Bella tak terlalu ambil pusing dengan tingkah beberapa teman kampusnya yang sengaja memamerkan cowok-cowok mereka kepadanya. Bukannya tanpa maksud kalau mereka akhir-akhir ini kerap datang ke kost Bella dengan cowok-cowok mereka. Terlebih pada saat malam mingguan, ada saja alasan mereka singgah sebentar ke kost Bella, sebelum akhirnya mereka meluncur berboncengan mesra dengan pasangan masing-masing menikmati indahnya malam yang mereka anggap sebagai malam panjang itu. Entah itu ke Kaliurang, nonton film atau sekadar jalan-jalan di Malioboro. Rupanya mereka ingin memanas-manasi hati Bella agar tak lagi dingin terhadap cowok. Dan menyudahi ‘puasa’ pacarannya. Sekaligus menunjukkan betapa hambarnya masa muda kalau hanya diisi dengan murung dan menyendiri di kamar. Lalu membatasi dunia sendiri berkisar hanya pada dua wilayah, kuliah di kampus dan kamar kost. Sejak dikhianati Zacky, Bella merasa cowok di mana pun sama saja, suka mempermainkan hati perempuan dan tidak setia. Suka obral cinta sana-sini.
Pengkhianatan yang dilakukan Zacky menorehkan luka yang dalam di hati Bella. Karenanya, Bella merasa dirinya sudah finished with man alias hati Bella telah beku dan terkunci mati untuk kehadiran seorang cowok. Dan hal tersebut sudah berlangsung selama dua tahun ini. Meski ada Harris, Juno, Erwin, Norman, Wendy, Andra dan beberapa cowok lagi yang semua tampan, kaya, dari keluarga berada dan pintar-pintar, mendekat ke Bella untuk mempersembahkan cinta, tapi rupanya tidak sedikit pun ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa salah satu dari cowok-cowok tersebut mampu mencairkan kebekuan hati Bella dan mendapatkan hati gadis anggun berbintang Aquarius tersebut.
Namun, belakangan ini Bella merasa yang dikatakan teman-temannya ada benarnya juga. Ya, untuk apa terus-terusan murung dan bersedih. Hanya gara-gara gagal bercinta, lalu dunia yang indah ini dibuat kiamat sendiri dengan lebih awal dari yang semestinya. Bella mulai sedikit membuka hatinya. Perlahan dia mau kembali bergaul dengan cowok. Bella tak lagi diam bagai orang bisu seperti beberapa waktu lalu jika kebetulan ada cowok yang mengajaknya ngobrol sambil berjalan dari ruang kuliah menuju tempat parkiran. Gadis Sunda dengan lesung pipit ini juga tak lagi menolak jika ada yang mengajaknya berkenalan ketika tengah makan rame-rame di kantin atau di pesta ulang tahun temannya-temannya. Tapi Bella selalu waspada dan ambil jarak jika ada cowok yang mencoba melakukan pendekatan lebih khusus kepadanya. Pada situasi seperti ini, sakit hati Bella bisa tiba-tiba muncul karena terbayang bagaimana dulu Zacky juga memberikan segunung pujian kepadanya dan janji-janji manis seperti yang dilakukan para cowok tersebut saat ini pada dirinya. Toh, pada akhirnya semua itu hanyalah gombal. Enggak, ah, aku tak akan pernah jatuh cinta lagi! Begitu teriakan suara hati Bella.
“Bella…Bella…kok sampai segitunya sih, dirimu? Tidak semua cowok itu seperti Zacky. Masih banyak lho, cowok-cowok yang baik, perhatian dan setia,” ujar Vika, ketika siang itu Bella mampir di kostnya.
“Tapi aku tak ingin mengalami sakit untuk kedua kalinya, Vik.”
“Jadi ceritanya kamu mau sendiri terus nih? Kalau begitu, selamat jadi perawan tua ya, sayang!”
“Tidak begitu juga sih, Vik. Tapi aku hanya tak ingin jatuh ke lubang yang sama kedua kalinya.”
“Lubang? Lubang galian PU yang semrawut di jalan maksudmu?” goda Vika diiringi derai tawa lepas mereka berdua.
“Ah, jangan bercanda, Vik. Aku serius, kok.”
“Hello, nona manis! Dengar ya, kalau menurutku, nih, daripada kita jomblo, sendirian terus? Mending kita punya pacar. Kemana-mana ada yang antar.”
“Kamu tega ya Vik, anggap pacar sekadar tukang ojek.”
“Kenyataanya memang begitu, Bell. Para cowok tak keberatan dan justru senang. Malah kadang mereka sengaja mencari-cari kesempatan menjadi tukang ojek, dan mengojeki cewek-cewek incaran mereka. Gratis pula! Hayo, betul tidak?”
Bella tak menjawab, tapi hanya tersenyum. Dalam hati ia membenarkan kata-kata sahabatnya tersebut. Meski terkesan asbun alias asal bunyi, tapi joke dan omongan Vika memang ada benarnya.
“Bell, kamu terlalu menganggap semua orang itu sama, sih! Padahal kan, tidak begitu adanya. Orang itu, atau cowok itu, ada yang baik dan ada pula yang tidak baik. Sama seperti cewek juga. Sungguh, Bell, kalau semua cewek seperti kamu sejak dulu, populasi manusia sudah akan diambang kepunahan.”
“Kok bisa? Apa hubungannya?”
“Jelas saja, lha wong, ndak ada yang bereproduksi. Masing-masing hidup sendiri-sendiri, merasa tak saling membutuhkan. Padahal kan sama-sama butuh juga, Bell. Sama-sama butuh, Bell! Sama-sama butuh, Bell!” tandas Vika dengan mimik serius dan tangan terkepal, meninju udara seperti gaya seorang pendemo anti kebijakan pemerintah.
Bella tersenyum dan cekikikan melihat gaya konyol Vika, “Kamu ni, ada-ada saja, Vik, Vik.”
Bella dan Vika saling pandang ketika sebuah sedan hitam berhenti di depan gerbang kost. “Itu kan Devi, Bell,” ujar Vika, “Tapi dengan siapa ya, dia datang? Apa itu pacarnya? Kayaknya bukan, deh!”
“Hello, teman-teman! Perkenalkan ini Kakak saya, namanya Aji Bimantara,” kata Devi, “Biasa dipanggil Aji saja.”
Aji memperkenalkan diri dan mengulurkan tangan kepada kedua sahabat adiknya tersebut, “Hai, saya Aji.”
“Vika.”
“Aji.”
“Be…Be…Bella,” Bella tergagap ketika berbenturan pandang dengan Aji dalam perkenalan itu. Sorot mata itu mengingatkannya pada Zacky, cowok yang selama ini coba dia lupakan. Hati Bella berdebar keras. Tapi ada sepotong kegembiraan yang menyelinap masuk dalam sanubarinya. Ah, apakah ini artinya cinta? Ya Tuhan, mengapa dia begitu mirip dengan Zacky?
“Bell, Bella! Kok melamun? Pasti teringat sama Zacky, ya?” goda Devi. “Mas Aji ini kalau diamat-amati, memang ada miripnya dengan Zacky, lho! Kamu kayaknya cocok deh, kalau jalan dengan Mas Aji.”
Bella tersipu. Mukanya merah padam. Sambil mencubit lengan Devi, diliriknya kakak sahabatnya tersebut. Dan sekali lagi, mereka saling bertemu pandang. Dilihatnya Aji juga tak kalah tersipunya dengan dirinya. Kembali mereka berdua saling lempar senyum.
“Kok kamu tak pernah bilang kalau punya kakak, Dev?” celetuk Vika.
“Oh ya maaf, belum sempat kuceritakan, sih. Tapi sekarang kalian akhirnya tahu juga, kan? Mas Aji ini sekarang sedang menyelesaikan S2 Ekonomi di Universitas Kebangsaan Malaysia. Sudah lama tak pernah pulang, sekarang sedang berlibur. Makanya, aku ajak jalan-jalan, sekalian kukenalkan dengan sahabat-sahabatku yang cantik-cantik kayak bidadari seperti kalian ini.”
“Bidadari? Bidadari turun dari kobokan?” balas Vika yang disambut tawa keras Devi. Sementara Bella dan Aji hanya senyum-senyum.
Tak sampai setengah jam, Devi dan kakaknya, mampir ke kost Vika. “Sudah ya, saya pamit dulu! Mau ke rumah paman di Kalasan!”
Bella hampir tak percaya kalau ternyata Devi, sahabatnya tersebut, punya kakak yang mirip dengan Zacky. Ada desriran halus di dadanya ketika tadi dia bertemu pandang dengannya, dan dia begitu merasakannya. Sangat kuat bahkan. Entah dari mana datangnya, dan mengapa? Bella sendiri tak tahu pasti. Bella menerka-nerka sendiri, ah mungkinkah ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama? Mungkinkah aku telah jatuh hati pada kakak Devi, atau mungkinkah Aji juga merasakan apa yang aku rasakan ini?
“Kakak Devi tampan juga ya, Bell?”
“Ya mungkin juga, Vik.”
“Lho, kok mungkin juga? Kalau tampan ya, bilang aja tampan. Dan kalau jelek ya, bilang aja jelek gitu. Apa susahnya, sih? Ah, jangan-jangan kamu naksir ya, sama Mas Aji? Hayo, ngaku saja?”
“Kamu ni, apa-apaan sih, Vik?” jawab Bella cemberut.
“Ih, marah lagi? Kalau marah itu pertanda kamu ada rasa, lho?”
“Sok tahu, deh!” Bella mencoba menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya terhadap Aji di depan Vika.
“Biasa aja lagi, Bell. Kalau suka ya, bilang saja suka. Ndak ada salahnya kok, Bell? Apa perlu ni, aku yang mengatakan. Mas Aji Bella suka kamu…!” Dasar Vika, sahabat Bella yang satu ini, memang kalau nogomong ceplas-ceplos. Gak pakai mikir. Konyol dan humoris lagi. Tapi mungkin karena itulah, Vika justru punya banyak teman. Bella pun merasa nyaman bersahabat dengannya. Sejak pertama kali mereka kenal di masa OSPEK, dan akhirnya berkawan baik, tak pernah ada masalah. Bahkan, Vikalah yang selalu memberikan dorongan dan semangat pada Bella, jika lagi banyak masalah dan suntuk.
“Vik, aku pamit pulang dulu, ya? Sudah sore, ni!”
***
Bella membuka jendela kamar kostnya yang mengadap ke barat. Kamar tersebut berada di lantai tiga. Sambil duduk di atas kursi dekat jendela, Bella bisa memandang nun jauh di ufuk barat sana. Warna senja yang kemerahan berpadu awan gemawan yang membentuk bayangan-bayangan hitam aneka rupa. Ada yang tampak seperti kepala buaya, tangan raksasa, bahkan ada juga yang mirip dua orang yang lagi berpelukan. Sungguh menakjubkan. Tiba-tiba, bayangan Aji melintas dalam benak Bella. Lalu gadis anggun tersebut membayangkan betapa bahagianya seandainya Aji ada di sampingnya dan menikmati indahnya senja tersebut berdua. Bersama-sama.
Hai Bella, jangan GR dulu, deh! Kata suara dari dalam dirinya. Memang kamu yakin, Aji suka sama kamu? Bella menarik nafas dalam-dalam. Sebuah keraguan muncul dan membuatnya kini dalam kebimbangan. Atau, entah apa namanya, Bella sendiri tak tahu. Yang pasti dan yang kini dia rasakan bahwa wajah Aji, terutama pandangan matanya selalu ada di pelupuk matanya, sejak berkenalan tadi siang. Bella pun merasakan ada getaran-getaran dalam hatinya yang membuat dirinya selalu ingin segera bertemu Aji. Ya Tuhan, apakah ini namanya rindu? Benarkah aku merindukannya? Sungguhkah aku telah jatuh cinta padanya? Atau, semua ini hanyalah imbas dari kesepian yang menderaku selama ini terhadap seorang lelaki. Tapi tidak, rasanya aku benar-benar jatuh cinta padanya. Haruskah aku terus membohongi diriku sendiri? Begitulah, Bella masih tenggelam dalam lamunannya ketika matahari telah benar-benar tenggelam. Dan langit barat yang tadi memerah kini sudah hitam pekat. Malam telah datang dan Bella masih tetap termangu di atas kursinya, dekat jendela kamarnya.
***
“Kemana saja sih, Bell? Aku cari-cari, eh malah ketemunya di sini. Di perpustakaan.”
“Nih, lagi cari-cari buku kumpulan artikel. Kok ceria banget sih, Dev, ada apa?”
“Mas Aji titip salam, Bell,” ujar Devi sambil memandang Bella yang nampak kaget. “Kok tak dijawab, Bell?” lanjut Devi.
“Wa’alaikum salam.”
“Sini Bell, sini!” lanjut Devi sambil mengapit tangan sahabatnya tersebut ke pojok perpustakaan.”
“Sssst…,” jangan berisik, Dev! Ganggu yang lain!”
“Makanya agak cepat, dong!”
“Ada apa sih, Dev? Kayaknya penting banget ya?” tanya Bella ketika mereka berdua telah di pojok ruangan tersebut.
“Ya, bisa penting juga bisa tidak,” balas Devi sambil melirikkan matanya ke arah Bella. “Semua itu tergantung padamu.”
“Kok tergantung aku? Apa sih, Dev!” ucap Bella tak sabar. “Jangan buat aku penasaran, deh!”
“Gini Bell, sebenarnya Mas Aji tak hanya titip salam,” lanjut Devi. “Tapi dia juga minta aku mengatakannya padamu…”
“Mengatakan apa?” potong Bella.
“Mas Aji suka sama kamu, Bell.”
“Kamu pasti bercanda kan, Dev?” Bella berlagak cuek, tapi sebenarnya hatinya tengah berdebar keras.
“Tidak Bell. Aku serius. Mas Aji benar-benar suka sama kamu.”
“Kenapa tak bilang sendiri?”
“Mas Aji takut, Bell.”
“Takut? Apa wajahku kayak monster, ya?”
“Tidak begitu Bella. Tapi Mas Aji itu orangnya pemalu. Apalagi bilang cinta sama gadis secantik kamu, Bell.”
Sesaat Bella terdiam. Ada kebahagiaan yang tiba-tiba membuncah dalam dadanya. Ya, sekali lagi dia merasakan getaran-getaran yang dirasakannya ketika pertama kali dulu bertemu Aji, di kost sahabatnya, Vika. Ya Tuhan! Inikah saatnya kubuka hatiku kembali untuk seorang lelaki? Ya, Bella inilah saatnya. Kata suara batinnya.
“Gimana, Bell? Kamu suka juga kan dengan Mas aku?” kejar Devi, menyadarkan lamunan Bella.
“Apa masih ada Zacky di hatimu, Bell?”
“Ndak juga.”
“Terus gimana, dong, dengan nasib Mas aku?”
Bella tersenyum malu-malu. Tapi akhinya keluar juga kata-karta dari bibirnya, “Kalau kita akhirnya jadi keluarga. Apakah kamu senang, Dev?”
“Jadi..jadi, kamu juga suka dengan Mas Aku?”
Bella mengangguk.
“Kamu terima cinta Mas Aku, Bell?”
Bella mengangguk.
Mereka berdua lalu berpelukan erat. Tak memperdulikan mahasiswa lain di perpustakaan itu yang memandang aneh ke arah mereka. Dalam kebahagiaan yang menyelimuti hatinya seperti itu, bagi Bella, jangankan dipandang aneh, dibentak petugas keamanan perpus pun tak lagi jadi soal. Karena, kini Bella telah menemukan sesuatu yang lama dicarinya.
“Selamat datang cinta!” bisiknya dalam hati. Dengan wajah yang berseri-seri, Bella kemudian mengajak sahabatnya tersebut keluar menuju kantin. Dan malam harinya, Bella tidur dengan nyenyak sekali sambil mendekap guling. Mungkin yang dibayangkannya mendekap Mas Aji, kekasih barunya. Pujaan hatinya. []
Ditulis oleh Bilif Abduh
Sumber Gambar dari sini
Ditulis oleh Bilif Abduh
Sumber Gambar dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar