Senin, 09 Juli 2012

Dia Sahabatku

Sumber Gambar
Arimbi menunduk, manatapku tajam, ada gurat keheranan di dahinya yang tertutup oleh poni-poni rambutnya yang lucu itu. Aku tak bisa berbohong padanya, dan kupikir juga tak ada gunanya berbohong. Toh ini masalah yang biasanya, dan mestinya Arimbi juga sudah tahu apa jawabanku. Meskipun begitu karena, bagaimanapun juga dia sahabatku, dia yang sejak dulu berada di depanku ketika anak-anak badung mengejekku, dia yang meneriakkan amarahku ketika bibirku ini hanya dapat mengucap au-au dan gumam tak jelas. Dia yang setia memberikan pundaknya untukku menangis dan dialah satu-satunya yang memelukku sementara banyak orang yang enggan melakukannya, termasuk kakak perempuanku. Jadi, tak ada yang tak bisa kuungkapkan padanya.

“Kenapa diam saja? Ayo tuliskan alasanmu itu, atau bicara dengan tanganmu kalau kau tak bisa,” katanya, mulai ada nada kesal didalamnya.

“Aku minta maaf, bukan maksudku melakukan itu. Kemarin aku harus menjaga warung. Aku tak bisa menolak. Kau tahu, kan kalau Ibu tak akan mengijinkanku bertemu denganmu. Kau tentu tahu pendapat Ibu tentangmu?” kataku cepat menggerak-gerakkan kedua tanganku, membuat serangkaian bahasa isyarat yang hanya dimengerti oleh kaum minoritas sepertiku, kaum bisu. Tapi Arimbi merupakan pengecualian. Dia belajar bahasa isyarat itu bersamaku ketika bibirku terkunci waktu aku berumur 9 tahun, saat terjadi kecelakaan yang menewaskan ayah dan membuatku yatim sekaligus bisu hingga detik ini. Itu menjadi semacam bahasa yang hanya kami berdua mengerti ketika semua orang tak mengerti. Bahasa rahasia kami.

“Masa’ kamu nggak bisa bilang kalau mau pergi ke mana gitu...,” lanjut Arimbi.

“Kamu nyuruh aku bohong?”

Arimbi diam sejenak. Kemarin, kami memang janjian akan pergi ke warnet berdua, ada tugas dari kampus Arimbi dan dia memintaku untuk menemaninya. Tapi tiba-tiba saja Ibu menyuruhku untuk menggantikannya menjaga warung karena beliau mau ke Kantor Kecamatan mengurus surat C1 yang besok akan digunakan mbak Ratih untuk mencari beasiswa. Terpaksa Ibu menyuruhku karena hanya aku yang dirumah sementara yang lainnya sibuk sekolah. Meskipun biasanya Ibu tidak mengijinkanku untuk menjaga warung karena takut kalau nanti tetangga yang ingin membeli tidak jadi atau malah mereka komplain karena ‘aku’ yang menjaga bukan kakak atau adikku. Atau mungkin juga karena Ibu malu punya anak sepertiku?. Tak ada yang bisa dibanggakan oleh orang cacat sepertiku, sekalipun aku yang telah membiayai sekolah kakakku hingga dia hampir meraih gelar sarjana, dengan hanya mengandalkan kemampuan menjahitku yang tidak seberapa serta mesin jahit tua warisan nenek Ibu.

“Jadi Ibumu masih tetap bersikukuh tidak mengijinkanmu pergi kalau denganku?”

“Bukan hanya denganmu, tapi semua orang. Beliau nggak pernah ngijinin aku pergi dengan orang lain kecuali dengan kakak, adik, bahkan sendiri pun tidak boleh kecuali untuk mengantar pesanan baju. Inipun tadi aku bilangnya mau pergi ke rumah Budhe Idah, ngambil kerjaan,” jelasku cepat. Arimbi sepertinya hanya paham sepotong-potong saja dengan yang kukatakan barusan, tapi secara keseluruhan dia pasti paham. Aku pernah memberikan bahasa lebih banyak dan cepat daripada ini.

Dia mengangguk-anggukan kepalanya, masih dengan nada sangsi dengan alasanku. Tapi harusnya dia sudah tahu tentang aku yang tidak boleh bertemu dengannya.

Dua tahun lalu aku, seperti biasa baru pulang dari kursus menjahit dengan Budhe Rin yang masih kerabat jauh ayah saat tiba-tiba Arimbi datang menjemputku, padahal hari itu hujan lebat. Karena sepertinya semua orang lupa untuk menjemputku, aku pulang bersamanya. Tapi aku tidak tahu kalau hujan merupakan pantangan buatku. Esok paginya badanku demam dan selama tiga hari tidak bisa melakukan apapun. Semua orang merasa kesal karena bagaimanapun juga, kebisuanku sudah cukup merepotkan mereka, tidak perlu ditambah-tambahi dengan deman segala. Jadilah, sejak saat itu Ibu melarangku untuk bertemu dengan Arimbi. Tapi, seperti yang sudah kubilang, selama dua tahun ini kami masih sering bertemu dan nyaris beberapa kali ketahuan, tapi aku bisa menemukan alasan yang tepat.

Arimbi akhirnya menghembuskan nafas keras yang selalu berarti kalau dia tidak marah lagi. Aku tersenyum padanya dengan tulus yang dibalas serupa.

“Oke kalau begitu, ayo kita makan es-krim. Kemarin aku dapat undian berhadiah di Galeria. Kutraktir.”

Aku tersenyum lebar dan mengangkat kedua ibu jariku ke arahnya lalu mengambil sepedaku. Dia berjalan menjajariku dan kami menuju ke ujung jalan.
***
Dua jam kemudian aku sudah sampai dirumah. Kuturunkan pekerjaanku minggu ini dari boncengan sepeda lalu membawanya ke dalam. Ibu sedang duduk di kursi ruang tamu sambil meneliti beberapa kertas.

“Sudah pulang?” tanya Ibu pelan. Aku mengangguk pelan lalu meletakkan pekerjaanku di atas kursi di samping mesin jahitku.

“Tadi dari mana kamu?”

Aku menoleh ke arah ibu yang menatapku tajam. Apakah aku ketahuan?

“Aku mengambil kerjaan.”

“Selama ini?” tanya Ibu, “dua jam Ira...kamu mau bohong sama Ibu?”

Aku menggeleng pelan, tidak berani melihat ke arah Ibu.

“Tadi baru saja Dedek pulang dan dia bilang dia melihatmu sedang bersama dengan anaknya Pak Tirta itu.”

Aku menunduk...ketahuan!!! Ibu akan marah. Mestinya aku tidak seharusnya menemui Arimbi tadi.

“Jawab Ibu, Ira!!!” bentak Ibu keras.

Aku tetap menunduk, berusaha agar air mataku tidak jatuh. Kemarahan seseorang terhadapku selalu membuatku ingin menangis. Kemudian, aku mengangguk pelan. Tak ada gunanya berbohong. Ibu tidak pernah mengajari anak-anaknya untuk berbohong. Cepat atau lambat Ibu pasti tahu.

“Bagus, ya... sekarang kamu menjadikan pekerjaanmu sebagai kamuflase untuk menutupi pertemuan kamu dengan cewek tak tahu aturan itu. Sudah berapa lama Ira? Dua tahun? Pasti saat Ibu menyuruhmu untuk tidak menemuinya itu kamu tetap menemuinya juga? Dasar anak bodoh. Sudah bisu, tak bisa diatur!!!” teriak Ibunya keras.

Aku diam ditempatku sambil terisak.

“Apa yang kalian lakukan tadi, heh?!!! Jawab Ibu. Jangan hanya diam. Jangan hanya menangis.”

Aku mendongak, “Kami makan es-krim dan ngobrol. Itu saja,” kataku dengan bahasa isyarat. Tapi Ibu masih saja menatapku tajam.

“Dia tidak mengajakmu ke tempat lain, kan? Ke rumahnya?”

Aku menggeleng pelan.

“Pokoknya sekarang, kamu tidak boleh ke luar rumah. Kamu cacat, ngrepotin orang. Gimana kalau nanti nyasar? Terlebih lagi jangan pernah temui Arimbi itu. Sudah sering kali Ibu peringatkan, kan?”

“Tapi kenapa Ibu? Apakah dua tahun tidak bisa melunakkan hati Ibu untuk Arimbi? Arimbi baik pada Ira, Ibu. Arimbi tidak pernah berbuat jahat pada Ira,” jelasku lemah.

Ibu menatapku lebih tajam. Tapi ada yang lain dari mata Ibu. Ibu tampak...cemas? Aku tak tahu apa atau kenapa. Sudah terlalu lama Ibu mengungkapkan rasa tidak sukanya pada Arimbi, dan memang sudah saatnya Ibu berhenti bersikap tidak senang kepadanya.. Sejauh ini satu-satunya sahabatku adalah Arimbi.

“Apa kamu sudah lupa Ira?” tanya Ibu pelan. Kemarahannya mereda, dan sekarang beliau tampak was-was menatapku—masih setajam tadi, “apa kamu lupa apa yang dilakukannya dua tahun lalu padamu?”

Aku memutar memori sejenak. Dua tahun yang lalu? Saat Arimbi membuatku demam selam tiga hari? Tapi...tunggu selama beberapa minggu berikutnya, Arimbi tidak muncul di depanku. Dia menghilang. Kami berpapasan di jalan sewaktu aku mau pergi mengantarkan pesanan. Dia tampak kaget, entah untuk alasan apa. Juga gugup. Tapi setelah itu, dia bersikap biasa bahkan kami berteman lagi hingga saat ini. Pertemuan kami menjadi rahasia sampai hari ini. Dan sekarang Ibu tahu...

Aku menggeleng pelan.

Lalu entah mengapa Ibu mendesah tertahan. Lalu menundukkan kepalanya, “Duduklan,” pinta Ibu pelan.

Aku menurutinya dan duduk di kursi sebelah kiri. Masih merasa heran. Kenapa memangnya dengan Arimbi dan Ibu?

“Pokoknya, dengarkan Ibu, Arimbi bukan teman yang baik. Jangan pernah bergaul dengannya lagi. Dia bukan orang yang pantas untuk berteman denganmu. Kau dengar Ibu, kan?”

Aku masih tetap tak mengerti. Jadi masih saja aku menggerakkan tanganku, “Kenapa Ibu?”

“Tak ingatkah kau?” tiba-tiba saja aku menyadari kalau mbak Ratna telah bergabung dalam pembicaraan ini tanpa ku ketahui. Ibu juga sama kagetnya denganku. Beliau sepertinya ingin mengatakan sesuatu tapi mbak Ratna sudah melanjutkan, “dia orang yang hampir memperkosamu dua tahun lalu.”

Aku tercenung. Sepertinya kata-kata mbak Ratna barusan terlalu sulit untuk kupahami. Tapi bagian emosiku ternyata merespon dengan cepat. Tiba-tiba saja air mataku mengalir lagi. Dan tanpa perintah apapun, bayangan kejadian malam itu bangkit kembali dari pikiran bawah sadarku, seolah itu merupakan dokumen dengan password yang disimpan paling dalam sehingga tak mungkin dapat terbuka. Tapi sore ini, kenangan itu muncul lagi. Kejadian saat aku dijemput Arimbi, lalu dia membawaku pulang—bukan ke rumahku, tapi ke rumahnya. Dan kejadian di kamar itu...

Aku tahu sekarang kenapa Ibu tidak mau berurusan dengan keluarga Pak Tirta. Kenapa Ibu melarangku bertemu dengan Arimbi. Kenapa Ibu tidak mengijinkanku pergi. Atau mengapa Ibu seprotektif ini keadaku...

Air mataku mengalir lebih deras. Ibu mendekatiku lalu memelukku erat.

“Ibu tak tahu kalau memori itu entah kenapa terlupakan olehmu. Tapi Ibu bersyukur karena setidaknya kamu menjalani hari-hari setelah itu tanpa mengalami trauma sedikitpun. Tapi Ibu juga tidak mau kalau kamu tetap berhubungan dengan orang yang nyaris...nyaris melakukan itu, hanya karena kamu abnormal. Ibu menganggap kamu sama normalnya dengan anak Ibu yang lain, hanya saja perlu pemahaman lebih kalau Ibu ingin berbicara denganmu.”

Aku terisak di pelukan Ibu. Menentramkan hatiku. Entah sudah berapa tahun aku tidak merasakan perasaan hangat ini.

“Kamu spesial buat Ibu, karena kamu berbeda dengan orang lain. Ibu sayang sekali padamu.”

Air mata ini semakin membasahi, tidak hanya wajahku, tapi hati dan pikiranku yang selama 11 tahun ini kering dan haus oleh kesepian yang menggerogoti jiwa. Yang selama beberapa tahun itu pula disemaikan oleh Arimbi. Tapi entah kenapa nama Arimbi terhapus...

“Aku juga sayang Ibu,” batinku.

*Oleh Fatiharifah, Juara 1 Lomba Cerpen Difabel, Karina Kas Bantul 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar