereka yang tak memiliki kemuliaan hati berbuat mulia. Jadi sebenarnya hadits diatas memiliki arti lanjutan, yaitu kaum muslimin mesti berhati mulia. Kaum muslimin harus menjadi pelopor dalam setiap sendi kebaikan, termasuk memberi sedekah dan menyantuni anak yatim.

Dikutip oleh http://darfathimah.com dari buku karya Komunitas Tinta Emas: Abdullah Al-Fathany, 2011, Menyantuni Anak Yatim, Meraih 1001 Berkah Sejuta Keajaiban, Yogyakarta: Citra Risalah, hal 1-4.



Karya KomTE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar