Di awal dekade Islam, yaitu tatkala Rasulullah Saw
mendapat wahyu dari Allah Swt lewat perantara malaikat Jibril,
Rasulullah Saw menyuruh para sahabatnya untuk menulis wahyu tersebut. Di
antara sahabat yang beliau suruh adalah Zaid bin Tsabit, Muawiyah bin
Abi Sofwan dan Ali bin Abi Thalib. Rasulullah melarang menulis sesuatu
yang keluar darinya kecuali al-Quran. Hal ini disebabkan karena
kekawatiran beliau jikalau akan terjadi percampuran antara al-Quran dan
al-Hadist, karena di waktu itu sahabat yang hafal Al-Quran masih relativ
sedikit. Rasulullah Saw bersabda,” Janganlah kalian menulis sesuatu
dariku selain al-Quran. Barang siapa yang menulis selain Al-Quran, maka
hapuslah.” (HR. Muslim).
Wahyu-wahyu tadi ditulis para sahabat setelah didektekan oleh
Rasulullah Saw dan juga disaksikan olehnya. Semua ini dilakukan untuk
menjaga keoriginalan al-Quran agar tidak terjadi kesalahan. Para sahabat
yang menjadi penulis wahyu ini adalah orang-orang pilihan yang sudah
diseleksi ketat oleh nabi Muhammad Saw.
Alat yang digunakan untuk menulis di waktu itu sangat sederhana
sekali. Mereka menulis memakai tulang, bebatuan, kulit dan dedaunan.
Akhirnya, tulisan yang masih terpencar-pencar ini dikumpulkan menjadi
satu mushaf atas usulan Umar bin Khattab kepada khalifah Abu Bakar
as-Sidiq. Mushaf ini kemudian dijadikan rujukan penulisan mushaf Ustmani
pada masa khalifah Usman bin Affan.
Setelah al-Quran mendapat perhatian kusus untuk ditulis dan
dibukukan, hadist pun tidak kalah pentingnya. Hadist tentang larangan
Rasulullah Saw dalam menulis sesuatu darinya kecuali hanya untuk
al-Quran dinaskh (diganti) dengan perintahnya untuk menulis sebuah
hadist kepada Abi Syah. Sehingga tidak heran kalau Abdullah bin Umar
mempunyai banyak hadist karena beliau sering menulis hadist-hadist
tatkala Rasulullah Saw bersabda. Maka pantaslah kalau beliau mendapat
peringkat kedua dari sahabat yang banyak mempunyai hafalan tentang
hadist-hadist nabi Muhammad Saw. Adapun peringkat pertama itu diduduki
oleh sahabat Abu Hurairah, sahabat yang pernah mendapatkan doa kusus
dari Rasulullah Saw tentang kuatnya hafalan. Abu Hurairah berkata,”Tidak
ada dari sekian sahabat Rasulullah Saw yang banyak melebihi hafalannya
melebih dariku kecuali Abdullah bin Umar. Hal ini disebabkan dia selalu
menulis hadist, sedangkan diriku tidak.”
Penulisan hadist-hadist nabi Muhammad Saw menjadi lebih sempurna
ketika kursi pemerintahan Islam berada pada masa khalifah Umar bin Abdul
Aziz. Hingga suatu ketika, khalifah Umar bin Abdul Aziz memberi
rekomendasi kusus kepada imam Az-Zuhri (Muhammad bin Muslim bin
Ubaidillah bin Abdullah bin Syihhab Az-Zuhri) untuk menulis dan
membukukan hadist-hadist Nabawi. Hal ini dikarenakan beliau kawatir akan
hilangnya hadist-hadist nabi Saw tersebut bersama dengan perawinya ke
dalam kubur.
Perhatian ulama untuk masalah tulisan tidak hanya pada al-Quran dan
al-Hadist saja. Tetapi lebih dari pada itu. Dengan merujuk kepada kedua
sumber hukum Islam tadi, para ulama banyak menelurkan hasanah
intelektual. Mereka menulis tafsir, ilmu tafsir, ilmu hadist, gramatika
Arab dan lain-lain. Semuanya ini mendapat perhatian yang penting sekali
darinya. Cabang-cabang ilmu itu ditulis dan dibubukan agar terjaga dan
bisa dimanfaatkan oleh orang banyak. Membukukan suatu disiplin ilmu akan
menjadi suatu perkara yang wajib, jikalau tidak dibukukan, maka
ilmu-ilmu itu akan hilang dimakan masa, sebab matinya orang yang
mempunyai ilmu tadi. Barbara Tuchman berkata, “Buku adalah pengusung
peradaban. Tanpa buku, sejarah menjadi sunyi, serta bisu, ilmu
pengetahuan lumpuh, serta pikiran dan spekulasi mandeg.”
Menulis merupakan hal yang sangat penting sekali. Tanpa tulisan dunia
ini menjadi sepi. Ilmu yang seharusnya bisa menjadi argumentasi yang
kuat akan menjadi lemah, sebab hanya mengandalkan hafalan, bahkan
terkadang berubah. Perubahan disebabkan karena generasi yang setelahnya
lemah dalam masalah hafalannya atau mungkin sengaja merubah kerena
adanya suatu kepentingan yang tidak dibenarkan agama. Allah berfirman,
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab
dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah",
(dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan
perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa
yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah
bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.“ (QS. Al-Baqarah : 79)
Marilah kita menjadikan tulisan sebagai sarana untuk mengabadikan
ilmu, baik yang terkandung dalam wahyu ataupun yang lainnya sehingga
menjadi terjaga. Jangan jadikan tulisan sebagai racun dalam karya ilmiah
yang membuat kerusakan untuk generasi setelahnya. Jangan sampai
generasi mendatang menyangka kalau ilmu yang mereka dapat dari membaca
tulisan yang kita tinggalkan, lalu mereka menyangka bahwa karya itu
benar padahal hakikatnya salah. Akan tetapi, jadikan tulisan kita memang
benar-benar original, sehingga mereka menyangka benar dan kenyaannya
juga benar. Bauer berkata,”Karya ilmiah itu lebih tinggi dari pada
pengetahuan yang didasarkan pada kepercayaan, cerita-cerita hikayat dan
gagasan yang nakal.”
Disalin dari http://ppalanwar.com