Gemerisik angin dan ombak kecil itu
berlarian. Mereka memaksaku bercerita tentang masalah yang selalu sama, tentang
hati. Aku bisa saja menjawab dengan bisikan halus yang lirih, agar tak semua
orang tahu kepedihan yang mencengkeramnya, tapi apa aku harus mengulangi cerita
yang sama setiap hari. Tak bosankah mereka mendengar ceritaku. Cerita yang sama
tapi dengan luka yang berbeda.
Perahuku terhenti, gegap gempita ku
lihat dari arah selaras dari tempatku, para istri nelayan meriuh riuh
mendatangi suami suami mereka yang berpeluh. Ada gelak tawa, rindu yang
membahana, dan bisikan rindu yang tabu untuk khalayak.
Aku bisa merasakan lagi sesak di dadaku,
yang tak bisa hilang meski aku menghela nafas berkali kali. Sebuah masa yang
kuingini juga dalam fase hidupku. Suatu ujung penantian yang akhirnya bisa
membuatku bahagia menjalani hari tua. Tepukan halus di pundak membuyarkan aroma
nestapa dalam diriku. Rukmana, gadis belia yang sedari tadi melihatku melamun.
“Aih, mbak Ratih. Melamun di siang
bolong tidak baik lo, Mbak. Pamali.” Sahutnya sambil terkekeh.
Aku tersipu, dan menggamit lengannya,
kami berjalan pulang beriringan. Sepanjang jalan, aku lebih banyak diam dan
Rukmana berceloteh tentang apapun yang ada di pikirannya.
“Mbak Ratih, kenalin saya sama akang
akang ganteng teman mbak Ratih.” Ujar Rukmana saat itu.
“Ah, Rukma. Saya saja belum dapat,
kenapa harus dikasih ke orang?” sahutku ringan. Kami berdua lalu tertawa
bersama.
Siang itu, rumahku sepi. Hanya Suriyem
yang sedang sibuk meracik ikan kerapu, pemberian dari tetangga lepas sore
kemarin. Aku mempersilahkan Rukamana mampir, sekalian dia akan membantuku mencetak
undangan undangan pernikahan pesanan tetangga. Bola mata gadis belia itu nampak
berbinar melihat kertas warna warni undangan yang ku desain beberapa hari
kemarin. Percetakan undangan ini, sudah ku tekuni lepasaku kuliah. Mimpiku,
kelak aku bisa mendesain warna warni cantik undangan untuk pernikahanku, namun
rupanya, masa masa itu terlambat sekali datangnya.
“Aih, Mbak Ratih, aku juga mau dibuatkan
yang cantik seperti ini.” Pungkas Rukmana sambil memperlihatkan undangan
berwarna cokelat dan corsage gold
yang klasik. Wajah gadis yang baru menginjak angka 20 ini begitu serius.
“Rukma, mau nikah sama siapa? Wis ono calone durung?”
Gadis di depanku, diam masih tersipu
sipu, rupanya memang benar, dia akan segera menikah.
Ini hari pernikahan Rukmana, Gadis dari
dusun sebelah yang periang, wajahnya manis dan berkulit sawo matang. Rukma, aku
biasa memanggilnya demikian, dia terbiasa membantuku mencetak dan mengepak
ratusan undangan pernikahan pesanan tetangga atau nelayan nelayan dari kenalan
bapakku. Aku sendiri yang mendesain undangan pernikahan Rukma sesuai dengan
keinginannya kala ia bertandang ke rumahku. Meski tamatan Madrasah Tsanawiyah,
dia sangat cekatan dan terampil membuat kue, orang orang sering meminta
bantuannya untuk membuat kue pernikahan atau jajanan pasar yang akan
dilarungkan ke laut.
Malam itu aku siap dengan seserahan yang
ku hias penuh dengan corsage mawar
merah, kesukaan Rukmana dan cukup match
dengan gaun gamis warna merah hati yang ku pakai. Ibu menemaniku, dengan
rantang berisi beras, gula, dan kopi.
Pernikahan pun dimulai, Srakalan, Pembacaan ayat suci Al Quran
surah Ar Rum: 22, Ijab Kabul yang dipimpin oleh penghulu, dan doa doa para
tamu menghujam menembus langit membuatku
menitikkan air mata. Di tengah prosesi, aku tertegun sejenak. Gadis periang,
bernama Rukmana meminta suaminya membacakan surah Ar Rahman sebagai kelengkapan
mahar yang telah ia syaratkan. Suaranya syahdu dengan intonasi dan tekanan yang
terkadang halus, terkadang kuat, menandakan kefasihan sang suami dalam membaca
kalimat kalimat cinta dari Tuhan.
Sesak dan panas yang muncul dari hatiku
menguak perlahan lahan, pria yang tengah melafalkan ayat ayat Tuhan itu, adalah
pria yang sama dengan pria yang 3 tahun lalu mendatangi ayahku, memintaku
menjadi istrinya, dengan kerendahan hati yang begitu dalam. Pria yang datang
dengan kesederhanaan dan jiwa yang teramat tulus padaku. Aku bukannya merasa
keberatan, namun statusnya sebagai duda beranak satu, membuat bapak dan ibu
enggan dan tak berkenan. Keluarga besarku masih melihatku sebagi kembang desa
yang baru merekah, seorang sarjana lulusan desain grafis dari universitas
ternama di ibu kota provinsi, atau parasku yang berbeda dari gadis gadis
kampung pesisir ini. Mereka menggadang gadangku dengan pria yang jauh lebih
hebat dari pria di depanku kini.
Nyatanya, aku masih
disini berdiri hampa, mengusap penyesalan dalam hati yang masih melirih lirih.
Wajah dan prestasiku jelas tak mampu bicara apapun, hanya gelindingan waktu
yang akan menjawab satu persatu misteri Tuhan ini. Entah kapan, aku bisa
tersenyum seperti Rukma, atau menitikkan air mata saat sungkem dengan bapak
ibukku. Bayangan manis yang kadang pudar ditelan pembicaraan menyakitkan khas
orang orang kampung pesisir atau tenggelam dalam keputusasaan yang telah lama
menggerogoti.
Ibuku setiap hari
dilanda pilu. Pembicaraan khas orang orang pesisir tentang statusku, yang tak
kunjung beroleh calon,tentang masa depanku, tentang kutukan kutukan dengan
pedoman mitos yang membelenggu perlahan lahan membuat pertahanan wanita yang
berajak senja itu patah. Menyesali asal muasal sikapnya pada setiap pria yang
meminangku.
“Apa kata sesepuh itu,
ya mbok dituruti, pantangan anak
gadis menolak lamaran pria baik baik.” Ujar tetanggaku suatu kali.
“Kamu harusnya ke orang
pinter, Nduk. Sapa tahu ada yang ndak
suka karo bapakmu.” Sesekali pak
lekku mengingatkan ku.
Atau suara suara serupa
yang menggerogoti hatiku. Bapak dan ibu sudah mencarikan ku jodoh kemana mana.
Mulai dari kontraktor, hingga pemuda nelayan di kampung ku. Semuanya kandas dan
tak pernah berujung pada pernikahan. Alasannya belum juga ketemu hari baik,
atau pantangan melangkahi pernikahan saudara mereka. Semuanya tentang mitos
yang sejak aku kuliah tak pernah kepercayai lagi. Lantas, sekarang mitos mitos
inilah yang menyerangku, membungkam semua logika yang menyelami pikiranku. Aku
harus apa, nasib sudah terlanjur ku tenggelamkan dalam keputus asaan yang
menyeka impianku.
Dan Rukmana, dalam
suatu pagi yang begitu awal. Saat aku benar benar dilanda kekalutan sejadi
jadinya telah sedikit membuka celah kedamaian dalam hatiku. Ini saatnya aku
berdamai dengan badai gunjingan.
“Mbak, Tuhan itu maha
kaya. Dia bisa kasih rizki kapan saja. Tapi mungkin belum waktunya.”
Ya
Allah, apabila rizqi kami di atas langit, turunkanlah, bila dalam bumi,
keluarkanlah, bila sukar, mudahkanlah, bila haram, sucikanlah, bila jauh,
dekatkanlah, dengan hak waktu dluhaa, keagungan, kebagusan, kekuatan dan
kekuasaan-Mu. Berilah kepada kami apa-apa yang telah Engkau berikan kepada
hamba-hamba-Mu yang shalih-shalih.
Bukankah begitu, Mbak?”
Bukankah itu doa yang
biasa dilangitkan usai dhuha, kalimat ini sungguh terasa menetramkan. Inilah
aku, tak perlu lagi mendengarkan ucapan yang membuat hatiku menjadi pedih.
Ucapan Rukmana benar. Aku hanya ingin memperbaiki kualitas diriku, syukurku,
dan baktiku pada ayah ibu yang cintanya tak pernah purna. Itu saja.
Suatu malam, saat
purnama dalam pelukan awan. Temaramnya tak lagi sebenderang kemarin. Gemerisik
angin juga tak mau kalah menguntai doa pada malaikat malaikat penghuni surga.
Aku pun demikian, menyentuh kelam dalam hatiku, mengambil dalam dalam pengakuan
terbesar dari nuraniku. Suara riang menghentikan kontemplasiku malam ini. Gadis
periang yang sederhana itu menyapaku dari balik selendang biru yang
dikenakannya. Matanya berkabut, bola matanya tak lagi bening seperti dulu, saat
kami masih sering menukar cerita tentang pria idaman. Wajahnya cekung dan
pucat. Ada rona sendu yang tak mampu ku tangkap dari balik malam dan gemuruh
ombak.
“Rukmana, sedang apa
kamu malam malam disini?” Suamimu nanti mencari. Keluhku pada gadis itu.
Rukma tersenyum tipis,
tubuhnya bergeser mendekati tempatku duduk mencandai ombak.
“Aku tahu mbak disini, makanya aku kemari.” Ucapnya bias masih dengan kabut di bola matanya.
“Aku tahu mbak disini, makanya aku kemari.” Ucapnya bias masih dengan kabut di bola matanya.
“Lha, cari aku rupanya.
Kan bisa minta tolong Mbak Suriyem untuk memanggilku, kita bisa ngobrol di
rumah, disini kan adem.” Tawarku kala
itu.
Dia
tersenyum dalam remangnya purnama yang masih diselimuti awan, tangannya sibuk
memainkan ujung selendang, sedang kakinya menendang bongkahan batok kelapa. Aku
masih tak mengerti kedatangan Rukmana, gadis itu masih diam, dan aku tak kuasa
untuk bertanya. Yang ku duga dia sedang menghadapi masalah yang pelik.
Tembang jawa dan
sholawatan silih berganti mewarnai gegap gempitanya pesta rakyat hari ini.
Semua wajah nampak dibuai kebahagiaan yang mendayu dayu. Belasan rangkaian
bunga telah tumpah memenuhi ruang pelaminan. Sorak sorai muda mudi memadati
halaman rumahku. Rumah yang telah lama menanti acara ini, bertahun tahun.
Ibu dan Bapak telah
bersiap dengan pakaian adat. Wajah mereka dipenuhi rona bahagia yang memuncak.
Tak akan ada lagi bisikan tetangga yang membuat tidur beliau berdua tak
nyenyak, tak ada lagi kekhawatiran pada hari tua mereka. Anak gadis mereka satu
satunya telah disunting orang. Bahagianya pasti tak dapat diterka.
Dan aku. Masih dilanda
perasaan buncah yang mengharu biru dalam dadaku. Menikah! Ya menikah. Satu
satunya mimpi yang selalu kuharap lebih cepat terlaksana kini bisa jadi
kenyataan, bayangan diriku untuk sungkem pada bapak dan ibu kini sudah di depan
mata. Menikah dengan suami yang bacaan Qurannya indah, akhirnya terwujud. Ijab
kabul telah terlaksana, doa doa para tamu telah dilangitkan, dan gelegar
wejangan dari sanak saudara telah ku tuai dengan keridhaan yang dalam.
Suamiku seorang yang
pekertinya teramat mulia, teramat mencintai istrinya dan memiliki suara indah
saat melantunkan kalimat kalimat cinta dari Tuhan adalah lelaki yang sama
dengan pria yang setahun lalu telah mengikat janji suci dengan gadis periang
bernama Rukmana.
Wanita saat tak sanggup
membahagiakan prianya, adalah hal paling sekarat baginya. Apalagi meminta sang
suami menikahi perempuan lain karena penyakit yang mengerogoti umurnya.
Sakitanya bertambah tambah, dan Rukmana melakukannya.
Malam itu teramat
melelahkan bagiku dan kami semua. Dalam deburan ombak yang bertalu talu aku
menggenggam lekat tangan pria disampingku seolah tak hendak membiarkannya pergi
kemana mana. Nisan itu telah menjadi ingatan abadi tentang semua kebersamaan
ini, bagiku dia wanita yang jiwanya kan selau hidup menemani biduk rumah tangga
yang ku jalani dengan suaminya, suamiku.
Rukmana, menggantikan
tempatmu, bukanlah hal mudah, tapi ketangguhan dan kesederhanaanmu memaknai
hidup, memacuku memanataskan diri dengannya, dengan pria yang sama sama kita
cintai. Kini rizkiku telah sampai di waktunya, Tuhan tidak pernah ingkar janji.
Oleh: Resty
Mustika Maharani, Surabaya
Sumber Gambar di Sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar