Sabtu, 03 November 2012

Luka Kedua

Dan kau bilang apa pada awan yang bersederak? Apa kau ceritakan tentang kesedihan layu atau tentang buruknya perangai manusia pada hatimu? Hey, jawab aku! Jangan diam seperti patung. Menoleh pada lazuardi pun , kau tak mampu. Lalu apa yang bisa kau banggakan untuk membungkam mulut mulut pencabik murninya hatimu. Sekali lagi aku minta, katakanlah!

Gemerisik angin dan ombak kecil itu berlarian. Mereka memaksaku bercerita tentang masalah yang selalu sama, tentang hati. Aku bisa saja menjawab dengan bisikan halus yang lirih, agar tak semua orang tahu kepedihan yang mencengkeramnya, tapi apa aku harus mengulangi cerita yang sama setiap hari. Tak bosankah mereka mendengar ceritaku. Cerita yang sama tapi dengan luka yang berbeda.

Perahuku terhenti, gegap gempita ku lihat dari arah selaras dari tempatku, para istri nelayan meriuh riuh mendatangi suami suami mereka yang berpeluh. Ada gelak tawa, rindu yang membahana, dan bisikan rindu yang tabu untuk khalayak.

Aku bisa merasakan lagi sesak di dadaku, yang tak bisa hilang meski aku menghela nafas berkali kali. Sebuah masa yang kuingini juga dalam fase hidupku. Suatu ujung penantian yang akhirnya bisa membuatku bahagia menjalani hari tua. Tepukan halus di pundak membuyarkan aroma nestapa dalam diriku. Rukmana, gadis belia yang sedari tadi melihatku melamun.

“Aih, mbak Ratih. Melamun di siang bolong tidak baik lo, Mbak. Pamali.” Sahutnya sambil terkekeh.

Aku tersipu, dan menggamit lengannya, kami berjalan pulang beriringan. Sepanjang jalan, aku lebih banyak diam dan Rukmana berceloteh tentang apapun yang ada di pikirannya.

“Mbak Ratih, kenalin saya sama akang akang ganteng teman mbak Ratih.” Ujar Rukmana saat itu.

“Ah, Rukma. Saya saja belum dapat, kenapa harus dikasih ke orang?” sahutku ringan. Kami berdua lalu tertawa bersama.

Siang itu, rumahku sepi. Hanya Suriyem yang sedang sibuk meracik ikan kerapu, pemberian dari tetangga lepas sore kemarin. Aku mempersilahkan Rukamana mampir, sekalian dia akan membantuku mencetak undangan undangan pernikahan pesanan tetangga. Bola mata gadis belia itu nampak berbinar melihat kertas warna warni undangan yang ku desain beberapa hari kemarin. Percetakan undangan ini, sudah ku tekuni lepasaku kuliah. Mimpiku, kelak aku bisa mendesain warna warni cantik undangan untuk pernikahanku, namun rupanya, masa masa itu terlambat sekali datangnya.

“Aih, Mbak Ratih, aku juga mau dibuatkan yang cantik seperti ini.” Pungkas Rukmana sambil memperlihatkan undangan berwarna cokelat dan corsage gold yang klasik. Wajah gadis yang baru menginjak angka 20 ini begitu serius.

“Rukma, mau nikah sama siapa? Wis ono calone durung?”

Gadis di depanku, diam masih tersipu sipu, rupanya memang benar, dia akan segera menikah.

Ini hari pernikahan Rukmana, Gadis dari dusun sebelah yang periang, wajahnya manis dan berkulit sawo matang. Rukma, aku biasa memanggilnya demikian, dia terbiasa membantuku mencetak dan mengepak ratusan undangan pernikahan pesanan tetangga atau nelayan nelayan dari kenalan bapakku. Aku sendiri yang mendesain undangan pernikahan Rukma sesuai dengan keinginannya kala ia bertandang ke rumahku. Meski tamatan Madrasah Tsanawiyah, dia sangat cekatan dan terampil membuat kue, orang orang sering meminta bantuannya untuk membuat kue pernikahan atau jajanan pasar yang akan dilarungkan ke laut.

Malam itu aku siap dengan seserahan yang ku hias penuh dengan corsage mawar merah, kesukaan Rukmana dan cukup match dengan gaun gamis warna merah hati yang ku pakai. Ibu menemaniku, dengan rantang berisi beras, gula, dan kopi.

Pernikahan pun dimulai, Srakalan, Pembacaan ayat suci Al Quran surah Ar Rum: 22, Ijab Kabul yang dipimpin oleh penghulu, dan doa doa para tamu  menghujam menembus langit membuatku menitikkan air mata. Di tengah prosesi, aku tertegun sejenak. Gadis periang, bernama Rukmana meminta suaminya membacakan surah Ar Rahman sebagai kelengkapan mahar yang telah ia syaratkan. Suaranya syahdu dengan intonasi dan tekanan yang terkadang halus, terkadang kuat, menandakan kefasihan sang suami dalam membaca kalimat kalimat cinta dari Tuhan.

Sesak dan panas yang muncul dari hatiku menguak perlahan lahan, pria yang tengah melafalkan ayat ayat Tuhan itu, adalah pria yang sama dengan pria yang 3 tahun lalu mendatangi ayahku, memintaku menjadi istrinya, dengan kerendahan hati yang begitu dalam. Pria yang datang dengan kesederhanaan dan jiwa yang teramat tulus padaku. Aku bukannya merasa keberatan, namun statusnya sebagai duda beranak satu, membuat bapak dan ibu enggan dan tak berkenan. Keluarga besarku masih melihatku sebagi kembang desa yang baru merekah, seorang sarjana lulusan desain grafis dari universitas ternama di ibu kota provinsi, atau parasku yang berbeda dari gadis gadis kampung pesisir ini. Mereka menggadang gadangku dengan pria yang jauh lebih hebat dari pria di depanku kini.

Nyatanya, aku masih disini berdiri hampa, mengusap penyesalan dalam hati yang masih melirih lirih. Wajah dan prestasiku jelas tak mampu bicara apapun, hanya gelindingan waktu yang akan menjawab satu persatu misteri Tuhan ini. Entah kapan, aku bisa tersenyum seperti Rukma, atau menitikkan air mata saat sungkem dengan bapak ibukku. Bayangan manis yang kadang pudar ditelan pembicaraan menyakitkan khas orang orang kampung pesisir atau tenggelam dalam keputusasaan yang telah lama menggerogoti.

Ibuku setiap hari dilanda pilu. Pembicaraan khas orang orang pesisir tentang statusku, yang tak kunjung beroleh calon,tentang masa depanku, tentang kutukan kutukan dengan pedoman mitos yang membelenggu perlahan lahan membuat pertahanan wanita yang berajak senja itu patah. Menyesali asal muasal sikapnya pada setiap pria yang meminangku.

“Apa kata sesepuh itu, ya mbok dituruti, pantangan anak gadis menolak lamaran pria baik baik.” Ujar tetanggaku suatu kali.

“Kamu harusnya ke orang pinter, Nduk. Sapa tahu ada yang ndak suka karo bapakmu.” Sesekali pak lekku mengingatkan ku.

Atau suara suara serupa yang menggerogoti hatiku. Bapak dan ibu sudah mencarikan ku jodoh kemana mana. Mulai dari kontraktor, hingga pemuda nelayan di kampung ku. Semuanya kandas dan tak pernah berujung pada pernikahan. Alasannya belum juga ketemu hari baik, atau pantangan melangkahi pernikahan saudara mereka. Semuanya tentang mitos yang sejak aku kuliah tak pernah kepercayai lagi. Lantas, sekarang mitos mitos inilah yang menyerangku, membungkam semua logika yang menyelami pikiranku. Aku harus apa, nasib sudah terlanjur ku tenggelamkan dalam keputus asaan yang menyeka impianku.

Dan Rukmana, dalam suatu pagi yang begitu awal. Saat aku benar benar dilanda kekalutan sejadi jadinya telah sedikit membuka celah kedamaian dalam hatiku. Ini saatnya aku berdamai dengan badai gunjingan.

“Mbak, Tuhan itu maha kaya. Dia bisa kasih rizki kapan saja. Tapi mungkin belum waktunya.”

Ya Allah, apabila rizqi kami di atas langit, turunkanlah, bila dalam bumi, keluarkanlah, bila sukar, mudahkanlah, bila haram, sucikanlah, bila jauh, dekatkanlah, dengan hak waktu dluhaa, keagungan, kebagusan, kekuatan dan kekuasaan-Mu. Berilah kepada kami apa-apa yang telah Engkau berikan kepada hamba-hamba-Mu yang shalih-shalih.

Bukankah begitu, Mbak?”

Bukankah itu doa yang biasa dilangitkan usai dhuha, kalimat ini sungguh terasa menetramkan. Inilah aku, tak perlu lagi mendengarkan ucapan yang membuat hatiku menjadi pedih. Ucapan Rukmana benar. Aku hanya ingin memperbaiki kualitas diriku, syukurku, dan baktiku pada ayah ibu yang cintanya tak pernah purna. Itu saja.

Suatu malam, saat purnama dalam pelukan awan. Temaramnya tak lagi sebenderang kemarin. Gemerisik angin juga tak mau kalah menguntai doa pada malaikat malaikat penghuni surga. Aku pun demikian, menyentuh kelam dalam hatiku, mengambil dalam dalam pengakuan terbesar dari nuraniku. Suara riang menghentikan kontemplasiku malam ini. Gadis periang yang sederhana itu menyapaku dari balik selendang biru yang dikenakannya. Matanya berkabut, bola matanya tak lagi bening seperti dulu, saat kami masih sering menukar cerita tentang pria idaman. Wajahnya cekung dan pucat. Ada rona sendu yang tak mampu ku tangkap dari balik malam dan gemuruh ombak.

“Rukmana, sedang apa kamu malam malam disini?” Suamimu nanti mencari. Keluhku pada gadis itu.

Rukma tersenyum tipis, tubuhnya bergeser mendekati tempatku duduk mencandai ombak.
“Aku tahu mbak disini, makanya aku kemari.” Ucapnya bias masih dengan kabut di bola matanya.

“Lha, cari aku rupanya. Kan bisa minta tolong Mbak Suriyem untuk memanggilku, kita bisa ngobrol di rumah, disini kan adem.” Tawarku kala itu.

Dia tersenyum dalam remangnya purnama yang masih diselimuti awan, tangannya sibuk memainkan ujung selendang, sedang kakinya menendang bongkahan batok kelapa. Aku masih tak mengerti kedatangan Rukmana, gadis itu masih diam, dan aku tak kuasa untuk bertanya. Yang ku duga dia sedang menghadapi masalah yang pelik.

Tembang jawa dan sholawatan silih berganti mewarnai gegap gempitanya pesta rakyat hari ini. Semua wajah nampak dibuai kebahagiaan yang mendayu dayu. Belasan rangkaian bunga telah tumpah memenuhi ruang pelaminan. Sorak sorai muda mudi memadati halaman rumahku. Rumah yang telah lama menanti acara ini, bertahun tahun.

Ibu dan Bapak telah bersiap dengan pakaian adat. Wajah mereka dipenuhi rona bahagia yang memuncak. Tak akan ada lagi bisikan tetangga yang membuat tidur beliau berdua tak nyenyak, tak ada lagi kekhawatiran pada hari tua mereka. Anak gadis mereka satu satunya telah disunting orang. Bahagianya pasti tak dapat diterka.

Dan aku. Masih dilanda perasaan buncah yang mengharu biru dalam dadaku. Menikah! Ya menikah. Satu satunya mimpi yang selalu kuharap lebih cepat terlaksana kini bisa jadi kenyataan, bayangan diriku untuk sungkem pada bapak dan ibu kini sudah di depan mata. Menikah dengan suami yang bacaan Qurannya indah, akhirnya terwujud. Ijab kabul telah terlaksana, doa doa para tamu telah dilangitkan, dan gelegar wejangan dari sanak saudara telah ku tuai dengan keridhaan yang dalam.

Suamiku seorang yang pekertinya teramat mulia, teramat mencintai istrinya dan memiliki suara indah saat melantunkan kalimat kalimat cinta dari Tuhan adalah lelaki yang sama dengan pria yang setahun lalu telah mengikat janji suci dengan gadis periang bernama Rukmana.

Wanita saat tak sanggup membahagiakan prianya, adalah hal paling sekarat baginya. Apalagi meminta sang suami menikahi perempuan lain karena penyakit yang mengerogoti umurnya. Sakitanya bertambah tambah, dan Rukmana melakukannya.

Malam itu teramat melelahkan bagiku dan kami semua. Dalam deburan ombak yang bertalu talu aku menggenggam lekat tangan pria disampingku seolah tak hendak membiarkannya pergi kemana mana. Nisan itu telah menjadi ingatan abadi tentang semua kebersamaan ini, bagiku dia wanita yang jiwanya kan selau hidup menemani biduk rumah tangga yang ku jalani dengan suaminya, suamiku.

Rukmana, menggantikan tempatmu, bukanlah hal mudah, tapi ketangguhan dan kesederhanaanmu memaknai hidup, memacuku memanataskan diri dengannya, dengan pria yang sama sama kita cintai. Kini rizkiku telah sampai di waktunya, Tuhan tidak pernah ingkar janji.

Oleh: Resty Mustika Maharani, Surabaya
Sumber Gambar di Sini
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar