Kamis, 02 Agustus 2012

Silang-Sengkarut Singkatan dan Akronim


Sumber Gambar
Masyarakat-penutur Bahasa Indonesia, dengan kelincahan daya-ciptanya, termasuk yang paling kreatif (sekaligus liar) dalam memroduksi singkatan dan akronim. Contoh yang paling menarik dan penad bisa kita temui di daftar partai peserta Pemilu 2009. Hampir semua partai memberdayakan singkatan dan akronim. Bahkan, untuk banyak partai, singkatan dan akronim justru lebih sering dilafalkan dan dituliskan ketika kampanye, baik yang langsung maupun yang lewat reklame.

Singkatan dan Akronim
Apa itu singkatan? Mari kita lihat seperti apa KKBI Pusat Bahasa memaknai lema singkatan dan akronim. Singkatan masuk dalam kelas kata benda dengan makna ‘hasil menyingkat (memendekkan), berupa huruf atau gabungan huruf (msl DPR, KKN, yth., dsb., dan hlm.)’. Yang dimaksud dengan ‘berupa huruf’ dapat dicontohkan melalui DPR dan KKN; sedang ‘gabungan huruf’ contohnya adalah yth. dan hlm. Bahasa Inggris mengenal anggitan (padanan: konsep) singkatan dengan istilah abbreviation, yang diserap dari bahasa Latin abbreviatio, yang secara sederhana bermakna ‘singkatan, khususnya bagian kata atau frase sebagai simbol atas keseluruhan bagian kata atau frase tersebut’ (breviare: menyingkat).

Lema akronim diserap dari kata bahasa Inggris acronym. Istilah ini maktub dalam perbendaharaan bahasa Inggris pada tahun 1940an lewat penyerapan dari bahasa Yunani akron (akhir, cuilan) dan onoma (nama). KBBI Pusat Bahasa membatasi lema ini dalam sangkar Linguistik saja, dengan makna ‘kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang wajar (msl letkol letnan kolonel, rudal peluru kendali, dan Kowani Kongres Wanita Indonesia)’. Perhatikan kata wajar dalam frase ‘yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang wajar’. Suasana wajar inilah yang nantinya menjadi ciri khas sebuah akronim.

Menyolok Telinga dan Mata
Ada dua ruang bena (padanan: signifikan) dalam bahasa: lisan dan tulisan. Dua ruang ini senantiasa menawan telinga dan mata para pendengar-baca. Dua ruang ini pula yang sering dengan ajaib diutak-atik oleh para peramu singkatan dan akronim.

Unsur ‘lafal-mudah’, ‘enak-dengar’, dan ‘enak-lihat’ (sehingga ‘cepat-ingat’) adalah nalar hakiki dari perumusan singkatan dan akronim. Singkatan dan akronim berfungsi sebagai sejenis ‘jembatan-keledai’ bagi pendengar-baca bahasa untuk dapat dengan (lebih) mudah menyeberang menuju makna. Suatu anggitan yang terpaksa disuratkan dalam sebuah kata bersuku-banyak atau frasa yang rumit tentunya akan menimbulkan kesulitan dalam proses pencerapan dan pengertiannya. Untuk itulah singkatan dan akronim (di)hadir(kan) dalam ruang berbahasa.

Dalam Ruang Bahasa Indonesia
Dalam Bahasa Indonesia, kehadiran singkatan dan akronim disambut dengan gegap-gempita oleh masyarakat-penutur. Ada ribuan singkatan dan akronim, baik yang baku maupun yang prokem, yang terserak dalam Bahasa Indonesia. KBBI Pusat Bahasa Edisi Keempat mencantumkan banyak sekali singkatan dan akronim (untuk tahu jumlah pastinya silahkan menghitung sendiri – KBBI tidak melampirkan jumlah singkatan dan akronim dalam statistika kamusnya).

Rupa singkatan dan akronim dalam Bahasa Indonesia terbilang khas alias unik. Beberapa contoh yang menarik dapat disua dalam lingkup lembaga militer (contohnya: AKABRI, Kopashas, Pangab, Tontaipur, Hankamrata, Peta, Cadek, dll); lingkup politik (contohnya: Panwaslu, Manipol, Nasakom); lingkup pidana (contohnya: Tipikor, Tipiring, dll); lingkup lembaga kepemerintahan (contohnya: Deplu, Menpora, dll); gabungan nama-nama kota (Joglosemar, Suramadu), dan masih bertebaran contoh lainnya.

Mari kita ambil beberapa contoh di atas, dan kita selisik betapa pembentukannya menyiratkan sebuah kesemerawutan. Yang pertama, ‘Deplu’. Ini jelas-jelas bukan singkatan. Untuk dikatakan akronim pun tidak memadai, meski sekilas wujudnya mirip. Kepanjangan ‘Deplu’ adalah Departemen Luar Negeri. Nah, ‘dep’ untuk departemen dan ‘lu’ untuk luar. Lalu, di manakah negri? Yang kedua, ‘Panwaslu’. Kepanjangannya adalah Panitia Pengawas Pemilu. Yak, ‘pan’ untuk panitia, ‘was’ untuk pengawas, dan ‘lu’ untuk pemilu. Di sini, pembentukan akronimnya lebih mengagetkan lagi. ‘lu’ adalah penggalan dari pemilu, yang sebenarnya juga sudah merupakan akronim. Lalu, harus disebut apa dia? SingKron (singkatan-akronim)? Aneh!

Ada lagi perihal pembentukan akronim aneh yang disebabkan oleh kekagokan dalam penggunaan ejaan. Kita tahu bahwa ‘dj’ adalah bentuk ejaan lama dari ‘j’. Di Jawa Barat, ada sebuah universitas ternama, yang umum dikenal orang dengan ejaan U-n-i-v-e-r-s-i-t-a-s P-a-dj-a-dj-a-r-an. Lucunya, banyak sekali orang yang menyingkat nama universitas tersebut dengan Unpad. ‘d’ diambil dari dj. Menggelikan, bukan? Atau silahkan bertungkus-lumus dengan contoh yang ini. Di Yogyakarta, ada sebuah universitas swasta bernama Universitas Sanata Dharma (USD). Sampai setahun yang lalu, kampus ini memiliki ciri khas dalam bangunannya: berjendela banyak. Lema jendela, kalau ditulis dalam EYBD, adalah djendela. Banyak mahasiswanya yang memberi nama sanding pada universitas ini dengan USD (Universitas Seriboe Djendela). Hal ini menular pada salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di kampus itu. UKM itu disingkat TSD (Teater Seriboe Djendela). Dalam hal ini, nasib USD dan TSD serupa Unpad. Namun, banyakkah yang mempermasalahkannya?

Kalau singkatan lema Indonesia di lingkup internasional adalah INA, maka di Indonesia sendiri, banyak yang jatuh cinta pada penggalan Indo. Lihat: GAPEKINDO, Gapkindo, GAPPINDO, INDKINDO, INTAKINDO, dan IPERINDO. Yang terakhir ini membuat tawa terpaksa keluar. IPERINDO adalah singkatan dari Ikatan Perusahaan Industri Kapal Indonesia. Tengoklah, mereka lupa memasukkan penggalan untuk kata Kapal. Tetapi, banyakkah yang mengeluhkannya?

Ini adalah sebuah gejala khas dalam tata-cara pembentukan singkatan dan akronim di luar tata-cara yang sudah dibakukan di Indonesia. Agar dapat memahami (dan bukan untuk mengamini) gejala ini, orang harus memahami pula nalar hakiki perihal ciri khas yang selalu menonjol dalam suatu singkatan atau akronim: ‘lafal-mudah’, ‘enak-dengar’, dan ‘enak-lihat’ (sehingga ‘cepat-ingat’). Nalar itulah yang menjadi patokan, tak peduli walau hasilnya menggelitik secara anggitan linguistik.

Begitu pun, khususnya di masa Orde Baru, agaknya pembentukan singkatan dan akronim dalam Bahasa Indonesia mencapai titik ‘keganasannya’ yang tertinggi. Singkatan (dan juga kata serapan Inggris) menjadi hidangan wajib dalam menu tata-tutur para  pejabat, yang, seperti dikatakan Amin Sweeney, “berlumuran klise, tuna ironi, miskin sinonim, tanpa humor, dan ‘bergelemak-peak bertele-tele’, beradonan dengan akronim sinting seadanya,” (2005). Maka, seperti yang dengan nada cibir dicontohkan Sweeney, acap kali kita temukan istilah aneh bin ajaib semacam ‘Kasubbaglatsatfung’ atau ‘Kasubbaglitopsdik’. Wah, lihatlah, singkatan dan akronim di sini benar-benar menjadi sebuah tanda (linguistik) baru. Mereka ‘benar-benar’ menjadi sebuah lambang, simbol. Tapi, dengan sifatnya yang aneh bin ajaib itu, masih layakkah ia kita sebut sebagai ‘jembatan keledai’? Benarkah tidak ada nalar-makna yang hilang, terlebih ketika tidak banyak yang mempermasalahkannya?

Sumber Gambar
Pembodohan lewat Singkatan dan Akronim
Mari kita retas nalar ini menuju bahasan tentang pembodohan politik. Apa hubungan tabiat pemendekan kata atau frase dengan partai politik, atau lembaga politik secara umum di Indonesia? Relasi ketiganya setali-tiga-uang dengan apa yang digambarkan George Orwell dalam novel 1984. Di novel berlatar negara Inggris itu, seluruh nama departemen pemerintah mengalami peringkasan: Recdep (Records Department), Ficdep (Fiction Department), Minitrue (Ministry of Truth), dan lainnya. Di lampiran dari novel itu, Orwell menunjukkan bahwa pada dasawarsa awal abad dua puluh, gejala penyingkatan nama sudah menjadi ciri khas ‘bahasa politik’, yang paling mencolok terjadi di negara dan organisasi totaliter. Nazi, Comintern, dan Gestapo adalah beberapa contoh. Lebih pedas lagi, Orwell mengungkapkan bahwa, ketika tabiat singkat-menyingkat ini, yang sedianya muncul secara naluriah saja, direka dan dipakai dengan sadar oleh orang-orang politik dan pemerintahan, niscaya secara pelan namun mantap akan terjadi penggerusan ragam asosiasi makna yang hadir ketika nama itu tidak disingkat.

Bayangkan ada partai bernama Semangat Nasional Nusantara. Dari nama yang ‘mengigit’ itu, orang bisa menangkap asosiasi makna seperti: nasionalisme, gelora bela bangsa, kesadaran akan kemajemukan, visi revolusioner yang terpelihara, kehidupan  adil dan makmur, dll. Semuanya mengacu pada konsep makna yang mungkin terendus ketika nama itu dihadirkan lengkap. Tapi, coba kalau nama partai itu disingkat menjadi ‘PSNN’ atau ‘Semnara’. Tak pelak, nalar-makna singkatan itu mengacu pada sekedar partai peserta pemilihan umum bernomor urut sekian, berlambang apa, berwarna apa, menjagokan siapa dalam pemilihan presiden, dan berbagai rincian dangkal lainnya. ‘PSNN’ atau ‘Semnara’ bahkan dapat diucapkan nyaris tanpa berpikir, tidak seperti versi lengkapnya. Di sinilah pembodohan itu terletak. Orang tidak lagi susah-susah memikirkan anggitan makna penuh dari sebuah lembaga. Singkatan dan akronim yang telah ‘dipolitisir’ itu mengacu pada sesuatu yang sama mudahnya dikenali dengan nalar-makna kursi dan meja. Dan, maksud-kegunaannya pun sama terbatasnya dengan ‘kursi’ maupun ‘meja’. Untuk kasus ini, jangan lantunkan secara sempit dialog dalam drama Shakespeare, Romeo dan Juliet, “Apalah arti sebuah nama.”

***

Singkatan dan akronim memang menawarkan kemudahan berupa ‘lafal-mudah’, ‘enak-dengar’, ‘enak-lihat’, ‘gampang-ingat’, dan, yang bahaya, ‘tidak memeras pikiran’. Dan fitur ini memang cocok sekali dipakai buat kampanye (pembodohan) politik. Apalagi, (mungkin) banyak partai yang sebenarnya memang mengharapkan pemilih memberi suara buat mereka ‘tanpa perlu berpikir’. Benar begitu?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar