Jumat, 03 Agustus 2012

Kartini

Oleh: Irham Sya'roni
Sumber Gambar

Perempuan kurus berwajah lusuh, dengan kekuatan yang mendadak luar biasa, mampu menerobos barikade puluhan bahkan ratusan polisi yang mencoba menghadangnya. Dalam sekejap, ia telah berdiri menantang di hadapan Pak Lurah.

"Pak Lurah, sampeyan jangan hanya diam! Baca ini, lagi-lagi perempuan diperkosa," teriaknya sembari melempar koran ke muka Pak Lurah. Plak!

Keberingasan perempuan itu tampaknya tak mengusik ketenangan dan umbaran senyum Pak Lurah. "Apanya yang salah? Sudah takdir," jawab Pak Lurah lirih mencoba menciptakan wibawa, "Mosok laki-laki yang diperkosa. Tidak logis dan tidak rasional," tukasnya sambil terkekeh.

"Edan tenan, sampeyan benar-benar sudah edan.

Perempuan itu terus berteriak memaki sambil berusaha membebaskan diri dari cengkeraman beberapa polisi yang menahannya.

"Lepaskan aku, lepaskan!" berontaknya.

"Sudah, lepaskan saja perempuan gila itu," suara Pak Lurah memberi titah, "dia tidak akan bisa berbuat macam-macam. Apalagi terhadap saya," sambungnya diiringi tawa.

"Sampeyan menghina saya, berarti menghina juga seluruh perempuan Indonesia. Itu melanggar undang-undang keperempuanan."

"Apa katamu? Undang-undang? Ha…ha…ha…," mulut Pak Lurah menganga lebar sampai terlihat gigi emasnya berkilauan, "Sersan, ajari perempuan ini tentang kitab undang-undang yang telah engkau hafal dengan fasih," perintahnya kepada seorang polisi pengawalnya.

"Cuh…!" perempuan itu melemparkan ludah busuknya ke muka Pak Lurah. Tepat mengenai hidung. "Aku tak sudi lagi melihat hipokrisi dan arogansi kalian," suara nyinyir perempuan itu. Lalu pergi.

Menghempaskan pantat di atas sofa rumahnya. Sebetulnya bukan sofa, tetapi hanya kursi bambu yang ditindih beberapa bantal bekas dan lusuh. Baginya, itu adalah sofa kebanggaan yang ada di rumahnya. Bangga bukan karena nilai seninya, melainkan karena sofa itu adalah buah rajutan keringatnya. Ya, bangga karena sofa itu didapat tidak dari nyolong, korupsi, atau usaha prostitusi.

"Hehhhhhhhh…," perempuan itu mendesah melepas kejengkelan. Tangannya meraih remote control yang tergeletak di atas meja di depannya. Hanya refleks. Tak ada maksud sedikit pun untuk menikmati televisi. Dibiarkannya televisi itu menyala tanpa memperoleh atensi.

Tenggorokannya yang kering menuntun tangannya menggapai secangkir kopi yang sudah tidak lagi hangat. Di sebelahnya ada setumpuk koran dan buku yang terkacau. Hanya itulah makanannya setiap hari.

"Ah…," dia menyeruput kopi itu dengan garang.

Tiba-tiba, matanya membelalak. Perempuan itu bangkit penuh amarah bak manusia kesurupan. "Gubrak…!" televisi itu ditendang dan dilempar, "Benar-benar zaman edan! Perempuan telanjang kok malah dimasukkan dalam teve," ratusan bahkan ribuan sumpah serapah dia muntahkan. Tevenya telah hancur. Cangkir kopinya pun lebur. Perempuan itu terduduk lemas di atas sofa, menghela nafas, puas.

Sejurus kemudian, dahinya berkerut seakan sedang menyelidik sesuatu. "Masya Allah, aku lupa, ini hari istimewaku." Bergegas ia menarik diri dan pergi.

"Apa-apaan ini!" amuknya kembali meledak ke tengah kerumunan massa di balai desa yang mayoritas adalah perempuan, "Bubar-bubar!" ia merangsek masuk membelah keramaian, "Ini hari istimewaku, jangan kalian nodai!"

Segerombolan polisi berlari mendekat menyergap perempuan itu. "Lepaskan aku, lepaskan!" berontaknya berusaha lepas dari sergapan kuat tubuh-tubuh gempal yang menenteng senapan. Sebagian polisi mengarahkan senapan kepadanya. Perempuan kurus itu jelas kalah perkasa dibanding polisi-polisi itu. Tak berdaya, dia diseret masuk ke dalam ruang kerja Pak Lurah.
"Kamu lagi, kamu lagi!" Pak Lurah berdecak menggelengkan kepala, "Mengapa selalu kamu yang membuat onar di desa ini?!"

"Lihat, hari istimewaku mereka nodai. Ini melanggar undang-undang keperempuanan."

"Sudah, jangan kau bawa lagi undang-undang ke tempat ini!"

"Tapi ini hari istimewaku, Pak Lurah."

"Hari istimewamu?" suara Pak Lurah mulai meninggi. Tanpa senyum seperti sebelumnya, "Bukan. Ini hari istimewa bagi pahlawan bangsa," buru-buru Pak Lurah mengimbuhkan kata.

"Benar. Tapi ini juga hari istimewaku sebagai seorang perempuan."

"Lantas?"

"Mengapa Pak Lurah membiarkan hari istimewa ini dinodai?"

"Maksud kamu?"

"Saya tersinggung, perempuan-perempuan di luar sana dipaksa memasak, memakai kebaya dan sanggul, lalu berlenggak-lenggok," perempuan itu nyerocos meluapkan kemarahannya.

"Seremoni macam apa ini!" Braaakk! Perempuan itu menggebrak meja.

"Sersan, bawa perempuan ini ke penjara!" tampaknya Pak Lurah telah kehilangan kesabaran. Sersan Marno dan beberapa polisi lainnya menyeret perempuan itu keluar. Dengan tangan yang sudah diborgol, perempuan itu mencoba bertahan. Tangannya meraih meja, namun lepas. Mendekap tiang, namun gagal.

Melewati kerumunan massa, perempuan itu berteriak (lebih tepatnya berorasi), "Wahai perempuan, jangan biarkan Pak Lurah yang munafik itu mempedayai kalian. Lihatlah, saudara-saudara kita di negeri ini yang mati akibat arogansinya. Lihat pula, saudara-saudara kita yang dieksploitasi secara seksual; dipekerjakan, digagahi, dilecehkan, diperkosa, bahkan dibunuh. Emansipasi macam apa ini?! Munafik!"

Perempuan itu semakin dibawa menjauh dari balai desa oleh tangan-tangan kekar yang menenteng senapan. Meski telah jauh, suaranya tetap terdengar lantang, "seandainya Kartini putri Bupati Jepara Sosroningrat masih hidup, pasti akan sedih bahkan murka menyaksikan kalian."

Dalam catatan ‘kriminal’ kepolisian, perempuan itu bernama Kartini binti Surip.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar