Sumber Gambar |
Membangun peradaban dimulai dengan membaca. “Bacalah,” demikian perintah awal yang disampaikan Allah SWT melalui Jibril kepada Rasulullah Muhammad SAW, dan sejak itu peradaban Islam tumbuh berkembang menjadi salah satu peradaban penting di muka bumi. Peradaban Barat dimulai sejak masa Renaisans yang ditandai dengan melonjaknya aktivitas membaca dan menerjemahkan buku-buku dari dunia Islam pada kelas menengah bangsa Eropa. Peradaban Jepang juga melesat sebagai salah satu peradaban unggul sejak kebiasaan membaca begitu gencar dilakukan pada era Restorasi Meiji. Dengan demikian membaca, satu paket dengan aktivitas menulis, dalam pengertian yang luas adalah sebuah prasyarat bagi lahirnya suatu peradaban unggul.
Bagaimana dengan bangsa Indonesia? Adakah bangsa kita cukup memiliki prasyarat peradaban itu? Sebuah penelitian dilakukan akhir 2010 oleh Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Jawa Barat dengan tema Siapa Masih membaca Buku (cetak)? Penelitian melibatkan 2.400 responden (0,1% penduduk kota Bandung) warga kota Bandung, dengan asumsi mereka merepresentasikan kelompok melek baca dari masyarakat Jawa Barat. Penelitian bertujuan untuk mengetahui profil pembaca buku (cetak) serta karakteristik perilaku membaca mereka.
Dengan menggunakan kuesioner yang mengukur lima indikator perilaku membaca (cara mengakses buku, konten buku yang dibaca, aspek ekonomi buku, teknologi substitusi buku, dan media informasi tentang buku) yang dikorelasikan dengan jatidiri pembaca buku (usia-pendidikan, jenis kelamin, kelas sosial ekonomi, dan latar belakang pekerjaan) di kota Bandung, penelitian ini mendapatkan sejumlah temuan menarik.
Masyarakat Jarang Membaca Buku
Pertama, cara mengakses buku. Orang Bandung kurang membaca buku. Responden mengaku membaca buku kurang dari satu jam sehari (50,21%) sedangkan yang membaca kurang dari tiga jam sehari juga cukup besar (43,50%). Motivasi sebagian mereka (45%) membaca buku lebih karena pelaksanaan tugas (pelajar atau mahasiswa membaca buku karena merupakan bagian dari kewajiban sekolah/kuliah, demikian juga para pegawai membaca buku dalam rangka melaksanakan tugas pekerjaan). Meski harus diakui ada juga yang menjadikan aktivitas membaca sebagai cara mendapatkan inspirasi (20,25%) dan memperoleh hiburan (19,38%).
Dari mana buku-buku itu diperoleh? Mereka (terutama pelajar dan mahasiswa) yang mengaku aktif membaca buku ternyata mengakses buku dengan cara meminjam dari sesama (37,13%). Membeli buku menduduki peringkat kedua (30,00%), sementara meminjam di perpustakaan pada posisi ketiga (22,0%).
Kedua, konten buku yang dibaca. Seperti diungkap di atas, orang Bandung membaca buku teks wajib yang berhubungan dengan penugasan atau kegiatan utama mereka. Dalam konteks ini buku pelajaran dan buku-buku kerja menjadi bacaan utama (24,50%). Sementara buku keagamaan pada posisi kedua (22,30%). Yang menarik, bagi kalangan remaja membaca komik merupakan kegemaran yang cukup populer (15,00%). Di luar tiga besaran ini, masih ada sejumlah ragam buku yang tergolong cukup signifikan dibaca oleh orang Bandung, yakni buku-buku teks pendukung kegiatan belajar mengajar atau aktivitas pekerjaan (6,00%), buku tentang hobi (5,90%), dan buku sastra (4,70%).
Ketiga, ekonomi buku. Tak ada perbedaan yang signifikan antara buku yang ingin dibaca dengan yang ingin dibeli oleh orang Bandung. Komik merupakan jenis buku yang paling diminati untuk dibeli, terutama oleh kaum muda (17,30%), disusul buku teks wajib (16,70%) dan diikuti kitab suci agama (8,40%). Orang Bandung ternyata pelit membelanjakan uangnya untuk membeli buku. Dalam sebulan mereka (43,67%) membelanjakan kurang dari Rp.100.000,- untuk membeli buku, bahkan sebagian lagi (39,46%) membelanjakan kurang dari Rp.50.000,- perbulan.
Keempat, teknologi substitusi. Penelitian ini menemukan bahwa teknologi internet telah menjadi teknologi substitusi sangat penting bagi perilaku membaca buku orang Bandung. Sebagian responden mengaku menghabiskan waktu 1-3 jam untuk menggunakan internet (52,20%), bahkan sejumlah responden mengakses internet 3-5 jam sehari (13,80%). Bandingkan dengan jumlah jam yang dihabiskan untuk membaca buku. Apa yang mereka lakukan dengan teknologi substitusi ini? Apakah mereka manfaatkan untuk membaca informasi ataukah untuk berkomunikasi? Sebagian besar memanfaatkan internet untuk berkomunikasi secara interaktif (media sosial) seperti chatting via facebook, yahoo messenger, twitter dan sejenisnya (52,79%). Sejumlah responden mengaku memanfaatkan internet untuk menelusuri informasi (15,58%) serta berkomunikasi via e-mail (11,96%). Sedangkan yang menggunakan internet untuk membaca buku online masih relatif kecil (3,04%). Dengan kata lain, mereka banyak menghabiskan waktu untuk menggunakan internet tapi tidak banyak yang melakukan untuk membaca informasi, sebagai gantinya internet lebih banyak untuk berkomunikasi.
Kelima, media informasi tentang buku. Pameran buku merupakan sumber informasi paling berpengaruh bagi orang Bandung (32,33%), sementara media cetak seperti suratkabar (9,04%) dan majalah (13,20%) relatif kecil peranannnya. Demikian pula media elektronik (radio dan televisi) tidak banyak membantu dalam penyediaan informasi tentang buku. Internet menjadi pilihan kedua (terutama generasi muda) dalam mencari informasi tentang buku (29,63%).
Affirmative Action untuk Membaca Buku
Apa makna temuan penelitian ini? Sesungguhnya penelitian ini hanya meneguhkan dugaan umum bahwa bangsa kita memang masih jauh dalam menyiapkan prasyarat peradaban. Perlu sebuah affirmative action dari bangsa ini agar membaca buku menjadi bagian penting kehidupan mereka.
Dalam konteks ini, setidaknya ada lima hal yang merupakan agenda mendesak dalam kerangka affirmative action ini. Pertama, memang benar masyarakat kurang sekali membaca buku,tetapi bukan tidak sama sekali. Mereka masih membaca buku untuk kepentingan-kepentingan penugasan atau menjalankan kewajiban tertentu. Ini bisa menjadi sebuah titik penting guna memacu budaya membaca. Mewajibkan generasi muda atau bahkan pegawai membaca buku dalam jumlah yang tertentu selama satu periode waktu tertentu adalah affirmative action yang mendesak. Tentu saja, kebijakan mewajibkan ini perlu diiringi dengan apresiasi yang signifikan. Sebut saja, karyawan diwajibkan membaca lima buku dalam seminggu yang resumenya dipresentasikan, keberhasilan mereka kemudian diberi penghargaan dalam bentuk material atau poin lainnya.
Kedua, diketahui akses masyarakat terhadap buku yang cukup tinggi adalah meminjam dari sesama atau perpustakaan. Sementara mereka juga kurang bersemangat untuk membeli buku. Dalam hal ini, pemerintah dapat membuat terobosan, berkolaborasi dengan pengusaha atau pengelola mall dan sejenisnya, untuk menyediakan ruang baca publik. Agak berbeda dengan perpustakaan yang konvensional, ruang baca publik lebih merupakan sebuah area yang sengaja ditempatkan di pusat-pusat keramaian yang di dalamnya disediakan buku, akses internet, serta tempat yang nyaman, agar warga dapat membaca buku atau majalah maupun mengakses internet secara gratis, tanpa harus meminjam untuk dibawa ke rumah. Kota Bandung dengan sejumlah pusat perbelanjaan dan sejumlah perusahaan berskala nasional bisa memelopori hadirnya ruang baca publik sebagai sebuah affirmative action. Jika dipandang perlu, ruang baca publik masuk dalam peraturan daerah sebagai persyaratan fasilitas umum yang harus disediakan oleh para pengembang di kota Bandung.
Ketiga, kecenderungan masyarakat saat ini yang lebih banyak mengakses internet daripada membaca buku cetak harus disikapi positip oleh para penerbit. Dalam konteks ini, perlu ada upaya sungguh-sungguh dari para penerbit agar segera melakukan proses migrasi media, yakni menerbitkan buku atau mengunggah buku menjadi buku-buku virtual. Persoalan ini sekaligus menyelesaikan masalah biaya cetak, persoalan distribusi, maupun isyu lingkungan hidup yang dihadapi oleh industri penerbitan. Cepat atau lambat membaca buku (online) adalah sebuah keniscayaan.
Keempat, menulis dan membaca adalah dua sisi dari mata uang literasi. Karenanya, perlu ada tindakan yang nyata bagi tumbuh berkembangnya kemampuan menulis di masyarakat. Pemerintah bersama-sama dengan institusi seperti IKAPI, perusahaan-perusahaan swasta serta perguruan tinggi dapat secara aktif menyelenggarakan pelatihan membaca efektif dan keterampilan menulis buku sebagai kebijakan ekonomi kreatif di wilayah mereka. Pemerintah juga bisa mendorong masyarakat untuk menulis dan menerbitkan buku dengan memberikan sejumlah akses dan fasilitas yang lebih didekati dari aspek ekonomi. Harus ada penghargaan lebih bagi mereka yang berhasil menerbitkan buku.
Kelima, pameran sebagai media informasi buku masih tergolong efektif, terutama di Bandung. Selama ini Pemerintah Kota Bandung bersama IKAPI Jabar aktif menggelar pameran. Namun intensitasnya sangat kecil, hanya tiga kali dalam setahun. Selain karena sulitnya mendapatkan tempat pameran yang representatif, biaya penyelenggaraan pameran tidaklah sedikit. Karenanya perlu ada terobosan, yang memungkinkan pameran buku bisa lebih sering dilaksanakan. Selain itu, pameran buku bukan hanya berlangsung di Bandung, tapi juga di seluruh wilayah Jawa Barat. Harus ada affirmative action dari Pemerintah menyangkut kebijakan maupun fasilitas yang memungkinkan pameran intensif digelar di berbagai wilayah Jawa Barat. (Mahpudi)
Disalin penuh dari http://majalahkarsa.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar