Kamis, 02 Agustus 2012

Anak Kalimat

Majalah Tempo, 19 Des 2011. Agung Yuswanto, Wartawan
Sumber Gambar

“Setelah diberhentikan dari posisi sebagai Bendahara Umum DPP Partai Demokrat, posisi Muhammad Nazaruddin sebagai Bendahara Fraksi Partai Demokrat (FPD) DPR kini juga ikut terancam.” (Suara Merdeka, 26 Mei 2011)

Membaca sekilas kalimat di atas, kita tidak akan mendapatkan suatu kesalahan. Bagi banyak orang, kalimat tersebut terasa mengalir dan memiliki pesan yang jelas. Rangkaian kata dengan struktur kalimat seperti itu sering kita jumpai pada banyak artikel di surat kabar (harian, mingguan, bulanan), novel, dokumen-dokumen resmi, bahkan buku-buku ilmiah.

Namun, cobalah Anda membaca ulang dan lebih teliti mencermati petikan kalimat majemuk tersebut. Ada yang keliru di sana. Secara gramatikal, pola kalimat semacam itu dikenal sebagai kalimat majemuk bertingkat anak kalimat pengganti subyek. Dalam teks tersebut, anak kalimat berada di depan atau mendahului subyek. Karena itu, semestinya subyek (Muhammad Nazaruddin) yang hendak diperluas atau diterangkan diletakkan persis di belakang tanda baca koma di akhir anak kalimat.

Kita bisa menguji validitas struktur kalimat di atas dengan sebuah pertanyaan sederhana: siapa pihak yang hendak diterangkan dalam anak kalimat “Setelah diberhentikan dari posisi sebagai Bendahara Umum DPP Partai Demokrat”? Tentu saja bukan “posisi” (kata keterangan subyek), melainkan pihak atau orang (subyek) yang menduduki jabatan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat, yakni Muhammad Nazaruddin.

Kekeliruan dalam menyusun pola kalimat majemuk sudah pasti akan mengubah makna kalimat. Meskipun sebagian publik pembaca akhirnya bisa memahami makna teks tersebut dengan benar sebagaimana bila kalimat yang dimaksud disusun ulang dalam pola yang tepat, cara penulisan yang keliru tetap saja tidak bisa dibiarkan. Sebab, hal itu sama artinya kita sedang menanamkan suatu kesadaran bahasa yang tidak bermutu.

Kesalahan yang sering kita jumpai adalah ketika anak kalimat ditempatkan di depan induk kalimat seperti kutipan di atas. Penulis sering terkecoh atau lupa untuk apa sebenarnya anak kalimat itu dibikin.

Sebenarnya banyak pilihan struktur kalimat bagi penulis untuk bisa menghindari kekeliruan semacam itu. Redaktur bisa menata kembali untaian kalimat di atas menjadi, misalnya, “Setelah diberhentikan dari posisi Bendahara Umum DPP Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin kini juga terancam akan dicopot jabatannya sebagai Bendahara Fraksi Partai Demokrat (FPD) DPR”. Atau “Setelah Muhammad Nazaruddin diberhentikan dari posisi Bendahara Umum DPP Partai Demokrat, jabatannya sebagai Bendahara Fraksi Partai Demokrat (FPD) DPR kini juga ikut terancam”.

Penulisan dengan kalimat yang keliru sekeliru teks di atas mudah kita jumpai di banyak halaman surat kabar di sekitar kita. Simaklah, misalnya, “Malam setelah menerima laporan Ketua Umum Anas Urbaningrum, sikap Yudhoyono berbalik” (Tempo, Edisi 12/40, 23 Mei 2011). Yang menerima laporan itu bukan “sikap”, melainkan Yudhoyono. Kalimat tersebut keliru dan bisa diedit menjadi: “Di malam setelah menerima laporan Ketua Umum Anas Urbaningrum, Yudhoyono berbalik sikap”.

Contoh lain bisa dibaca pada penggalan artikel berikut ini: “ … Saat masih menjadi saksi, berkali-kali Nunun mangkir dari panggilan KPK” (Kompas, Sabtu, 4 Juni 2011). Semestinya Nunun diletakkan di belakang tanda baca koma karena yang pernah menjadi saksi bukan “berkali-kali”, melainkan istri mantan Wakil Kepala Kepolisian RI Adang Daradjatun itu. Kalimat di atas benar setelah ditulis ulang menjadi: “Saat masih menjadi saksi, Nunun berkali-kali mangkir terhadap panggilan KPK”.

Kalimat majemuk—dan tentu saja di sana akan muncul anak kalimat— memang menjanjikan suatu pemahaman yang lebih tuntas, selain estetik, ketimbang kalimat sederhana. Sayang sekali, banyak orang tidak teliti dalam menempatkan anak kalimat itu, sehingga sebuah kalimat majemuk berpola kalimat kacau. Misalnya “Meskipun Linda piawai menipu, tapi ia tertangkap polisi”. Penggunaan “tapi” sudah pasti salah dan sama sekali tidak diperlukan bila susunan kalimat tersebut dibikin baku: “Linda tertangkap polisi, meskipun ia piawai menipu” atau “Meskipun Linda piawai menipu, ia tertangkap polisi”.

Logika berbahasa semacam itu seperti menjelaskan situasi kesadaran bahasa masyarakat kita, bahkan tak hanya di kalangan awam. Simak sebuah status di Facebook yang ditulis pemilik akun Muhammad A.S. Hikam, mantan Menteri Riset dan Teknologi, berikut ini: “Belum juga disahkan sebagai UU, kelompok yg menyebut dirinya Koalisi Advokasi (KA) RUU Intelijen Negara sudah mengancam akan meminta judicial review…” (30 September). Andai tidak sedang menulis di Facebook, Hikam tentu tidak akan menganggap remeh cara menempatkan anak kalimat dan menyusun pola kalimat majemuk yang benar.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar