Testpack kedua itu benar-benar membawa berita paling membahagiakan. Dengan gaya sok misterius, saya coba membuat suami saya penasaran. ‘Apa sih, Mi?’ Tanya nya dengan wajah ingin tahu. Benar saja, dua garis merah itu mengembangkan senyumnya yang hangat dan sangat saya cintai. Meski baru sebulan menikah di usia saya yang ke-25 dan suami 29 tahun, kami sangat bahagia bahwa anugerah itu diberikan Allah dengan begitu cepat.
Minggu-minggu awal kehamilan rasanya seperti masa transisi antara realita dan fana. Koq bisa ya saya merasakan hal seperti itu? ah, mungkin seperti inilah yang dinamakan kehamilan pertama. Perut saya masih selangsing dulu, tetapi mual dan muntah yang menandakan bahwa ada janin didalamnya menyadarkan saya bahwa saya ini sedang dititipi ‘Sebuah Titipan Yang Sangat Berharga dari Allah SWT’.
Sampai suatu saat kami pergi ke dokter kandungan. Kami takjub melihat janin kami yang bergerak-gerak seperti yang terlihat di layar Ultrasonografi itu. Subhanallah, ini nyata… bulatan seperti biji kacang itu akan menjadi bayi, anak kami yang pertama.
Belum habis rasa takjub kami, dokter mengatakan bahwa janin yang saya kandung sehat-sehat saja. Detak jantungnya normal dan insyaallah akan terus tumbuh seiring usia kehamilan. Alhamdulillah, ternyata semua baik-baik saja. Kondisi kesehatan saya juga tidak begitu mengkhawatirkan. Berat badan awal saya yang cuma 39kg dengan tinggi badan 155cm ternyata juga tidak perlu dirisaukan. Dalam hati, saya berjanji pada diri sendiri, saya akan menjaga buah hati kami dengan sungguh-sungguh, saya akan memenuhi nutrisinya, saya akan mengandungnya dengan segenap cinta. Dan, itulah janji saya ketika melihat dia pertama kali, berdetak riang di layar Ultrasonografi.
Minggu-minggu berikutnya, morning sickness, pegal-pegal dan keluhan ringan di kehamilan trimester pertama memang cukup mengganggu aktifitas saya yang cukup sibuk bekerja di sebuah perusahaan swasta di Yogyakarta. Namun, semua itu seperti tidak ada artinya ketika mengingat bahwa semuanya pertanda tumbuhnya si janin. Selain itu, dukungan yang saya terima dari suami, keluarga dan teman-teman cukup membakar semangat saya untuk terus menjaga si jabang bayi dalam rahim saya dan tetap beraktifitas seperti biasa, di kantor maupun di rumah. Suami saya selalu mengingatkan supaya saya tidak perlu memaksakan diri bekerja, takut nanti kecapekan, katanya. Tapi saya meyakinkan dia bahwa saya baik-baik saja.
Hingga awal tahun 2011, tepatnya tanggal 2 Januari 2011, pagi itu saya mimisan. Entah kenapa mendadak darah segar keluar dari hidung kiri saya. Untung eyang putri saya langsung memberikan daun sirih yang cukup ampuh mengatasi mimisan. Awalnya saya tidak terlalu khawatir dengan mimisan, karena dari yang saya baca di internet, hal seperti itu biasa terjadi pada ibu hamil di trimester kedua. Namun, mimisan yang saya alami semakin tidak wajar ketika darah mulai keluar tiap 8-10 jam sekali.
Empat januari 2011, mimisan saya mulai tidak terkendali. Pagi itu, jam 7 pagi darah keluar tak henti-hentinya dan masih saja keluar lewat lubang hidung sebelah kiri. Suami saya sudah berangkat bekerja, dan tinggal mertua saya yang berada di rumah. Tak lama saya di bawa ke UGD, RSUD Panembahan Senopati. Di sana, darah masih saja mengalir deras. Mau di sumbat dengan apapun, darah seperti tak terbendung. Darah yang tertelan pun keluar lewat mulut. Saya berkali-kali muntah darah.
Sekitar satu jam saya bergelut dengan mimisan yang tak wajar itu, akhirnya darah berhenti juga. Lubang hidung kiri saya ditampon. Saya dibawa ke bangsal dan bedrest di sana. Suami, ibu, mertua dan sepupu saya di sana. Wajah-wajah khawatir dan panik itu mengelilingi saya. Saya ingin sekali bilang bahwa saya baik-baik saja, tidak pusing atau mual atau apapun seperti yang mereka khawatirkan, tapi ternyata keadaan saya mendadak tidak seperti yang saya kira. Rasa dingin tiba-tiba menjalar dari kaki naik ke atas. Pelan dan pasti rasa dingin yang sangat itu seperti hendak menghentikan jantung dan paru-paru saya. Sesak sekali dada saya hingga saya tidak kuasa untuk berteriak minta tolong. Tubuh saya mulai lemas, bayangan mata saya mulai kabur, sekeliling saya mulai gelap. Ya Allah, rintih saya, kuatkan diri ini ya Allah, kuatkan janin ini, kuatkan kami, jangan ambil nyawa kami, dan beri saya kesempatan untuk mendampingi suami saya hingga kakek-nenek. Jeritku dalam ketidaksadaran.
Dalam hitungan detik itu ternyata mertua saya menyadari perubahan tubuh saya. Suami saya segera memanggil perawat dan mereka memanggil-manggil nama saya untuk menyadarkan saya. Dan, Alhamdulillah… Janin ini benar-benar menjadi alasan saya untuk tetap melanjutkan hidup dan Allah mengizinkan saya untuk menjaga titipannya.
Dokter mengatakan bahwa mimisan yang saya alami memang sangat dipengaruhi hormon kehamilan. Jika diobati dengan dosis tinggi sama saja akan membahayakan janin. Jalan satu-satunya hanya menunggu sampai hormon itu cukup stabil. Benar saja, setelah lima hari akhirnya mimisan itu berhenti sendiri. Meski saya harus membayarnya dengan transfusi darah sebanyak 5 kantong darah.
Tak lama setelah itu, saya kembali harus opname ke rumah sakit. Mimisan kembali menyerang pertahanan saya. Dan 2 kantong darah harus menggantikan darah segar yang keluar dari hidung saya. Saya pasrah, kembali hanya janin dan suami serta keluarga yang menjadi obat satu-satunya bagi saya.
Dibalik semua peristiwa itu, saya sadar. Saya ini hanya wanita biasa yang menjadi sangat luar biasa setelah Allah ‘memberi saya kepercayaan’ untuk menjaga titipanNya. Bukankah dengan begitu saya menjadi istimewa? Berbagai keluhan dan ketidakberdayaan yang saya alami ternyata bukan apa-apa, jika dibandingkan dengan setiap titik keajaiban yang saya alami selama sembilan bulan ini.
31 maret 2011 menjadi tanggal yang kami tunggu-tunggu. Dia, yang telah menjadi salah satu alasanku bertahan hidup, bayi kami akan lahir ke dunia. Saya akan menunggu hingga saat itu tiba.
Karang Anom, 16 Maret 2011
Yayun Ningsih
Dan, pada tanggal 24 Maret 2011, lahirlah bayi cantik itu. Kami memberinya nama “NAKEISHA TANAYUGA” yang berarti bidadari kehidupan kami (Yayun Ningsih dan Gatot Katon Purwoko). Karena dialah semangat hidup kami. Dia lahir sangat cantik dan penuh cinta, cinta kami. Alhamdulillah…
Kontributor: Yayun Ningsih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar