Menulis naskah buku, jika dilakukan sendirian, akan menjadi kegiatan yang sangat menyenangkan. Tetapi, jika dikerjakan bersama-sama dalam satu tim, akan lebih menantang. Karena kita dituntut untuk mampu menyelaraskan dan menyamarasakan naskah tersebut menjadi bacaan yang runtut, padu, dan mulus semulus jalan tol. Nah, di sinilah dibutuhkan strategi penyelarasan akhir serta kerjasama yang solid dan harmonis antaranggota.
Wajar, dan memang seperti itulah semestinya. Karena tidak selamanya dalam satu tim beranggotakan para penulis yang memiliki kemampuan menulis yang sama. Ada yang kemampuannya tinggi, sedang, atau jangan-jangan ada pula yang kemampuannya masih di bawah rata-rata. Tidak mungkin kan hasil tulisan yang masih gado-gado seperti itu asal saja dibawa ke meja redaksi tanpa diselaraskan dulu. Alih-alih membuahkan pujian, para editor justru akan uring-uringan karena mereka dipaksa memeras otak untuk membongkar dan menyelaraskan.
Atau, bisa juga editor uring-uringan karena gaya bahasa yang jomplang alias berat sebelah. Di bab pertama gaya bahasanya segar, ringan, dan penuh humor, eee… di bab kedua terasa kaku, berat, dan terlampau ilmiah. Maklum, penulis bab pertama seorang yang humoris, sementara yang kedua seorang saintis.
Saat memasuki bab ketiga, gaya bahasanya berubah menjadi seperti sang khatib yang sedang berkhutbah atau berpetuah. Begitu sampai di bab keempat, berubah lagi menjadi gaya bahasa odhong-odhong. Anda tahu kan odhong-odhong? Yaitu mainan dengan beraneka bentuk yang dinaiki anak-anak sebagai hiburan mereka. Ada yang berbentuk alat transportasi, binatang, atau lainnya. Gaya bahasa odhong-odhong, begitulah teman-teman editor menyematkan sebutan untuk gaya bahasa buku anak-anak.
Jika Anda membaca buku yang gaya bahasanya gado-gado seperti itu, tentu merasakan tidak nyaman atau bahkan ikut uring-uringan. Untuk itulah, sebelum diajukan ke meja redaksi, tim tersebut harus merancang strategi agar hasil akhir penulisan mereka selaras, sama rasa, juga sama gaya.
Setiap tim pastilah memiliki strategi yang berbeda. Ada yang menempuh cara dengan menunjuk satu orang sebagai eksekutor penyelaras akhir. Ada pula yang proses penyelarasan akhirnya dilakukan bersama-sama dalam satu “rapat paripurna”.
Namun langkah kerja seperti ini tidak berlaku untuk naskah-naskah antologi. Antologi cerpen, misalnya. Karena, untuk naskah antologi, semua orang sudah menyadari bahwa naskah tersebut adalah kumpulan dari beberapa cerpen yang ditulis lebih dari satu orang. Bahkan, dalam naskah antologi, masing-masing penulis justru diharapkan memunculkan karakter serta gaya khas mereka. Justru variasi gaya itulah yang menjadikan pembaca gila membacanya.
***
Belum lama ini saya mendapat amanah untuk membuat naskah tentang pernak-pernik berumah tangga dari A sampai Z, dari menjelang pernikahan sampai perselingkuhan atau bahkan perceraian, serta dari persoalan persetubuhan sampai melahirkan. Setidaknya ada 600 halaman yang harus dituntaskan bersama tim. Nah, di sinilah tantangannya. Harus ada strategi penyelarasan akhir untuk mengeksekusi naskah tersebut agar satu rasa dan satu gaya. Jangan sampai naskah tersebut diserahkan begitu saja kepada penerbit dalam kondisi masih “gado-gado”. Bisa ditebak, editor pasti kesal dan uring-uringan.
Cerita tentang editor yang kesal dan uring-uringan ini aku saksikan sendiri tadi pagi. Beberapa hari lalu, sebut saja Tim A, mereka mengirimkan naskah yang dikehendaki oleh penerbit. Karena harus cepat terbit, segeralah naskah itu dipoles sedemikian rupa oleh editor. Setelah proses penyuntingan rampung, dilanjutkan dengan proses setting dan layout. Ee… di tengah proses setting dan layout tiba-tiba datanglah email berikut:
“Maaf, Mas/Mbak. Saya Yudi, salah satu anggota Tim A. Naskah yang dikirimkan oleh temen-temen tim saya kemarin diabaikan saja. Ganti dengan naskah yang saya kirimkan ini. Karena yang kemarin kurang sempurna, sedangkan yang ini lebih lengkap dan sempurna. By: Yudi.”
Brrraaakkkkk….!!!! Terdengar suara keras dari meja editor disertai kata-kata umpatan dan sumpah serapah.
“Gila bener penulis ini! Apa dia tidak memahami bagaimana lelahnya editor yang sudah ‘berdarah-darah’ menyulap naskah gado-gadonya ini menjadi layak baca?! Eee… lha kok tiba-tiba dengan seenaknya minta dibatalkan dan diganti dengan versi baru yang katanya lebih lengkap dan sempurna,” murka sang editor.
Editor yang lain menyahut, “Sudahlah, naskah versi baru yang menurut Mas Yudi lebih lengkap dan sempurna itu kita abaikan saja. Toh, itu kan hanya subjektivitas Mas Yudi sendiri. Bukan timnya.”
Mbak Yuli, admin di penerbit itu pun ikut bersuara, “Iya, kasihan juga tuh si Baskom, setter dan layouter kita. Dia juga sudah capek-capek lembur untuk menata naskah tersebut.”
Di dunia ini tidak ada yang sempurna. Termasuk dalam dunia tulis-menulis dan penerbitan. Apa yang ditulis di buku A, mungkin tidak tertulis di buku B. Apa yang tertulis di buku B, bisa jadi tidak tertutur di buku C. Begitulah yang terjadi, sehingga masing-masing buku akan saling melengkapi. Begitu pula tulisan atau artikel di blog kita, pastilah tidak sempurna. Ada plus dan minusnya.
***
Sahabat blogger, pelajaran apa yang bisa kita gamit dari cerita kesal dan uring-uringan sang editor di atas?
1. Editor adalah partner penulis. Tulisan seorang penulis menjadi indah dan apik sehingga disukai pembaca, itu tidak lepas dari bantuan seorang editor. Bahkan, boleh jadi justru editor itulah yang telah menyulap tulisan seorang penulis sehingga menjadi begitu istimewa. Hanya saja, nasib berbicara lain. Penulis begitu mudah dikenal dan dipuja pembaca, sementara editor harus ikhlas “lillahi ta’ala” karena pembaca memang tidak pernah peduli kepadanya. Jadi, pahami dan hargailah perjuangan keras seorang editor yang telah memoles naskah Anda.
2. Buatlah sang editor cinta kepada Anda. Ups, maksud saya, buatlah editor cinta terhadap hasil tulisan Anda. Di antara caranya adalah dengan menerapkan prinsip 3T (Tepat waktu pengerjaan, Tepat isi naskah, dan Tepat bahasa). Anda bisa menambahkan “Te…Te…” lain yang bisa membuat editor semakin jatuh cinta.
3. Jangan pernah secara tiba-tiba, atau dalam bahasa Jawanya disebut mak bedundu’ atau ujuk-ujuk, Anda mengirimkan naskah yang Anda sebut sebagai versi revisi atau penyempurna dari naskah sebelumnya. Padahal naskah yang sebelumnya sudah melewati fase editing, atau bahkan sudah masuk proses film. Bisa marahlah mereka.
Dengan terlewatinya proses editing hingga hendak difilm, berarti naskah Anda sudah dinyatakan sehat oleh redaksi. Kalaupun mereka memandang tidak sehat atau ada beberapa kekurangan, pastilah mereka akan menghubungi Anda untuk membenahi atau merevisi.
Kalaupun mau mengirim naskah penyempurnanya, hendaklah terlebih dahulu menanyakan kepada rekan-rekan di redaksi apakah naskah yang kemarin dikirim sudah diedit atau belum? Jika belum, tentu mereka dengan senang hati akan memproses versi revisi atau penyempurnanya. Tapi jika sudah diedit atau bahkan hampir difilm, Anda harus merelakan naskah tersebut apa adanya. Jangan paksa mereka untuk membongkar ulang.
4. Jika Anda mengerjakan satu tema naskah dalam satu tim, kuatkan koordinasi antaranggota tim. Siapkan strategi untuk menyelarasakhirkan naskah tersebut sehingga antarbab atau antarbagian dalam buku lebih terasa padu, harmonis, dan tidak amburadul.
Apa yang terjadi dengan Tim A sebagaimana kisah di atas kemungkinan besar disebabkan kurang adanya koordinasi di antara mereka sehingga secara sepihak dan tiba-tiba Mas Yudi mengajukan versi lain yang menurutnya lebih lengkap dan sempurna. Akhirnya, terjadilah tragedi di atas.
Demikian sebagian kecil catatan saya tentang strategi “mencuri hati” sang editor. Tentu masih banyak strategi lain yang belum tertuturkan di sini. Nah, untuk melengkapi dan menyempurnakannya, silakan Anda lengkapi dan sempurnakan sendiri.
Salam literasi!
Dan, salam sukses!
Kontributor tulisan: Irham Sya'roni
Sumber gambar: dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar