Rabu, 31 Oktober 2012



Judul buku     : Rahasia Sepuluh Malam
Penulis            : Achmad Chodjim
Penerbit         : Serambi Ilmu Semesta, Jakarta
Cetakan          : 2012
Tebal              : 427 halaman

The life is the journey, hidup ini adalah perjalanan. Ya, perjalanan panjang dari alam arwah, alam rahim, alam dunia, alam sakaratul maut, alam kubur (barzah), alam kiamat, alam kebangkitan, juga alam mahsyar, alam hisab, alam penentuan, alam surge atau alam neraka. Sementara kita adalah para salik (para pejalan) yang meniti jalan tersebut.

Sebagai seorang salik, perjalanan kita tentu tidak tak terarah dan tak bertujuan. Dalam tiap langkah dan tarikan napas seorang salik pastilah ada arah dan tujuan yang hendak dituju. Masalahnya, ke manakah arah dan tujuan perjalanan kita? Pertanyaan inilah yang pernah dilontarkan Tuhan kepada Nabi Ibrahim a.s.: “Fa ayna tadzhabuun? (Lalu ke manakah kalian akan pergi?).” (Q.S. At-Takwir: 26)

Fa ayna tadzhabuun, sejatinya memuat pertanyaan hakiki tentang apa sebenarnya tujuan akhir dari perjalanan hidup kita; apakah karier, kedudukan, kekayaan, atau kemasyhuran. Dari semua pilihan itu ternyata tak ada satu pun yang menjadi jawaban Ibrahim. Sebagaimana dimaktub dalam Q.S. Ash-Shaffat: 99, Ibrahim menegaskan bahwa perjalanannya semata-mata adalah untuk menghadap Tuhan. Hanya kepada Tuhanlah hidup manusia bermuara.

Tetapi bagaimana akan berjalan menuju Tuhan apabila jiwa kita justru diliputi kegelapan? Pertanyaan inilah yang mengusik Achmad Chodjim sehingga tergeraklah ia untuk menjawabnya melalui buku ini. Melalui buku ini Achmad Chodjim memandu kita memupus kegelapan hati dan menyongsong pencerahan batin secara lebih efektif. Bab demi bab dalam buku ini mengantar kita melewati ‘malam’ demi ‘malam’ hingga sang ‘fajar’ tiba. Setahap demi setahap buku ini memandu kita menyingkap selubung-selubung kegelapan batin, lalu menuntun kita mendaki tahapan-tahapan spiritual menuju Allah Sang Yang Mahaindah dan Mahacinta.

Walaupun bab demi bab dalam buku ini dijadikan sebagai jalan pendakian menuju maqam spritiual para sufi, tidak berarti buku ini hanya dikhususkan bagi mereka. Ini bias dilihat dari pembabaran Achmad Chodjim tentang perjalanan menyingkap ‘malam’ dengan bahasanya yang sederhana, lugas, dan kriuk (renyah) sehingga kalangan awam pun tidak akan berkerut dahi saat membacanya.


Diresensi oleh: Irham Sya’roni
Anggota Komunitas Tinta Emas (KomTE) www.timkomte.com Yogyakarta
Dimuat di surat kabar harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta (Minggu, 28 Oktober 2012)


0

Senin, 29 Oktober 2012

Hari-hari ini berbeda dari biasanya. Ada sesuatu yang mulai menggelitik hatiku. Ahh, rasa itu mulai muncul. Suka? Semenjak melihatnya pertama kali tanpa sengaja, rasa itu mulai menjalar. Sudah ghadul bhasar kok, tapi masih kurang kali ya? Setelah rasa itu berhasil ku tepis seiring berjalannya waktu dan terpaut jarak tiba-tiba sosoknya melintas lagi di sekitarku. Datang kembali di saat aku merasa sudah siap untuk mengarungi hidup yang baru.
Masih berada pada satu lokasi walau beda instansi, membuat kami kadang bertemu meski dalam jarak yang cukup jauh. Ketika aku melihat, dia cepat mengalihkan pandangannya. Ketika dia memandang, aku segera menunduk. Apa dia punya rasa yang sama? Astaghfirullah…

Aku malu pada-Nya. Rasa ini datang sebelum waktunya. Kenapa rasa ini tak bisa ku usir pergi? Aku hanya manusia biasa. Mungkin sosok yang selama ini ku cari untuk menemani hidupku ada padanya. Lagi-lagi aku beristighfar.

“Ma! Mama, ada waktu?” Aku memanggil mama yang hendak membaringkan tubuhnya.

“Ada apa, Ni?” Tanya mama sambil memutar tubuhnya.

“Beberapa bulan ini perasaan Aini tak menentu, Ma. Ada seorang ikhwan di sekitar kantor Aini. Ia aktif mengikuti kegiatan di masjid dekat kantor. Kriteria calon imam yang Aini cari sebagian besar ada padanya. Aini sudah berusaha menghilangkan rasa ini tapi belum bisa, Ma. Tak mungkin Aini harus pindah kerja agar tidak melihatnya lagi. Aini berharap bisa menjadi pendamping hidupnya, Ma.” Titik air mata mulai terasa di sudut mataku. Kenapa aku jadi melankolis begini?

“Dulu Aini pernah berkata kalau ada masalah seperti itu bisa minta bantuan seseorang untuk menanyakannya?” Tanya mama.

“Ya, dalam Islam boleh seorang perempuan menawarkan diri. Akan tetapi Aini tidak berani, Ma. Aini hanya wanita biasa tidak sebanding dengannya.”

“Tentu setiap orang ingin memiliki pasangan hidup yang baik bahkan lebih baik dari dirinya sendiri.” Sahut mama.

Aini tersenyum seraya berkata, “Ya sudahlah, Ma. Mama istirahat ya! Aini cukup lega bisa berbagi dengan Mama.”

Dingin malam itu tak menghentikan langkahku untuk menemui-Nya. Aku ingin kembali curhat dan memohon pada-Nya. Karena hanya Dialah sebaik-baik penolong dan pelindung.

“Ya, Allah hanya Engkau tempat aku mengadukan segala keluh kesahku sekaligus memberikan jalan keluarnya. Aku mohon jika dialah jodoh yang terbaik bagiku dalam hal agamaku, kehidupan dunia dan akhiratku, membawa kebaikan dalam kehidupan pribadi dan sosialku, bisa membahagiakan mamaku, dan aku pun bisa membahagiakannya, maka berilah jalannya, mudahkan dan segerakan agar kami bisa bertemu dalam ketaatan kepada-Mu. Aamiin!" Air mata menggenang di pelupuk mataku.

Siang yang terik ini tidak menyurutkan langkahku untuk menambah wawasan keislaman. Berhenti dari angkot, terus menyusuri jalan menuju rumah guru ngajiku yang baru. Syukurlah aku masih ingat. Aku pindah kelompok mulai pekan lalu. Di rumah itu sudah berkumpul beliau dan akhwat yang lain. Senyum dan salam menyambut kedatanganku. Acaranya hangat dan menyenangkan. semua bersemangat diskusi. Ketika teman-teman sudah pamit pulang, Kak Siti guru ngajiku memanggil.

“Sebentar, Dek! Kakak mau bicara dengan mu.” Katanya sambil mengajakku kembali duduk. Lalu beliau mengambil sebuah amplop besar dan meletakkan di hadapanku.

“Dek, ada seorang ikhwan yang ingin mencari teman."

Hatiku sedikit berdebar. “Siapa dia, Kak?

“Bukalah amplop itu. Kau mungkin pernah melihatnya.” Dengan tangan yang sedikit gemetar dan perasaan harap cemas aku mengeluarkan sedikit kertas itu. Terlihatlah foto si ikhwan. Mataku membulat. Lalu menatap kak Siti seolah-olah ingin minta penjelasan.

“Ya, suami Kakak satu instansi dengannya. Kami sepakat memperkenalkanmu dengannya. Rupanya ia telah mengetahui dirimu walau hanya sesosok dari kejauhan tanpa tahu nama dan latar belakang yang lebih pribadi. Ia pun sudah lama mau menyampaikan niatnya, hanya saja ia ingin fokus dulu pada kuliah S2-nya. Alhamdulillah, saat ini ia tinggal menunggu wisuda saja."

Mataku mulai terasa hangat. inikah buah harap dan tawakal pada-Mu Ya Rabb? Dua hal yang memang tidak bisa terpisahkan. Ya, Allah. Indahnya rahasia-Mu…

Dipublikasikan juga di www.kotasantri.com
0

Rabu, 24 Oktober 2012

sumber gambar
Duhai Rabbi,
Aku jatuh cinta pada ciptaan-Mu
Aku jatuh cinta pada sifat-sifat-Mu yang ada padanya
Aku jatuh cinta pada ilmu-Mu yang diwarisinya

Jika Kau izinkan, biarkan dia menjadi pendampingku
Jika Kau ridhai, biarkan ia menjadi imam dan qawwamku
Ku mohon izin-Mu tuk bertemu dengan yang sepertinya
Ku mohon ridha-Mu tuk didekatkan dengan yang menyerupai kebaikannya
Karena bukan fisiknya yang kusuka
Sehingga walaupun bukan dia
Namun seseorang yang terbaik bagiku lebih darinya
Aku rela

Aku sadar, Kau-lah yang lebih tahu segalanya
Apa yang terbaik bagi diriku dan dirinya
Namun aku masih terus berharap
dan Tawakal pada-Mu Maha Pemberi Cinta
Ampuni dan sayangilah hamba

Duhai Rabbi,
Halalkan segera cinta yang alfa
dan pantaskan diriku untuknya


Kontributor: Widia Aslima
tulisan dipublikasikan juga di www.kotasantri.com
0

Seorang siswa kelas 6 di salah satu SD Negeri di Tana Paser, Kalimantan Timur, tertangkap basah saat menggelar nonton bareng (nobar) video porno di kelasnya. Parahnya, Said (12), juga memengaruhi rekan-rekannya untuk ikut menonton ketika siswa-siswa lainnya menunaikan ibadah salat Zuhur.

Kepala Sekolah yang bersangkutan ketika dikonfirmasi, Rabu (24/10/2012), mengatakan, peristiwa itu terjadi Selasa kemarin setelah jam belajar dan mengajar berakhir. Sebelum pulang, siswa melaksanakan salat Zuhur bersama. Menurut keterangan siswa lainnya, perbuatan Said sudah yang kedua kalinya.

Pada hari kejadian itu, memang ada mata pelajaran pengenalan komputer yang 80 persen adalah praktik. Namun, pada hari kejadian, guru yang bersangkutan sehari sebelumnya tidak menginstruksikan membawa laptop ke sekolah, dan satu-satunya siswa yang membawa laptop adalah Said.

Pihak sekolah juga sudah memanggil orangtua pelaku. Namun, orangtua Said pun mengaku tidak sanggup lagi mendidik anaknya. Tidak hanya itu, orangtuanya tidak tahu kalau laptop warisan kakak Said berisi beberapa film dewasa. Mereka mengaku tidak mengerti cara mengoperasikan laptop.

"Orangtua bilang angkat tangan mendidik anaknya, dan bilang tidak tahu sama sekali kalau di laptop anaknya ada video semacam itu, tak juga pernah melihat anaknya menontonnya ketika di rumah. Sebaliknya, ketika anaknya kami tanya, dia (Said-red) cuma senyum-senyum saja, seperti tidak merasa bersalah sama sekali," kata Kepsek yang namanya minta tidak dipublikasikan.

Meski perilaku Said dinilai akan memengaruhi moral teman-temannya, pihak sekolah sampai saat ini masih mempelajari sanksi yang paling tepat untuk Said. "Dia belum kita keluarkan dari sekolah, kasusnya masih kita pelajari. Yang jelas, barang buktinya (laptop) sudah kita amankan, dan kita harapkan tidak ada lagi wali murid seperti orangtua Said," ucapnya.

sumber berita dan foto:
http://regional.kompas.com/read/2012/10/24/18162675/Siswa.SD.Gelar.Nobar.Video.Porno.di.Kelas
0

Senin, 22 Oktober 2012

“Setelah bergabung dengan KomTE, ada banyak sekali ilmu dan pengalaman yang saya dapatkan. Semangat yang diberikan oleh sesama anggota pun semakin membuat saya lebih termotivasi untuk menulis. Bahkan, sangat bahagia rasanya ketika akhirnya saya bisa mempersembahkan sebuah buku untuk almarhumah ibu saya. “

(Yustisianisa, penulis buku Kekuatan Cinta Bunda)


~*~


“Menjadi penulis itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Tapi, sejak bergabung dengan KomTE, banyak sekali ilmu, masukan, kritik, dsb. yang sangat berguna bisa saya dapatkan. Hingga pada akhirnya saya dapat melihat nama saya tercetak di sampul buku saya sendiri. Terimakasih KomTE.”

(Fanayun, penulis buku Bye-bye Patah Hati)


~*~


0


Ketika kamu berpikir bahwa kamu adalah korban, kamu adalah korban yang sesungguhnya...
Begitupun saat kamu berpikir kamu adalah pemenang, maka kamu adalah pemenang sejati, Sarah.”
Itu kata kata pria yang selama belasan tahun kupanggil, Abang. Ya, Abang. Satu-satunya Abang yang kukenal.
Kau tahu tentang Abangku. Tak satu orang pun yang mengerti dia, termasuk Mamak dan Abah. Abangku  kasar dan  keras. Mamak senantiasa berkata, kalau Abang anak durhaka dan tak tahu adat. Abah juga sering bilang kalau Abang itu temperamen.
Abangku  punya dua luka di pelipisnya. Luka yang pertama karena berkelahi, luka yang kedua karena dipukul Abah.
“Jangan diobati luka Abang mu itu, Sarah. Tidak berguna kau tolong anak bengis macam dia!” lontar Abah suatu ketika saat melihatku melipat-lipat kain kasa yang sudah dibubuhi cairan anti septik.
Kau tahu, kata Mamak Abang suka sekali meminta uang pada Mamak. Mamak tak pernah  tahu  untuk apa uang itu dibelanjakan. Tahun kemarin pun begitu, saat Abang memaksa Mamak membelikan motor besar untuknya. Abang berteriak-teriak, jika pintanya tak dituruti semua baraang dirumah bisa dijarah olehnya.
Kau pasti bertanya-tanya soal hubunganku dengan Abang. Kami baik-baik saja. Dan tak perlu diutarakan Abang memiliki cinta yang besar untukku.  Memang aneh tapi itulah faktanya. Mamak dan Abah sangat memanjakanku, memperlakukan sangat berbeda dengan Abang. Kata Abah aku ini penurut dan kata Mamak aku ini anak pintar, tapi kata Abang aku ini gadis yang beruntung.
Kau harus dengarkan aku, disetiap bel pulang sekolah, aku akan melihat Abang dengan motor besarnya hasil dari “pemerasan” terhadap Mamak, telah menunggu di sebelah Pohon Akasia di samping gerbang sekolah. Ya. Dia Abangku, menjemputku tanpa alpa setiap hari.
Selepas sekolah,  Abang membawaku di tengah sawah diantara hamparan rumah rumah  pemanjat Pohon  Siwalan. Abang akan membelikanku es legen yang baru saja diambil langsung dari pohonnya. Padaku, Abang akan bertanya tentang pelajaran, sekolah, tumbuhan, bintang, dan banyak hal.
Dihadapanku, Abang tak pernah terlihat bengis dan menyeramkan. Dia sosok hangat yang selalu melindungi. Abang berpendidikan SMK , dikutuk semua guru karena kebengalannya tapi begitu dicintai kepala sekolahnya karena kecintaanya pada dunia otomotif, Abang tak pernah  mau kuliah. Tapi dia pembelajar yang kuat, darinya aku belajar bagaimana proses dari motor bensin menyala. “
Penyalaan motor bensin dilakukan dengan menggunakan busi. Loncatan api pada kedua elektrode busi dibangkitkan dengan beda tengangan listrik yang cukup besar, sekitar 10.000-20.000 volt”. Jelasnya suatu ketika.
Kala itu aku bertanya dalam  hati, kenapa Abang tidak kuliah saja di jurusan Teknik Mesin atau Elektro. Pertanyaan itu hanya menggumpal dalam pikiranku saja, tak pernah terlontar karena nyatanya keputusan Abang pasti jauh lebih beralasan.
Kali ini, Abang menatap langit siang yang membiru. Aku menduga Abang akan menceritakan padaku tentang benda langit, entah apa.
“Kamu  harus tahu, Sarah. Di semesta sana ada galaksi yang jauh lebih besar dari galaksi Bima Sakti, galaksi ini berjarak 7 milyar tahun cahaya. Galaksi itu dinamai El Cordo oleh para penemu. Seperti galaksi lainnya Sarah, dia pasti akan  memiliki bintang yang paling terang, seperti Sirius dalam Andromeda.”
Aku hanya mengangguk nanar, mencoba menangkap apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Abang.
“Sarah, Galaksi El Cordo adalah keluarga kita dan kamu adalah bintang paling terang di dalamnya.” Abang menatapku dan berusaha menantang nanar di matanya.
Aku masih tak mengerti. Kenihilan atas pertanyaanku  ku bawa hingga mimpi mengusik malamku.
Pada hari berikutnya, aku kembali menemukan Abang di samping Pohon Akasia dekat gerbang sekolah. Penampilannya sama tersenyum  samar dari kejauhan. Mengenakan kaos dan jeans butut tapi sama sekali tidak mengurangi wajah kerennya. Teman-temanku  saling berbisik, menaruh keirian mendalam padaku yang memiliki kakak super baik di dunia. Tapi aku tak lagi peduli dengan itu semua. Aku hanya peduli pada pertanyaan penting dalam otak belasan  tahunku, kenapa Abang tak pernah  mengasariku  sekali pun. Ketika Abang di depanku sangat seratus delapan puluh derajat jika Abang berlaku pada Abah dan Mamak. Aku pikir Abang punya kepribadian ganda.
Kau lihat, aku hanya tahu, Abang mencintaiku hingga letih. Hanya Abang yang menyulap kumparan-kumparan dan besi besi rongsok menjadi tempat pensil yang indah. Tapi belakangan Abang tak lagi membuatkan benda-benda indah dari besi rongsokan untukku. Siang malam dia mengelas dan mereparasi bagian bagian detail kotak pensil.
“Kenapa, Bang? Sarah ingin sekali dibuatkan lagi satu untuk teman.” Begitu pintaku suatu kali.
Abang mengacak rambutku, tersenyum meringis.
“ Sarah, benda cantik ini akan membunuhmu perlahan-lahan. Dalam kumparan logam yang kau pegang itu, masih ada kandungan bahan beracun dan berbahaya. Di dalamnya terdapat logam Timbal yang beracun. Studi Toksisitas Timbal menunjukkan bahwa kandungan Timbal dalam darah sebanyak 100 mikrogram/l dianggap sebagai tingkat aktif (level action) berdampak pada gangguan perkembangan dan penyimpangan perilaku. Sedangkan kandungan Timbal 450 mikrogram/l membutuhkan perawatan segera dalam waktu 48 jam. Lalu, kandungan Timbal lebih dari 700 mikrogram/l menyebabkan kondisi gawat secara medis (medical emergency). Untuk kandungan timbal di atas 1.200 mikrogram/l bersifat sangat toksik dan dapat menimbulkan kematian pada anak. Kadar Timbal 68 mikrogram/l dapat menyebabkan anak makin agresif, kurang konsentrasi, bahkan menyebabkan kanker.”
Aku berusaha menyerap perkataan abang barusan, ya dia bercerita tentang dosis Timbal yang menyebabkan beberapa disorder dalam tubuh manusia. Dari mana Abang tahu. Pikirku.
Abang geleng geleng kepala.
“Jadi mana mungkin aku membuatkanmu lagi benda cantik tapi membunuhmu pelan-pelan?”
Sekali lagi aku hanya bisa mengangguk  dengan  menyisakan satu pertanyaan absurd tentang Abangku. Belum selesai semua dengung tanya itu dilontarkan, Abang menarik tanganku menaiki motor besarnya yang perlahan mulai menderu kuat-kuat.
Di ujung jalan setapak yang dibatasi dua buah sungai kecil, kami berhenti. Abang menuntunku pelan-pelan, hingga kakiku berdiri di atas tumpuan keras seperti tatakan berukuran besar. Ini balok -balok kayu besar, setiap balok kayu dikelilingi buah saga merah kehitaman. Balok kayu ini berjarak 25 cm menuju balok kayu lainnya.
“Apa ini Abang?”
Aku tak mendengar jawaban  apapun. Abang menarik tanganku menjauh dari jalan setapak buah saga itu. Kami terduduk di antara pagar ilalang yang mulai menguning.
“Aku ingin besok kau pergi ke suatu tempat diujung sana. Di Ujung balok kayu terakhir. Ayo kita pulang.” Belum sempat aku mengudarakan tanya, Abang telah menarik tanganku. Kenapa besok. Ada apa di ujung sana.
Ujian Bahasa Inggris memaksaku pulang lebih akhir 15 menit dari biasanya. Tak kutemukan Abang, di dekat pohon Akasia. Dia mungkin menunggu di tempat lain pikirku. Lima menit, sepuluh menit. Aku mulai tak sabar. Kemana Abang? Intuisiku mengatakan ada yang tak beres.
Aku berlari pulang ke rumah. Sepi. Tak ada motor besar Abang yang terpakir dekat Tanaman Bougenfil. Kemana Abang. Telepon rumah melengking saat aku mulai berbalik hendak ke kantor Abah.
“Sarah, Mamakmu di Jati Luhur, dia minta di jemput.” Desau Abah di telepon.
Aku mulai frustasi. Mungkin Mamak  tahu dimana Abang. Aku mengayuh kencang sepeda pancal menuju sebuah  lokasi tempat Mamak minta dijemput. Sepedaku nyentrik, ada lampu besar bergelantung di depannya dan keranjangnya ada di belakang, mirip pesan antar piza di kota. Abang yang memodifikasinya untukku.
Aku berdiri tegak di bangunan bertingkat lima. Bangunan paling besar di kota kecamatanku. Tapi tak pernah ada keinginan  untuk memasuki tempat ini. Rumah sakit. Ada yang tak beres.
Mamak sembab dan Abah  nampak lelah. Beberapa kerabat ku lihat juga ada disana. Dan Abang ada dalam ruangan bercat hijau, tak ada yang boleh masuk.
“Abangmu itu nyabu, Sarah. Dia over dosis!” pekik Abah tiba-tiba
“Mau apalagi anak tengil itu, tak ada habisnya dia bikin rusuh saja!”
Bahu mamak terguncang pilu.
“Belum tentu, Bah dia nyabu. Dokter masih periksa di dalam.” Ujar salah seorang kerabatku.
Aku buntu dan  menegang. Abang tak mungkin nyabu. Ada hal lain pasti. Tapi apa. Angka jam telah menunjukkan pukul setengah empat sore. Aku ingat. Ada hal lain memang. Aku bergegas lari menembus tiap koridor tanpa peduli wajah Mamak dan Abah yang berubah jadi bingung. Tak mungkin Abang nyabu. Abangku cerdas dan hatinya terlalu emas untuk sekedar mencium obat-obatan seperti itu.
 Aku sampai pada balok ke 171. Pada balok ini 171 ini ada hal janggal pada susunan buah saga. Bentuknya menyerupai panah dan memaksaku  memutar empat puluh lima derajat dari arah asal. Tubuhku membentur dinding pohon Akasia. Di samping pohon akasia ada jala-jala yang terhubung seolah menjadi pintu gerbang menuju suatu tempat.
Dugaanku tak meleset. Jala-jala itu menutupi pintu sebuah bangunan. Aku menyeruak tak sabar. Aku mematung di samping motor besar Abang. Tempat ini lebih menyerupai sebuah bengkel. Ada banyak spare part di sana dan di sudut ruangan ada tulisan Bengkel El Cordo.
Kau dengar, tempat itu adalah bengkel Abang. Bengkel yang belum sempat diresmikan. Semua perilaku Abang adalah demi bengkel itu, bengkel El Cordo dan demi sebuah penyakit yang lama di deritanya. Abang bukan penyabu. Abang bukan pembuat onar. Abang hanya tak mau menyisakan sungai diantara kedua kelopak mata Mamak dan Abah. Abangku sakit dan menderita sekian lama. Dia koma.
“Kau dengar, cepatlah bangun, kau harus lihat bengkelmu. Aku berusaha  meneruskan  karyamu  dalam  bilangan  ketidaksempurnaan.  Apa kau tidak peduli lagi padaku? Setidaknya saat kau bangun nanti aku akan bisa diajak diskusi tentang motor, bengkel, dan dunia otomotifmu. Kau harus lihat, bengkelmu dikunjungi tidak kurang dari 250 an kendaraan tiap hari. Maukah kau mengucapkan terima kasih padaku? Kau boleh iri padaku sekarang . Aku master of mechanical engineering sekarang. Itu berkat kau, Abang. Kau tahu, Kau menorehkan satu kesalahan dalam hidupmu. Bukan Aku bintang paling terang dalam galaksi El Cordo, tapi kau, Abang. Ya, kau.
 Aku tergugu dan memeluk Abang dalam tidur panjangnya.
Ada buliran emas dari pelupuk matanya. Abang mendengarku. Harapanku mengudara. Dia akan kembali.


*) Resty Mustika Maharani
0


Berbunga-bunga hatiku tak bisa terlukiskan. Berpuluh-puluh orang telah tersisihkan. Bayangan indah silih berganti melintas di pelupuk mataku. Aku hanyut dalam cerita masa depan. Saat berkemas-kemas mengepak barang, senyuman tak pernah lepas dari wajahku. Tidur malamku pun sangat nyenyak dihiasi mimpi hingga menjelang shubuh aku tersentak. Sunyi yang menyelinap seiring hujan yang baru saja datang seakan membawaku kembali berpijak di tempat ini. Aku teringat keluargaku. Aku teringat mama. Beliau adalah orang yang paling kusayangi. Walaupun masalahku tidak bisa beliau atasi. Apakah aku benar-benar bahagia dengan kepergianku ini? Apakah kesedihan akan hilang setelah ini?

Akhirnya guyuran hujan yang menyambut datangnya sang fajar berhenti. Tak lama kemudian sang surya pun sudah tersenyum malu-malu di atas sana. Kupandangi langit, tampak mulai cerah berseri seakan mengajakku untuk segera terbang ke sana. Bis yang mengantar kami beringsut-ingsut merapat ke serambi bandara. Satu persatu penumpang turun dengan berbagai barang bawaannya. Asap rokok yang baunya tak pernah ku suka berlarian mengejarku. Ternyata pada jam segini bandara sudah dipadati orang-orang yang mengantar keluarga, saudara atau temannya. Maklumlah Bandara Internasional Minangkabau (BIM) ini baru dibuka beberapa hari yang lalu dengan fasilitas yang lebih lengkap tentunya.

Sayup-sayup terdengar deru yang mengusik. Seekor capung raksasa menginjakkan kakinya di bumi ini. Begitulah aktifitas di sini, ada pesawat yang datang dan nantinya ada pula yang pergi, bagaikan kehidupan ini.

Setelah boarding pass aku menyusuri eskalator dan jalan yang membawaku memasuki capung raksasa. Sebelumnya aku berpamitan pada mama. Butir air mata hampir tidak kuasa ku bendung saat ku salami mama dan mencium tangan beliau. Tangan ini telah menggendongku, menyuapi, memandikan dan mengasuhku. Akan tetapi sampai saat ini belum ada yang bisa kuberikan untuk mama.

Tangisku hampir berontak namun seperti biasanya, aku harus terlihat tegar di hadapan mama serapuh apapun hatiku. Aku harus kuat demi harapan dan kebahagiaanku. Walaupun mungkin benar pepatah yang mengatakan “walau hujan emas di negri orang lebih baik hujan batu di negri sendiri”. Sesaat kemudian kami saling berlambaian. Lambaian yang serasa menarik diriku untuk kembali.

Aku pun menaiki tangga pesawat itu. Dari balik jendela aku dapat melihat BIM berdiri dengan megahnya. Sesuatu yang nantinya akan menjadi kebanggaan daerahku. Sesuatu yang nantinya ku harap akan menunggu-nunggu kedatanganku dengan suasana yang baru dan lebih hangat. 

Rasulullah saja rela hijrah meninggalkan kampung halamannya demi prinsip dan kemudahan ibadah serta dakwahnya. Kenapa aku tidak bisa? Aku ingin menghindari perdebatan dan perselisihan yang hanya menguras energi. Aku percaya waktu bisa merubah seseorang. Aku berharap waktu bisa mendewasakan kami semua. Dan biarlah jarak membuat kami merasa lebih memiliki. 


Kontributor: Widia Aslima

1